Posted inArtikel / Hutan

Jejak deforestasi ribuan hektare hutan alam di Kalimantan

Puluhan ribu hektare hutan alam di Kalimantan Barat diratakan, disinyalir demi ambisi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Mayawana Persada.

Hutan alam seluas 33.000 hektare (ha) di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat, terindikasi diratakan demi ambisi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Mayawana Persada. Jurnalis enam media massa menemukan berbagai bukti konkrit terkait deforestasi tersebut.

Lahan seluas setengah negara Singapura itu dibabat, padahal penuh hewan endemik (orangutan, burung rangkong, beruang madu dan lainnya) dan merupakan kawasan gambut yang dilindungi.

Tak hanya merusak lingkungan, konflik sosial pun muncul karena kawasan hutan kramat masyarakat adat pun turut dirusak. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turut menjadi pihak yang mengabulkan pembabatan hutan alam oleh perusahaan-perusahaan.

Atas nama investasi, negara melegitimasi deforestasi, termasuk areal gambut dalam yang seharusnya dilindungi. Nyawa manusia juga dipertaruhkan. Luas hutan yang telah ditebang oleh perusahaan ini jauh melampaui batas yang diizinkan dan telah menyebabkan kerusakan ekologis yang parah.

PT Mayawana Persada adalah salah satu perusahaan pemegang konsesi HTI yang paling massif menggerus hutan.

“Jujur kami sedih melihat praktik pembukaan hutan yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh Mayawana Persada. Praktik kotor itu tidak hanya mengubah bentang alam hutan menjadi tanaman monokultur, tapi juga mengakibatkan hilangnya ruang hidup dan tanah ulayat adat,” kata Arif Nugroho, jurnalis Pontianak Post.

Arif dan jurnalis dari lima media massa lainnya bergabung dalam liputan kolaborasi Depati Project. Kerja bersama ini bertujuan untuk mengungkap fakta, siapa di balik pembabatan hutan besar-besaran yang terjadi di Kalimantan Barat.

Meski pemerintah, melalui KLHK, sudah sudah menerbitkan surat bernomor S.35/HUMAS/PPIP/HMS.2.10/B/04/2024 yang memerintahkan Mayawana untuk menghentikan kegiatan penebangan, potensi laju deforestasi masih bisa muncul kembali sampai pemerintah membatalkan izin konsesi tersebut.

Saat ini setidaknya tersisa 55.000 ha hutan alam dalam konsesi yang dikelola Mayawana. Struktur perusahaan yang kompleks, dan melibatkan yurisdiksi lepas pantai, menyulitkan pemerintah serta para pihak untuk menagih pertanggungjawaban atas kerusakan hutan oleh perusahaan itu.

PT Mayawana Persada dimiliki oleh perusahaan induk berlapis yang mengarah ke yurisdiksi dengan kerahasiaan tinggi, yaitu British Virgin Islands dan Samoa. Kedua wilayah tersebut tidak mewajibkan pengungkapan nama-nama pemegang saham kepada publik. 

Korban deforestasi

Masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut menjadi korban langsung dari dampak deforestasi ini. Mereka kehilangan tempat tinggal, sumber daya alam, dan juga identitas budaya mereka yang terikat erat dengan hutan. Aktivitas deforestasi PT Mayawana Persada telah mengancam kelangsungan hidup mereka dan memicu konflik sosial yang serius.

“Aktivitas PT Mayawana Persada di Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, berdampak menggusur wilayah kelola para petani,” jelas Themmy Doaly Jurnalis Ekuatorial.com.

Sejak tahun 2021, menurut Themmy, warga dusun itu memperkirakan tanah mereka yang telah digusur antara 3.000-4.000 ha. Praktik ini memiliki dampak lanjutan seperti alih profesi, pemiskinan, hingga trauma para korban.

“Padahal, sebagai bagian dari komunitas adat Dayak Kualan, warga di sana sangat menggantungkan hidup dengan sumber daya alam di sekitarnya,” lanjutnya. 

Kawasan lindung gambut terancam

Tidak hanya itu, kawasan lindung gambut di Kalimantan Barat juga terancam oleh praktik deforestasi ini. Gambut, sebagai ekosistem yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dan mengurangi emisi gas rumah kaca, kini terancam rusak parah akibat dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

“Ini sama sekali di luar bayangan saya sebagai jurnalis. Negara, dalam hal ini pemerintah, memfasilitasi sebuah entitas bisnis, menjagal hutan alam habitat orangutan sekaligus ruang hidup masyarakat,” ungkap Miftah Faridl Koresponden CNN Indonesia TV.

“Berapapun nilai investasi itu, tidak akan sebanding dengan hancurnya ekosistem ini, apalagi sekaligus membunuh kebudayaan masyarakat adat Dayak. Belum lagi ancaman bencana ekologi akibat praktik rakus dengan membabat hutan ini.”

Penegakan hukum 

Pemerintah setempat dan lembaga terkait diharapkan untuk segera bertindak dalam menangani masalah ini. Langkah-langkah penegakan hukum yang tegas dan efektif perlu diterapkan terhadap PT Mayawana Persada untuk menghentikan deforestasi ilegal yang mereka lakukan.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil bersama perwakilan masyarakat adat Kualan, Ketapang, Kalimantan Barat akhirnya resmi melaporkan PT. Mayawana Persada ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Senin (29/04/2024) pagi. Koalisi mendesak KLHK untuk mencabut izin perusahaan tersebut lantaran deforestasi yang dilakukan hingga seluas 35 ribu hektar dari total konsesi 136.710 hektar sejak 2016.

Mayawana dilaporkan melanggar pasal 1 angka 16 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas perusakan lingkungan yang terdiri dari; perusakan gambut lindung hingga habitat orangutan.

Koalisi yang terdiri dari Satya Bumi, Wahana Lingkungan (WALHI) Eknas, WALHI Kalimantan Barat (Kalbar), Link-Ar Borneo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, AMAN Ketapang Utara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, Pantau Gambut, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) ini menemui perwakilan KLHK di Gedung Manggala Wanabakti pada Senin (29/4/2024) sekitar pukul 09.00 WIB.

Dalam pertemuan itu, mereka mendesak pertanggungjawaban negara, dalam hal ini KLHK, untuk mencabut izin PT. Mayawana Persada, memulihkan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat yang terdampak.

Sebelum pelaporan ini, Koalisi juga telah melakukan sejumlah audiensi dengan KLHK pada Kamis (25/4) dan Jumat (26/4) yang dilanjutkan dengan penyampaian laporan ke Kompolnas untuk mendesak profesionalitas dan menarik aparat.

Dugaan pelanggaran HAM

Selain itu juga mereka mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Jumat (26/4) untuk meminta perlindungan dan pemulihan hak warga korban.

Audiensi tersebut membahas dan menyampaikan temuan-temuan baru kasus perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kriminalisasi masyarakat adat dan dugaan keterlibatan aparat yang dilakukan oleh PT. Mayawana Persada.

Salah satu perwakilan masyarakat adat Kualan Hilir, Ketapang, Tarsisius Fendi Susepi yang ikut hadir mengaku sampai saat ini sudah mendapat 19 kali pemanggilan kepolisian.

Organisasi non-pemerintah dan aktivis lingkungan juga memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, melindungi kawasan lindung gambut, dan menyelamatkan spesies yang terancam punah. Mereka harus terus mendesak pemerintah dan perusahaan untuk bertanggung jawab atas praktek-praktek yang merugikan lingkungan dan masyarakat.

Deforestasi yang terjadi di Kalimantan Barat oleh PT Mayawana Persada menjadi cerminan dari tantangan besar dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan mendukung hak-hak masyarakat adat. Diperlukan komitmen dan tindakan bersama untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keberlangsungan hidup semua pihak yang terdampak.

Kronologi Deforestasi oleh PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat

  • Pada tahun 2018, PT Mayawana Persada mendapatkan izin untuk melakukan eksploitasi hutan di wilayah Kalimantan Barat. Izin tersebut memberikan akses bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan penebangan hutan secara legal.
  • Setelah mendapatkan izin, PT Mayawana Persada mulai melakukan kegiatan deforestasi secara masif di wilayah yang telah ditentukan. Mereka menggunakan metode penebangan hutan yang tidak berkelanjutan, yang mengakibatkan kerusakan ekologis yang parah.
  • Pada tahun 2019, luas hutan yang telah ditebang oleh PT Mayawana Persada mencapai titik kritis. Ribuan hektar hutan primer dan sekunder telah hilang akibat kegiatan penebangan yang tidak terkendali.
  • Tanpa memperhatikan konsekuensi lingkungan dan sosial, PT Mayawana Persada terus melakukan deforestasi dalam skala besar. Mereka fokus pada eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
  • Pada tahun 2020, laporan dari organisasi lingkungan dan masyarakat adat mulai menyoroti dampak buruk dari kegiatan deforestasi PT Mayawana Persada. Mereka menyoroti hilangnya habitat, konflik sosial, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup spesies yang dilindungi.
  • Meskipun adanya perlawanan dan protes dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan, PT Mayawana Persada terus beroperasi tanpa memperhatikan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat serta pelestarian lingkungan.
  • Pada tahun 2021, tekanan dari berbagai pihak untuk menghentikan deforestasi oleh PT Mayawana Persada semakin meningkat. Organisasi lingkungan, masyarakat adat, dan beberapa lembaga pemerintah menuntut tindakan tegas terhadap perusahaan tersebut.
  • Namun, upaya penegakan hukum terhadap PT Mayawana Persada masih belum memadai. Perusahaan ini terus melanggar regulasi lingkungan dan hak-hak masyarakat adat tanpa konsekuensi yang signifikan.
  • Pada tahun 2022, luas hutan yang telah ditebang oleh PT Mayawana Persada mencapai angka yang mengkhawatirkan. Wilayah hutan yang sebelumnya hijau dan subur kini telah menjadi padang gundul akibat eksploitasi yang berlebihan.
  • Hingga saat ini, deforestasi oleh PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat masih terus berlanjut, meninggalkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, masyarakat adat, dan keberlangsungan hidup spesies yang dilindungi. Langkah-langkah konkret dan tegas perlu segera diambil untuk menghentikan praktek deforestasi ilegal ini dan memulihkan kerusakan yang telah terjadi.

About the writer

Noura Arifin

Noura Arifin is a broadcast communications bachelor who is interested in the world of journalism. Starting her journalistic career as a journalist in local media. Noura's coverage focuses on gender issues,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.