Tahu Sumedang bukan hanya gurih dan nikmat, tapi ada masalah limbah yang mencemari lingkungan. Di Kampung Giriharja limbah tahu diolah menjadi biogas.

Reaktor IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)
Reaktor IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)

Kampung Giriharja beralamat tak jauh dari bundaran Alam Sari, Sumedang, kota yang terkenal dengan kuliner tahu goreng berwarna cokelat keriting, garing, dan gurih. Jalan menuju kampung ini berupa gang yang sedikit menurun, di kiri kanan gang berdiri permukiman warga yang tidak terlalu padat, masih ada ruang-ruang kosong dan hijau. Setelah melewati jembatan sungai kecil jalan ini mulai menanjak. Di sana berdiri gapura beratap kayu Kampung Giriharja yang bersebelahan dengan papan nama instalasi biogas limbah tahu.

Dari instalasi itulah warga kampung Giriharja mendapatkan gas sebagai bahan bakar untuk memasak, termasuk memproduksi tahu Sumedang yang terkenal itu. Papan instalasi biogas limbah tahu sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara itu berbunyi:

Kerjasama Implementasi Hasil Riset: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Loka Penelitian Teknologi Bersih – LIPI) dengan Nanyang Technological University, Singapore (Nanyang Environment & Water Research Institut)

Improving teh Quality of life in Giriharja Tofu Production Community through Biogas Production from Tofu Wastewater

Aplikasi Teknologi Anaerobik Multi-tahap dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu

Kepemilikan Lahan dan Pengelolaan oleh: Kelompok Pengrajin Tahu Giriharja Sumedang

Didanai oleh Program Lien Environmental Fellowship”.

Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tahu Sumedang berjarak kurang lebih 250 meter dari papan nama dan gapura Kampung Giriharja, sekitar 40 kilometer dari Kota Bandung. Akses menuju IPAL melewati jalan setapak. Posisinya sedikit di lembah. Di sini terdapat papan nama lain yang berisi imbauan untuk tidak menyalakan api sembarangan.

Bangunan IPAL tahu sumedang berdiri di lahan seluas 20×20 meter yang dipagari besi bercat biru yang sudah pudar dan berkarat. Di balik pagar terdapat bak-bak penampungan air limbah, 6 tabung yang berdiri vertikal, satu tabungnya kurang lebih sebesar tangki mobil pengangkut BBM, lalu ada satu tabung horizontal yang ukurannya dua kali lebih besar yang berfungsi menampung biogas ampas tahu.

Seluruh instalasi ini tersambung dengan pipa-pipa ke pabrik-pabrik tahu yang berdiri di Kampung Giriharja. Di kampung ini terdapat 9 pabrik tahu yang membuang limbah cairnya ke IPAL. Fungsi IPAL tahu ini ada dua, mengolah limbah cair menjadi air yang layak buang ke sungai, dan mengolah limbah menjadi biogas untuk menghasilkan bahan bakar sejenis elpiji. Biogas ini disalurkan ke 55 rumah di Kampung Giriharja dan dipakai untuk kebutuhan memasak.

Peneliti senior Neni Sintawardani yang kini bertugas di Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN. (Foto: BRIN)
Peneliti senior Neni Sintawardani yang kini bertugas di Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN. (Foto: BRIN)

Peran Ibu-ibu

Ibu-ibu di Kampung Girigarja memiliki peranan penting dalam pendirian IPAL yang dirancang sejak 2020 oleh LIPI (sekarang Badan Riset Nasional atau BRIN). Riset dan perancangan IPAL ini dipimpin oleh peneliti senior Neni Sintawardani yang kini bertugas di Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN.

Neni Sintawardani menjelaskan, banyak faktor yang mendukung terwujudnya IPAL tahu sumedang di Kampung Giriharja, salah satunya menimbang kebutuhan user atau pengguna biogas sendiri, yaitu ibu-ibu.

“Sebagai user itu yang bertanggung jawab adalah ibu rumah tangga. Ada yang mengatakan mau pakai biogas, yang satu mengatakan ga mau pakai biogas sering ada gangguannya, on off gitu, mending pakai elpiji. Itu kan berarti dia cukup mampu beli elpiji. Kalau yang tidak punya pilihan lain, berarti nunggu biogas. Nah, di situ ibu-ibu berperan di situ,” kata Neni Sintawardani, kepada Ekuatorial.com, 28 Maret 2024.

Neni merupakan peneliti yang menginisiasi pengelolaan IPAL tahu sumedang di Kampung Giriharja. Sejak 2010 Neni dan tim dari LIPI terjun ke masyarakat kampung untuk mensosialisasikan pentingnya pengelolaan limbah tahu. Sosialisasi di antaranya dilakukan kepada ibu-ibu sebagai pengguna biogas.

“Tetapi yang paling berperan di sini, saya tidak memasukan gender ya, yang paling berperan di sini adalah pengrajin tahunya sendiri. Kalau di Giriharja itu mereka yang istilahnya punya peran penting.

Dari sisi user (pengguna biogas), ibu-ibu, konsumen. Kan, mereka nuntutnya harusnya teratur, ada terus (biogasnya),” terang perempuan peraih The Underwriters Laboratories-ASEAN-U.S. Science Prize for Women 2021 untuk kategori Senior Scientist.

Dedeh Hidayah (43 tahun) sebagai pengguna biogas, merasa keberadaan IPAL biogas amat bermanfaat bagi kehidupan warga. Dedeh merupakan satu dari 55 ibu rumah tangga yang mendapat aliran biogas dari IPAL limbah tahu.

Karena itu, Dedeh yang merupakan salah satu pengusaha tahu yang limbahnya disalurkan ke IPAL, sangat mendukung keberlanjutan IPAL.

“Saya pengguna. Di pabrik limbahnya sudah dipisah-pisahin dan disalurkan ke biogas (IPAL). Biogas sangat bermanfaat membantu masyarakat di sini. Limbah jadi biogas, menghasilkan gas. Kalau gas lagi susah kebantu sama biogas limbah tahu,” ungkap Dedeh, ditemui ekuatorial.com, Minggu 24 Maret 2024.

Dedeh bersama suaminya, Pepen Sopendi (43 tahun), telah 12 tahun usaha memproduksi tahu merek Dentri. Pepen sendiri sehari-hari sebagai teknisi di IPAL biogas, di samping menjalankan usaha tahu.

Dedeh membandingkan memasak dengan biogas dan elpiji. Ia membayar iuran Rp20.000 untuk satu tabung biogas tiga kilogram. Sementara dengan elpiji tiga kilogram ia harus membayar Rp25.000. Dalam sebulan ia bisa menghabiskan 3-4 elpiji melon yang dipakai buat memasak. Ia juga punya karyawan yang setiap harinya membutuhkan kopi dan makan.

“Di biogas 1 tabung 20 ribu (rupiah). Kalau melon kan 25 ribu (rupiah). Jadi selisihnya 5.000, kan lumayan,” kata Dedeh.

Keberadaan biogas terutama sangat membantu ketika terjadi kelangkaan elpiji yang kerap terjadi. Hal ini juga dirasakan ibu-ibu pelanggan biogas lainnya.

“Respons warga lain sangat positif kebantu adanya biogas ini. Kalau elpiji lagi susah alhamdulillah ada biogas,” kata Dedeh.

Semua instalasi atau pemasangan biogas ke rumah-rumah tidak dipungut biaya alias gratis. Semua keperluan termasuk kompor gas diberi oleh LIPI. Warga tinggal menggunakannya. “Kompor dikasih semuanya sama BRIN, ga ada biaya,” ujar Dedeh.

Pepen Sopendi (kiri) di IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)
Pepen Sopendi (kiri) di IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)

Biogas hanyalah bonus

Siapa pun mungkin sudah mengenal limbah tahu yang baunya menusuk hidung. Bau ini pulalah yang menjadi keluhan warga Kampung Giriharja sebelum adanya instalasi pengelolaan limbah tahu. Waktu itu, pabrik-pabrik tahu membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

Air sungai yang tadinya mengalirkan jernih di kampung berbukit dan berlembah itu berubah warna

Menjadi mengerikan dan bau menyengat. Ikan-ikan pada mati, tanaman pertanian di sepanjang sungai pun terganggu karena tercemar. Masalah ini terutama dikeluhkan oleh warga kampung di hilir sungai. 

Neni Sintawardani dan tim melihat persoalan limbah tahu melibatkan masalah yang kompleks karena terkait mata pencaharian warga atau produksi tahu, kebiasaan, sanitasi, dan seterusnya. Masalah-masalah ini memerlukan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kampung Giriharja memiliki 11 pabrik tahu dengan skala produksi beragam yang semuanya membuang limbah ke sungai. “Jadi bisa dibayangkan bagaimana yang terjadi di sungai itu terutama di hilir,” tutur Neni.

Maka muncullah ide pengembangan reaktor biogas yang bisa mengolah limbah cair tahu sekaligus menghasilkan gas. Pembangunan reaktor ini mendapatkan dukungan pendanaan dari Nanyang Environment & Water Research Institute, Nanyang Technological University, Singapura.

Pendekatan teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi persoalan limbah yang kompleks di suatu kampung. Tim harus melakukan sosialisasi yang intens ke masyarakat, sasaran sosialisasi terutama ditujukan untuk membangun kesadaran pelestarian lingkungan dan menyelamatkan sungai.

“Awalnya kami ke masyarakat bertanya sadar tidak ada aspek lingkungan dan sebagainya. Mereka bilang sadar betul, pernah ditulis koran lokal desa ini ngotorin kata penduduk di hilir. Yang ada di media membuat mereka berpikir kita jadi pengotor,” cerita Neni.

Setelah kesadaran masyarakat mulai tergugah, tim LIPI kemudian menawarkan solusi pembangunan reaktor biogas. Masyarakat akhirnya setuju dan mau bahu membahu membangun biogas.

Pendekatan ke warga dilakukan 2010 dan memerlukan waktu satu tahun, dimulai dari membangun kesadaran sampai mereka paham bahwa mereka membutuhkan IPAL atau reaktor biogas. Tim juga harus menanamkan bahwa warga mau aktif bukan hanya pasif menerima manfaat biogas.

“Bisa tidak, mereka mau terlibat. Mereka mau sediakan lahan (untuk membangun IPAL),” kata Neni.

Di saat yang sama, Neni harus bolak-balik ke Singapura untuk membahas perkembangan pendanaan program reaktor biogas ini. Akhir 2013, pendanaan mulai disetujui. Tahun 2014 – 2026 pembangunan reaktor dilakukan. Warga terutama para perajin tahu mau patungan menyediakan lahan seluas 20×20 meter sebagai tempat pembangunan reaktor atau IPAL.

“2016 kita running, cukup bagus kita uji terus. 2018 serah terima ke masyarakat. Sekarang seluruh pegeolaan oleh masyarakat, oleh paguyuban perajin tahu. Mereka pemilik unit tersebut. Dan ada manjer teknik, pak Pepen (Pepen Sopendi, suami Dedeh Hidayah, pengusaha tahu Dentri),” katanya.

Limbah tahu yang masuk instalasi diolah secara anaerobic yang mampu menghasilkan energi alternatif berupa biogas. Limbah diproses secara tertutup agar mikroba tidak bisa hidup. Limbah tahu yang punya kandungan organik tinggi akan diuraikan oleh mikroba menjadi metana dan karbondioksida atau yang dikenal sebagai energi biogas.

IPAL Anaerobik ini mampu memproses limbah cair pekat dengan kapasitas 24 meter kubik per hari. Dari situ dapat dihasilkan biogas yang disalurkan ke rumah-rumah warga Giriharja untuk kebutuhan memasak harian.  

Menurut Pepen Sopendi, teknisi reaktor yang juga pengusaha tahu, sebelum ada instalasi sudah sering warga protes karena limbah tahu yang diproduksi pabrik-pabrik tahu di Kampung Giriharja. Bau limbah tahu terutama akan memuncak di saat musim kemarau.

“Sebelum ada IPAL kan dibuang ke sungai. Pertanian mati, ikan rusak juga banyak yang protes baunya tak enak. Alhamdulillah setelah diatasi pihak BRIN dan kerja sama, alhamdulillah dampaknya bermanfaat bagi masyarakat dan pengrajin tahu,” kata pria 43 tahun tersebut.

Seiring berjalannya waktu, keberlanjutan IPAL limbah tahu ini diuji. Sekarang, dari 11 pabrik, ada 9 pabrik yang masih memanfaatkan pengelolaan limbah ke instalasi ini. Jumlah rumah yang mendapat saluran pipa biogas juga berkurang dari 99 rumah kini bertahan 55 rumah. Menurut Pepen, sejak awal dirancang intalasi ini memang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan gas 55 rumah.

Limbah-limbah dari 9 pabrik tahu dipompa secara otomatis ke ke masing-masing bak penampungan, lalu masuk reaktor untuk mengalami proses penguraian oleh bakteri. Dalam proses ini, terjadi penguraian limbah dan pemisahan cairan. Air yang keluar dari reaktor terlihat jernih dan tidak berbau lagi untuk dibuang ke sungai.

Pembentukan biogas terjadi ketika limbah terurai. Biogas ini masuk ke reaktor yang akan dipompa ke rumah-rumah warga setiap pukul 14.00 sampai pukul 19.00.

Bagi Pepen, biogas adalah bonus dari pengelolaan limbah. Prioritas dari program ini bukanlah biogas melainkan pengelolaan limbah tahu agar tidak membahayakan lingkungan dan sungai.

“Gas itu hasil dari proses limbah, hadiah dari hasil penguraian. Daripada kebuang makanya dimanfaatkan memasak warga,” kata Pepen.

Pepen merupakan salah satu pengusaha tahu yang sejak awal aktif mendukung pembangunan instalasi limbah tahu. Sudah 12 tahun ia menggeluti tahu dengan jenama Dentri. Pria lulusan STM ini sekarang bertugas sebagai teknisi IPAL. Ia yang merancang perpipaan sampai pengawasan operasional IPAL.

Pada awal berdiri, ada teknisi khusus yang bekerja di IPAL ini. Saat itu IPAL masih dalam proses transisi kepengurusan dari LIPI ke warga. Selama transisi, Pepen belajar masalah-masalah teknis terkait IPAL. Latar belakangnya sebagai lulusan STM membantunya memahami teknik intalasi pengelolaan limbah.

Posisi teknisi sebenarnya lebih ke pengawasan instalasi karena operasional mesin sudah bekerja secara otomatis. Kapan limbah dialirkan, kapan dipompa ke reaktor, dan kapan gas dikirim ke rumah-rumah warga melalui pipa sudah berjalan serba otomatis. Pengaturan operasional reaktor pun cukup dilakukan dengan aplikasi khusus yang dipasang di handphone yang dipegang Pepen.

Di hari-hari tertentu, suka ada mahasiswa yang magang atau melakukan penelitian di IPAL ini. Terkait penelitian, Pepen dibantu warga yang juga pengusaha tahu bernama Lilis. Lilis melakukan pengecekan limbah, kadar PH air, keasaman, dan lain-lain. Sementara Pepen bertugas mengatasi teknis lapangan, seperti kebocoran dan lain-lain.

“Bu Lilis warga dan perajin tahu juga, dia lebih ke peneliitiannya. Dia juga pemungut iuran ke warga,” kata Pepen.

Pepen Sopendi (kiri) di IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)
Pepen Sopendi di IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)

Tantangan keberlanjutan

IPAL penghasil biogas bukan hal baru di Indonesia. Sudah banyak instalasi-instalasi biogas yang dibangun. Tantangannya, setelah dibangun berapa instalasi yang sampai saat ini berkelanjutan?

Ini yang menjadi pemikiran Neni Sintawardani ketika mendesain IPAL limbah tahu Sumedang.

Keberlanjutan energi alternatif seperti biogas limbah tahu amat membutuhkan dukungan pemerintah, dalam hal ini dukungan konkret berupa modal. Setelah IPAL biogas dibangun, diperlukan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit dan rutin dalam jangka panjang. Belum lagi mengenai regenerasi pengelolaan IPAL di tingkat lokal.

“Untuk itu butuh dukungan pemerintah. Peran dari dukungan pemda harusnya cukup besar di situ,” kata Neni.

IPAL limbah tahu di Kampung Giriharja sebenarnya mudah diduplikasi di daerah-daerah lain yang memiliki masalah limbah industri. Blue print IPAL limbah tahu buatan LIPI bisa diakses oleh siapa saja yang mau membangun asalkan ada dana. Masyarakat akan kesulitan jika harus melakukan pendanaan sendiri. Maka dari itu, pemerintah daerahlah yang seharusnya menyediakan pendanaan ini.

Energi terbarukan atau energi alternatif kini dibicarakan di banyak forum di tengah ancaman perubahan iklim karena pemanasan global. Namun setiap perencanaan atau diskusi transisi energi membutuhkan dana untuk eksekusi.

“Rencana tanpa dana tidak ada gunanya. Tinggal pendanaan, saya beri semuanya (blue print IPAL), tinggal bangun sendiri,” katanya.

Setelah IPAL terbentuk, pemeliharaan menjadi persoalan krusial. Kemandirian energi tidak akan tercapai tanpa jaminan pemeliharaan. Masalah pemeliharaan dan keberlanjutan ini dialami betul oleh Pepen yang sehari-hari bulak-balik dari rumah ke IPAL.

Pepen ditunjuk sebagai manajer teknik IPAL bukan karena ia ingin menempati posisi tersebut, melainkan karena tidak ada orang lagi yang mau mengurusinya. Meski semuanya dijalankan serba otomatis, namun lingkungan sekitar IPAL berdiri tetap harus mendapatkan perawatan, mulai dari membersihkan rumput, mengecek peralatan instalasi, hingga melakukan perbaikan pipa-pipa dan atap instalasi.

Ketika Ekuatorial berkunjung, sejumlah atap instalasi tampak bolong, beberapa atap sudah berkarat dan keropos. Semua perawatan itu membutuhkan biaya. Sementara uang iuran biogas dari warga tidak bisa menutup biaya operasional tersebut. Pepen sering kali merogoh kocek pribadi alih-alih mendapatkan honor.

Pengeluaran rutin IPAL antara lain listrik Rp300 ribu per bulan, ganti oli mesin operasional instalasi, perpipaan, kebersihan, dan lain-lain. Total biaya operasional dan perawatan per bulan idealnya mencapai Rp2,5 juta sebulan. Namun saat ini dana operasional yang didapatkan rata-rata baru Rp1 juta per bulan yang bersumber dari iuran biogas.

Untuk itu Pepen sangat berharap pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi mau membantu membiayai keberlanjutan IPAL biogas ini. “Saya khawatir jika tidak ada pemeliharaan IPAL ini akan jadi museum (tidak berfungsi),” ucap Pepen.

Keberadaan IPAL berpengaruh signifikan pada pengurangan limbah tahu. Dalam perjalanannya, IPAL biogas yang tadinya diikuti 99 keluarga berkurang menjadi 55 keluarga. Penyebab berkurangnya kepesertaan ini beragam, mulai dari tidak stabilnya volume limbah tahu yang disebabkan menurunnya produksi tahu, kendala iuran bulanan, dan lain-lain. Kekurangan limbah membuat pasokan gas tidak stabil sehingga beberapa warga memilih beralih ke elpiji.

“Karena debit limbah berkurang, tidak sesuai dengan produksi maka otomatis gas juga berkurang. Oto dari masyarakat sebagai pemakai mungkin akan keberatan beli gasnya. Setelah itu banyak yang dikurangi atau dicopot (biogasnya), tersisa 55 rumah lagi,” kata Pepen.

Namun angka 55 rumah tersebut sebenarnya telah sesuai dengan desain IPAL sejak awal, bahwa IPAL biogas ini idealnya untuk memenuhi kebutuhan biogas 55 rumah.

Volume limbah pabrik tahu yang berasal dari 9 pabrik berjumlah naik turun sesuai dengan produksi tahu. Sederhananya, semakin laku tahu-tahu yang diproduksi 9 pabrik Kampung Giriharha maka semakin banyak limbah yang dihasilkan.

Belakangan sejak beroperasinya jalan tol Cisumdawu yang tersambung dengan Tol Cipali berdampak pada berkurangnya volume kendaraan yang melintasi jalur tengah Sumedang. Imbasnya, jumlah para pengendara yang tadinya banyak yang melintasi Sumedang dan beristirahat untuk membeli tahu menjadi berkurang. Di saat yang sama, harga BBM dan kedelai terus mengalami kenaikan.

“Sekarang ada perbedaan setelah jalan tol jadi pembeli berkurang produksi berkurang maka limbah berkurang,” katanya.

Dedeh Hidayah menimpali, IPAL biogas limbah tahu harus mampu bertahan dan didukung kebijakan pemerintah. Pemerintah bagaimana pun caranya harus menjaga harga kedelai agar stabil. Kenaikan harga kedelai akan memberatkan industri tahu Sumedang.

Dulu harga kedelai impor hanya Rp6.700-8.700 per kilogram. Namun sekarang, harga kedelai mencapai Rp10.900, bahkan mau tembut Rp11.000 per kilogramnya. Harga ini amat memberatkan para perajin tahu Sumedang.

Menurut Dedeh, jika harga kedelai stabil dan terjangkau maka para pengusaha tahu seperti dirinya tidak akan pusing dalam produksi dan menentukan harga jual tahu. Limbah tahu pun akan terus mengalir ke instalasi untuk menghasilkan energi alternatif.

Dengan kondisi sekarang, para pengusaha tahu masih dihinggapi rasa cemas akan harga kedelai. Belum lagi di saat bulan puasa ini, pembeli tahu cenderung menurun. Di saat normal pabrik tahu Dedeh biasa memproduksi tahu dengan 3 kuintal kedelai. Sekarang karena puasa dan harga kedelai yang mahal produksi tahunya hanya 1,5 kuintal.

“Saran kepada pemerintah kedelainya distabilkan biar produksi kita meningkat. Harga beli masyarakat juga bisa tercukupi,” harap Dedeh.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.