Petisi ini menyampaikan keprihatinan mendalam terkait upaya pemerintah Indonesia yang mencapai kesepakatan mengenai pemensiunan dini PLTU Cirebon Unit 1.

Koalisi masyarakat sipil bersama WALHI Jabar melayangkan petisi kepada Masatsugu Asakawa, Presiden Bank Pembangunan Asia, terkait pensiun dini PLTU Batubara Cirebon 1. Petisi ini menolak keras terhadap mekanisme yang dianggap hanya berorientasi pada kepentingan greenwashing korporasi raksasa.
Dalam petisi ini, diungkapkan keprihatinan mendalam terkait upaya pemerintah Indonesia yang berupaya mencapai kesepakatan mengenai pemensiunan dini PLTU Batubara Cirebon Unit 1 sebelum pelantikan presiden baru pada 20 Oktober mendatang.
“Ini menciptakan kekhawatiran akan keputusan yang prematur dan tidak mempertimbangkan masukan dari masyarakat lokal serta kelompok masyarakat sipil,” demikian petisi yang diakses dari laman WALHI Jabar, Kamis, 3 Oktober 2024.
Dalam kertas posisi yang disampaikan pada 28 Februari 2024, organisasi lingkungan WALHI Jawa Barat mengecam kurangnya partisipasi yang berarti bagi kelompok masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan mengenai proyek tersebut.
“Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) pada 14 November 2022, masyarakat setempat tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dan hal ini terus berlanjut hingga kini,” ungkap WALHI.
Hal ini menunjukkan pengabaian terhadap suara masyarakat yang selama ini terkena dampak negatif dari PLTU Cirebon 1.
Dalam konteks ini, kerangka kerja yang ada untuk pemensiunan dini Cirebon 1 dengan menggunakan Mekanisme Transisi Energi (ETM) terkesan tidak memadai.
“Mekanisme ini tidak benar-benar menangani krisis iklim dan tidak memperhatikan masyarakat lokal yang sudah lama terdampak,” tambah WALHI.
Upaya untuk mengoperasikan Cirebon 1 selama 11 tahun ke depan berdasarkan kerangka kerja yang ada dinilai tidak sejalan dengan kebutuhan mendesak untuk menangani krisis iklim.
Lebih lanjut, kerangka ETM memberikan ruang bagi perusahaan seperti Cirebon Electric Power (CEP) untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap dampak yang ditimbulkan.
“Kita tidak bisa membiarkan korporasi terus mencari keuntungan sambil mengabaikan kesehatan dan mata pencaharian masyarakat yang terdampak,” tegas WALHI.
Penjadwalan pemensiunan PLTU Batubara Cirebon 1 hingga tahun 2035 menunjukkan bahwa prioritas masih diberikan kepada kepentingan bisnis ketimbang kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
Sementara itu, terdapat rencana untuk memulai operasi Cirebon Unit 2 dengan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi dibandingkan Cirebon 1.
“Ini adalah sebuah kontradiksi. Di satu sisi, pemerintah berdiskusi tentang pemensiunan dini Cirebon 1, sementara di sisi lain mereka melanjutkan proyek yang justru meningkatkan emisi,” kritik WALHI.
Keputusan ini menunjukkan ketidakselarasan dalam kebijakan yang diambil dan menambah kerumitan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Komponen lain dari masalah ini adalah kompensasi yang diterima CEP dan investornya akibat pemendekan jangka waktu Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL).
“Kompensasi ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap masyarakat setempat yang berjuang untuk memulihkan mata pencaharian mereka yang terganggu oleh proyek-proyek ini,” ungkap WALHI.
Kerangka kerja yang ada saat ini memberi keleluasaan kepada perusahaan untuk melanjutkan praktik yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat.
Oleh karena itu, WALHI mendesak agar kerangka kerja ETM dan pemensiunan dini Cirebon 1 dibicarakan kembali dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
“Diskusi tentang pemensiunan harus melibatkan masyarakat yang telah terdampak. Tanpa partisipasi yang berarti, kita hanya akan melanjutkan siklus ketidakadilan yang ada,” ujar WALHI.
Melihat situasi yang ada, sangat jelas bahwa setiap langkah menuju pemensiunan dini PLTU Batubara Cirebon Unit 1 harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
“Kami sangat mendesak Bank Pembangunan Asia untuk tidak terjebak dalam kesepakatan prematur yang mengabaikan kepentingan masyarakat,” kata WALHI, menekankan perlunya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat sipil.
WALHI Jabar menegaskan, penghargaan terhadap masyarakat lokal dan kelompok masyarakat sipil harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan yang berkaitan dengan pemensiunan PLTU batubara.
“Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, kita dapat menghadapi tantangan krisis iklim secara efektif dan adil bagi semua pihak yang terlibat,” tandas WALHI.