Philip Jacobson, editor dari Mongabay.com yang resmi ditahan pada tanggal 21 Januari lalu, atas dugaan pelanggaran keimigrasian dan penyalahgunaan visa, kini dibebaskan setelah pihak imigrasi menyetujui penangguhan kasusnya. Namun proses hukum masih berjalan. Banyak pertanyaan berbagai pihak, dan lonceng peringatan bagi jurnalis ini, sangat jelas terdengar.
Oleh Jekson Simanjuntak
Philip Jacobson (30), jurnalis asal Amerika Serikat, yang juga editor Mongabay.com yang sempat mendekam di Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Palangka Raya, akhirnya dibebaskan setelah penangguhan penahanannya disetujui pihak Imigrasi.
Philip Jacobson resmi ditahan pihak imigrasi di Palangkaraya pada tanggal January 21, 2020 setelah dijadikan tersangka dalam kasus pelanggaran keimigrasian dan penyalahgunaan visa. Ia dianggap melanggar ketentuan visa bisnis yang dipegangnya.
Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyesalkan penggunaan penahanan, hukuman yang biasanya untuk tindak pidana, bagi pelanggaran visa. Tindakan itu dianggapnya berlebihan.
“Karena pengalaman sebelumnya, terkait pelanggaran visa, cukup dengan deportasi. ini tindakan yang berlebihan dari petugas Imigrasi Palangkaraya”, ujar Wahyu.
Ia menganggap tindakan penahanan ini sebagai respons yang berlebihan dari pihak yang berwenang terhadap wartawan lingkungan.
“Kuat dugaaan terkait dengan meningkatnya sensitivitas pemerintah terhadap liputan kritis di isu lingkungan yang kerap dilakukan oleh Mongabay,” kata Wahyu yang akrab disapa Komang.
Mongabay memang sering memuat berita terkait kerusakan hutan dan lingkungan di sejumlah daerah, termasuk Kalimantan. Mongabay juga kerap menyoroti konflik lahan antara masyarakat adat dan sejumlah perusahaan, termasuk konflik antara masyarakat adat dan pemerintah.
PenahananPhilip juga memperlihatkan kecenderungan Indonesia untuk menjadi semakin tertutup terhadap wartawan asing, dan juga alergi terhadap kritik
“Ada kecenderungan, inginnya media asing hanya menampilkan yang baik-baik saja tentang Indonesia. Dan itu bukan praktik yang sehat dalam jangka panjang,” tegas Wahyu.

Khusus dalam kasus Philip, Wahyu mengatakan kerja-kerja advokasi berhasil memancing intervensi dari pusat hingga akhirnya Philip bisa keluar dari tahanan, untuk kemudian dideportasi nanti.
“Itu kita syukuri prosesnya. Artinya masih ada ruang untuk meluruskan kesalahan dari petugas imigrasi di lapangan,” ujar Wahyu.
Wahyu berharap, kesalahan seperti ini tidak perlu terulang lagi. Pemerintah harus memastikan aparatnya di daerah memahami bahwa Indonesia merupakan negara yang menghormati kebebasan pers.
“Tidak boleh ada lagi kontradiksi seperti ini. Di pusat, para menteri menghormati kebebasan pers, namun dilapangan malah ditangkapi. Ini menunjukkan sikap tidak konsisten pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu menyadari bahwa liputan media bukanlah serangan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah. Liputan media seharusnya diperlakukan sebagai sumber informasi yang independen.
“Ketika membuat kebijakan, pemerintah harus memastikan dapat banyak informasi, termasuk dari media. Dan jika ada kritik, anggap saja itu alat untuk memeriksa kondisi di lapangan”, ujar Wahyu.
KUHAP mungkinkan penangkapan Philip
Sementara itu, pengacara LBH Pers, Gading Yonggar menilai penangkapan dan penahanan Philip, sangat dimungkinkan, jika ia terbukti melakukan tindak pidana.
“Dia gak harus dipanggil 1 – 3 kali, tapi bisa langsung ditangkap, jika hal itu masuk dalam ranah penegakan hukum”, ujar Gading.
“Hanya saja, masih belum clear, dasar penangkapannya apa? Tuduhan melakukan kerja jurnalistik, atau tuduhan pelanggaran visa?,” imbuhnya.
Gading. Juga mengatakan bahwa ketika ditangkap, Philip harus diberikan hak-haknya sebagai tersangka. Apalagi ia merupakan warga negara asing yang mungkin tidak mengetahui sistem hukum pidana di Indonesia. “Dia juga punya hak untuk didampingi penerjemah dan dikontak kedubesnya,” kata Gading, seraya memuji
Inisiatif pihak Kedutaan Amerika Serikat untuk mengunjungi Philip serta mengajukan penangguhan penahanan, sebagai langkah maju.
Untuk menyatakan seseorang sebagai tersangka, penyidik harus memiliki sedikitnya 2 alat bukti, sebagaimana bunyi pasal 184 KUHAP, yaitu saksi dan bukti berupa petunjuk, termasuk keterangan terdakwa itu sendiri.
“Cuma samarnya disitu. Pembuktian bahwa Philip melakukan peliputan harus ada atas nama Mongabay. Kalau tuduhannya penyalahgunaan visa untuk tujuan jurnalistik. Kan, nyatanya tidak,” papar Gading.
Kontroversi visa bisnis
Gading Yonggar menilai penangkapan dan penahanan Philip Jacobson dengan alasan melanggar UU Keimigrasian no 6 tahun 2011 sangat terbuka untuk diperdebatkan, meskipun ada deliknya, bahwa yang menyalahgunakan izin tinggal akan dipidana.
Sepengetahuan Gading, meskipun berprofesi sebagai jurnalis, Philip tidak sedang melakukan kegiatan jurnalistik. Oleh karena itu, Gading meminta harus dipisahkan, antara profesinya sebagai jurnalis dan kegiatannya di lapangan.
Imigrasi Palangkaraya harus dapat menunjukkan bahwa aktivitas Philip tidak sesuai dengan visa bisnisnya. Apakah menghadiri pertemuan pertemuan juga termasuk kategori bisnis?
“Karena di pasal 38, tidak ada penegasan detil soal seperti apa visa bisnis itu. Maka saya melihatnya agak tricky di bagian itu,” ungkap Gading.
Itu sebabnya, Philip tidak bisa disalahkan, ketika menghadiri pertemuan dengan DPRD Kalteng. Menurut Gading, tuduhan melakukan kegiatan jurnalistik yang di alamatkan kepada Philip “bisa dibantah, karena ia tidak sedang melakukan kegiatan jurnalistik. Sehingga yang ia lakukan masih sesuai dengan izin tinggal dan visanya.”
“Tuduhan menyebut Philip melakukan kegiatan jurnalistik, harusnya bisa dibuktikan. Namun, ketika ia menemui rekannya, tidak tertutup kemungkinan hal itu terkait dengan profesinya sebagai jurnalis,” ujar Gading.
Sementara itu, Wahyu menilai, seorang jurnalis berhak meliput dimana saja, dan kapan saja, selama negara tempatnya meliput menghormati kebebasan pers.
“Ya gak usah dibatas-batasi. Mau pake visa bisnis atau visa jurnalis atau visa turis gak ada masalah. Karena, esensinya pekerjaan wartawan itu mengungkap fakta dengan metode disiplin verifikasi,” katanya.
Lonceng peringatan bagi jurnalis lingkungan
Ketika pemerintah tidak lagi bersedia mendengar kritik media, maka kebijakan yang diambil juga berpotensi keliru. Karena itu, Wahyu mengingatkan bahwa media bukanlah musuh pemerintah.
“Sekarang ini, liputan media yang kritis dianggap sebagai serangan. Itu kan kritik biasa saja. Jadi perspektif yang a la orde baru seperti itu, sudah ketinggalan zaman. Harus dikoreksi,” ungkap Wahyu.
Meskipun Philip telah dibebaskan, penangkapan itu masih menjadi tamparan bagi pemerintahan Jokowi yang kebijakannya juga sudah dikritik sebagai tidak ramah lingkungan. Jokowi bahkan dianggap beberapa kalangan sebagai tidak peduli terhadap aspek lingkungan berbagai proyek infrastruktur yang dibangunnya.
“Kritik harus ditanggapi dengan proporsional, jangan wartawannya ditangkap, jangan wartawannya dibatasi,” pinta Wahyu.
Jika untuk hal yang paling mendasar saja, pemerintah masih alergi terhadap pers, hingga menganggapnya sebagai musuh, maka bagaimana nasib hak-hak lainnya, seperti hak buruh, perempuan, kaum minoritas, dan lain-lain, Wahyu mempertanyakan
Wahyu meminta pemerintah lebih terbuka dan menggunakan liputan-liputan kritis mengenai lingkungan untuk memperbaiki diri.
“Jangan alergi, justru harus terbuka dan korektif jika ada temuan dari media-media lingkungan,” ujarnya.
Lebih jauh, menurut Wahyu kasus Philip ini tidak saja menjadi lonceng peringatan bagi media asing, tetapi juga media dalam negeri..
“Karena jauh dari Jakarta biasanya penegakan hukumnya berbeda. Penghormatan terhadap wartawan dan kegiatan jurnalistik juga cenderung lebih buruk di daerah,” serunya.
Dengan demikian, risiko keselamatan jurnalis yang meliput isu lingkungan harus menjadi prioritas utama dan Wahyu meminta media-media mempersiapkan langkah antisipasi agar tidak ada kejadian yang kemudian disesali.
“Tidak ada berita seharga nyawa. Jadi adalah tanggungjawab perusahaan media untuk menjamin keselamatan wartawannya, termasuk melakukan segala hal demi mencegah risiko saat meliput,” ungkap Wahyu.
Sementara itu, Gading menilai kasus Philip sebagai modus pelanggaran kebebasan pers, yang tidak hanya dilakukan secara fisik, namun juga menggunakan cara-cara kewenangan administrasi.
“Seperti di cari-cari kesalahan terkait penyalahgunaan visa. Masalah administrasi yang disasar khusus bagi wartawan asing,” ujar Gading.
Secara umum, Gading menilai pola kekerasan, seperti kekerasan fisik, verbal, hingga kekerasan di ranah digital juga dialami oleh jurnalis yang meliput isu lingkungan.
“Kalau bicara isu lingkungan, eskalasi konflik tertingginya justru terjadi di daerah. Tingkat kerentanannya tinggi karena tidak termonitor langsung oleh pusat atau Dewan Pers,” papar Gading.
Selain itu, Gading juga mengingatkan bahwa jurnalis lingkungan rawan dikriminalisasi, terutama ketika ia memiliki dan menggunakan dokumen perusahaan dalam laporannya. Perusahaan mungkin memandang dokumen tersebut bersifat rahasia sedangkan media menganggapnya memiliki kepentingan publik untuk disebarkan.
Pihak perusahaan kerap mendalilkan UU Keterbukaan Informasi Publik untuk menjerat jurnalis. “Kalau misalnya dari perusahaan atau badan publik mengklaim dokumen yang dimiliki wartawan adalah rahasia, atau dokumen yang dikecualikan, di UU KIP itu ada ancaman pidananya”, papar Gading.
Karena itu, perlu menyebarkan kesadaran bahwa profesi jurnalis dilindungi UU Pers. Ada fungsi kontrol publik disitu, termasuk juga penegakkan supremasi hukum dan penjaminan penghormatan HAM.
“Ini menjadi jaring pengaman bagi jurnalis, ketika mendapatkan dokumen apapun. Artinya kita bisa tangkis, unsur dengan sengaja & melawan hukum”, ujar Gading.
Jurnalis berhak untuk mengakses informasi, karena didalam profesinya terkandung marwah kepentingan publik. Ada pertanggungjawaban kepada masyarakat terkait informasi yang dimiliki.
“Artinya jurnalis memperoleh hak untuk mengakses dokumen apapun, selama bersentuhan dengan kepentingan publik. Itu yang jadi pembelaan”, ujar Gading.
Ancam kebebasan pers
Penangkapan dan penahanan Philip Jacobson telah mencoreng wajah pemerintah Indonesia. Dari luar, Indonesia mungkin terlihat seperti memiliki fobia terhadap jurnalis asing, dan pihak yang berwenang cenderung melihat jurnalis asing ini sebagai ancaman.
“Ada indikasi Indonesia semakin tertutup terhadap jurnalis asing. Ada indikasi Indonesia tidak siap menerima kritik,” ujar Wahyu.
Menurutnya, ketakutan seperti itu, justru membenarkan kesan bahwa ada banyak masalah di Indonesia. “Jika liputan dibatasi, diatur-atur, itu mengirim sinyal bahwa Indonesia tidak seperti yang disampaikan pemerintah. Mereka akan bertanya ada apa di Indonesia?” ujar Wahyu.
Penangkapan Philip juga terjadi menyusul kritikan yang dilontarkan beberapa lembaga rtiset internasional yang mengatakan demokrasi di Indonesia yang jauh menurun jika dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Selain itu penangkapan Philip juga mengatakan kesan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia mengalami kemunduran.
Tahun lalu, Reporters without Border (lembaga pemeringkat kebebasan pers) mencatat Indeks Kebebasan Pers Indonesia di posisi 124 dari 180 negara. Indonesia berada di bawah Malaysia, Chad dan Afghanistan. Bahkan jauh tertinggal dibandingkan Mongolia dan Suriname.
“Bagaimana investasi mau masuk jika wartawan dari negara-negara yang akan berinvestasi itu dilarang meliput. Kan, mereka tentu lebih percaya pada liputan media mereka”, ujar Wahyu.
Di masa mendatang, hal itu menjadi pekerjaan rumah yang berat. Pemerintah harus lebih terbuka dalam memberi akses bagi jurnalis untuk meliput, termasuk tidak melakukan pembatasan administrasi.
“Jika ada perbaikan, ada konsistensi, terus wartawan boleh menulis dan meliput di mana pun, bahkan pembatasan administrasi juga dicabut, maka kita sedikit punya harapan”, ujar Wahyu.
Belum bebas
Meski telah keluar dari Rutan, Philip Jacobson masih belum benar-benar bebas. Proses hukum masih mengikutinya, ketika pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Palangka Raya belum menerima perubahan status tersangka untuk Philip.
Tanpa pemberitahuan penghentian penyidikan dari Imigrasi, maka pihak Kejari akan segera menyiapkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan menunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang nantinya akan menangani perkara di persidangan.
Menurut Gading, tindakan Philip itu sebenarnya masih sesuai norma hukum yang berlaku dan dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Pasal 28F Undang-Undang Dasar tegas menyebutkan perlindungan hak bagi setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Bahkan, kebebasan pers ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang hakiki, seperti tercantum dalam pertimbangan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Karena itu, jurnalis yang memberitakan isu lingkungan, merupakan bagian dari pejuang lingkungan dan hak asasi manusia. Kekerasan dan upaya menghalangi kerja-kerja jurnalistik merupakan pelanggaran terhadap konstitusi”, tegas Gading.
Selain itu, pasal 19 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi Indonesia, mewajibkan pemerintah menjamin kebebasan pers, nasional maupun asing.
Memang jurnalisme sangat mungkin juga memiliki ‘bias’ atau punya persilangan kepentingan. Namun, ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi siapapun untuk menghalangi kerja-kerja jurnalis dalam mencari informasi.
“Kalo pemerintah keberatan dengan hasil liputannya, ya dilihat proses kerjanya, apakah ada disiplin verifikasi yang dilanggar, atau ada proses kerja yang tidak diikuti. Selanjutnya, silahkan merespons sesuai pedoman UU Pers”, pungkas Wahyu.