Luasan terumbu karang di Bangka Belitung yang sebelumnya mencapai 82.259,84 hektar pada 2015, kini tersisa 12.474,54 hektar.

Ilustrasi. Menolak tambang laut di Bangka Belitung. (WALHI)
Ilustrasi. Menolak tambang laut di Bangka Belitung. (WALHI)

Kondisi ekologis di Kepulauan Bangka Belitung terus mengalami degradasi yang kronis setiap tahunnya. Kita bisa mempertimbangkan berbagai hal terkait penyebab situasi demikian, namun sulit untuk tidak menunjuk industri penambangan timah sebagai kontributor utama kerusakan lingkungan, karena ekses negatifnya mengemuka jelas di depan mata kita.

Tentu perusahaan-perusahaan tambang berplat merah maupun swasta yang berizin mengekstraksi timah, baik di darat dan laut, berkewajiban memulihkan lahan bekas tambang. Hal ini berfungsi untuk merehabilitasi lahan agar kondisinya kembali optimal. Namun janji pemulihan ini selalu “jauh api dari panggang”, karena temuan-temuan terkait kondisi ekologis di Bangka Belitung tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan.

“WALHI menemukan bahwa luasan terumbu karang di Bangka Belitung yang sebelumnya mencapai 82.259,84 hektar pada 2015, kini tersisa 12.474,54 hektar berdasarkan analisa citra tahun 2017. Sementara luas karang berjumlah 5.270,31 hektar. Selain itu, mangrove telah hilang seluas 240.467,98 hektar dari data awal berjumlah 273.692,81 hektar,” demikian keterangan resmi WALHI, diakses Minggu, 11 November 2024.

Implikasinya, ekosistem laut yang terganggu mengakibatkan hilangnya mikrobiologi, organisme, dan sumber daya laut lainnya. Temuan di darat memperlihatkan kondisi kronis yang sama. Berdasarkan laporan IKPLHD pada 2021, hasil inventarisasi data kolong tambang oleh BPDASHL Baturusa-Cerucuk pada 2018, terdapat 12.607 kolong dengan total luasan mencapai 15.579,747 hektar.

Gambaran di muka menjelaskan bahwa bisnis pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung mengabaikan aspek ekologis. Problem mendasarnya ialah, negara membiarkan para pemilik modal tambang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan timah, terutama melalui praktik pertambangan ilegal, yang tentunya terbebas dari kewajiban melakukan reklamasi lubang bekas tambang.

Desa Batu Beriga sendiri merupakan desa yang terletak di semenanjung timur Pulau Bangka dan dihuni oleh kelompok masyarakat etnis melayu yang telah mendiami kawasan tersebut secara turun temurun.

Dalam hubungannya dengan alam terutama laut, masyarakat setempat memiliki pola yang arif seperti panteng-lareng, dan taber laot serta metode dalam memanfaatkan sumber daya alam berkelanjutan yang menjadi landasan utama bagi masyarakat dalam hubungannya dengan alam.

Perairan Desa Batu Beriga merupakan salah satu kawasan yang masih terjaga kelestariannya. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh WALHI Kep. Bangka Belitung, bahwa dari 6 kategori kawasan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT), empat kategori NKT dimiliki oleh perairan Batu Beriga.

Selain itu, perairan Desa Batu Beriga menjadi rumah bagi keanekaragaman biota laut seperti: Penyu Hijau, Nautilus, Dugong, Hiu Pari, Ikan Napoleon, Lumba-lumba Hidung Botol, Kima serta Pari Manta. Adanya rencana aktivitas pertambangan di kawasan tersebut akan berdampak tidak hanya bagi masyarakat lokal dan adat istiadatnya, tetapi juga akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang ada di kawasan tersebut.

Dalam konteks yang lebih spesifik, hal-hal di ataslah yang mendasari masyarakat Batu Beriga bersama aliansi nelayan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil di Bangka seluruh Belitung menolak rencana penambangan di sana. Pihak penambang mengklaim telah mengantongi persyaratan yang diperlukan, seperti IUP Produksi dengan Nomor SK.541.16.3656/IUP-OP/DPE/2011–akan berakhir pada 2025–dengan luasan 5039,17 hektar; kemudian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) No.17112310511900002 dengan luas 46,76 hektar dan kedalaman penggalian 13 meter; hingga Penetapan zona tambang di laut Batu Beriga melalui Perda RZWP3-K.

Dengan berbagai dokumen ini, mereka memaksa tetap beraktivitas di tengah gelombang penolakan masyarakat. Hanya saja keabsahannya diragukan, karena sejak awal partisipasi aktif masyarakat Batu Beriga sebagai orang-orang yang terdampak disingkirkan. Mulai dari proses konsultasi publik penyusunan AMDAL, penetapan zona tambang di perairan laut Batu Beriga, serta terbitnya PKKPRL. Padahal pasal 4 huruf b Permen KP No. 12 tahun 2024 menegaskan bahwa masyarakat terdampak mesti dilibatkan secara bermakna pada proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Adapun dalam cakupan partisipasi publik yang lebih luas, meliputi masyarakat rentan, masyarakat adat, dan pemerhati lingkungan. Keterlibatan itu sangat penting, mengingat permohonan penerbitan PKKPRL sebagaimana pasal 125 ayat 3 Permen KP 28/2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang laut menyertai pertimbangan kepentingan masyarakat dan nelayan tradisional.

WALHI menilai, benih konflik telah ditanam dengan cara meminggirkan proses demokrasi dan penegakan supremasi hukum. Pertama, penyusunan dokumen-dokumen terkait hanya terjadi di tataran elit ekonomi dan politik, sementara partisipasi masyarakat Batu Beriga dinihilkan; Kedua, masyarakat Batu Beriga memandang rencana penambangan ini sarat kepentingan ekonomi-politik bagi para pemilik modal tambang semata, sedangkan masyarakat Batu Beriga yang berprofesi sebagai nelayan akan kehilangan ruang penghidupan;

Ketiga, Negara berupaya mengikis nilai-nilai luhur masyarakat Batu Beriga yang masih mengamalkan tradisi seperti taber laut, yang mana tradisi ini juga penting sebagai media amalan rasa syukur dan menjaga laut dari ketidakseimbangan ekosistem; Keempat, dampak jangka panjang dari bencana ekologis yang akan menerpa masyarakat Batu Beriga.

Pihak penambang memungkinkan akan tetap memaksa beroperasi di perairan Batu Beriga, Bangka Belitung dengan berbagai cara, misalnya, penggunaan kebijakan hukum anti-rakyat seperti UU Minerba, hingga pengerahan pihak kepolisian dan tentara. Masalahnya, ketika perusahaan penambang benar melakukan pendekatan represif terhadap perlawanan masyarakat Batu Beriga, konflik sosial yang lebih luas tidak akan terhindarkan.

Namun selama itu juga, masyarakat Batu Beriga di Bangka Belitung bersama aliansi nelayan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil mampu lebih keras kepala demi mempertahankan laut Batu Beriga dari penambangan. Sebab laut adalah milik rakyat, bukan segelintir orang pemilik modal.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.