Dana JETP akan menyasar proyek transisi energi berkeadilan di sejumlah negara berkembang, salah satunya Indonesia.

Diskusi tentang proyek transisi energi berkeadilan. (JETP Indonesia)
Diskusi tentang proyek transisi energi berkeadilan. (JETP Indonesia)

Dihadiri langsung Presiden Joko Widodo bersama pemimpin negara-negara dunia, proyek transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) resmi diluncurkan 15 November 2022 di sela pertemuan G20 di Bali. Setahun kemudian, proposal rencana kebijakan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) diluncurkan di Jakarta pada 21 November 2023. Namun seperti apa perkembangannya saat ini?

Kepala Sekretariat JETP Indonesia, Paul Butarbutar mengungkapkan nominal aspirasi pendanaan dari JETP yang sempat dibahas di COP 29 di Baku, Azerbaijan sebesar USD 1,3 triliun. Namun, nominal yang kemudian disepakati sebesar USD 300 miliar. Dari jumlah tersebut Indonesia kebagian jatah sebesar USD 21,6 miliar.

Penyediaan uang yang dioperasionalkan JETP berasal dari pendanaan dari sepuluh negara maju dan lembaga keuangan internasional. Dana JETP tersebut akan menyasar proyek transisi energi berkeadilan (just transition energy) di sejumlah negara berkembang. Salah satunya Indonesia.

“Kenapa JETP penting? Kalau bisa diimplementasikan dengan baik akan ada peluang tenaga kerja baru. Survei dari JETP mengenai pembangunan PLTP dengan daya 35 megawatt membutuhkan 2.500-3.000 orang selama lima tahun untuk penciptaan lapangan kerja,” katanya di Jakarta dikutip Selasa (10/12/2024).

Sekretariat JETP Indonesia juga menetapkan bidang fokus investasi (Invesment Focus Area) mulai dari efisiensi energi, elektrifikasi, pembangunan transmisi, pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT), pemensiunan PLTU dan rantai pasok kelistrikan EBT.

Ia juga mengungkap mengenai alasan Elon Mask tak jadi berinvestasi, meski sudah bertemu mantan Presiden Joko Widodo dan mantan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dikarenakan sumber kelistrikan Indonesia masih menggunakan energi fosil sebagai basis utama pembangkitan energi.

“Hasil analisis yang diluncurkan tahun kemarin sepakati membatasi emisi karbon dari pembangkit listrik yang tersambung di PLN hanya 250 ton emisi karbon di 2030. Untuk itu perlu kontribusi EBT 44 persen, kemudian kita akan mendapatkan dampak positif dari investasi itu,” terangnya.

Paul memaparkan saat ini pendanaan yang sudah disetujui JETP sebesar USD 1 miliar dalam bentuk pinjaman dan ekuitas. Dana tersebut akan menyasar proyek yang terkait langsung dengan elektrifikasi dan efisiensi energi dengan melibatkan stakeholder dalam negeri dan luar negeri.

Berdasarkan pengamatan Paul, dari sejumlah kegiatan efisiensi energi membutuhkan biaya besar. Kondisi tersebut yang membuat perbankan enggan memberikan pembiayaan. Karena itu, kata Paul, diharapkan pengembang atau perusahaan dapat memanfaatkan pendanaan JETP. Dengan begitu akan turut menarik perhatian pembiayaan dari perbankan.

“Kita sedang mengevaluasi pembelian untuk 10 ribu bus untuk beberapa kota paling besar. Termasuk di Jakarta dengan biaya USD 1 miliar,” katanya.

Akses pendanaan proyek transisi energi berkeadilan

Paul berharap proyek dengan label JETP dapat mengikut sembilan standar yang yang sudah ditetapkan. Standar 1-8 menurutnya sudah digunakan oleh semua lembaga perbankan dalam negeri dan luar negeri sebagai syarat akses pendanaan proyek transisi energi berkeadilan.

“Sedangkan standar kesembilan mengenai ekonomi dan diversitas,” terangnya.

Sementara itu mengenai dukungan perbankan, berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan roadmap untuk pembiayaan berkelanjutan. Dengan begitu, perbankan dapat berinvestasi untuk kegiatan yang bersifat hijau seperti energi baru terbarukan (EBT).

“Kalau dilihat pembiayaan proyek pembangkit skala kecil di bawah 10 megawatt hampir semua menggunakan duit perbankan dalam negeri. Di atas itu menggunakan perbankan internasionaL,” ujarnya.

Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Arifuddin menerangkan pihaknya mendorong agar JETP dapat membantu pendanaan terkait kerja sama Sustainable Renewable Energy (SRE) yang turut melibatkan masyarakat dan mahasiswa.

“Kami mendorong JETP untuk membantu pemerintah karena dananya terbatas sehingga bantuan dari stakeholder tentunya lebih mendorong perkembangan EBT dengan melibatkan masyarakat,” katanya.

Selain itu, kata Arifuddin, pendanaan lain yang diperlukan adalah mengenai kebutuhan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di daerah. Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, terdapat kebutuhan 253 unit pembangkit dalam bentuk pembangkit listrik tenaga hybrid (PLTH), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan PLTS atap.

“Dalam daftar tunggu pengembangan EBT saat ini sejumlah 6,9 megawatt untuk melistriki 13.350 kepala keluarga di seluruh Indonesia,” katanya.

Afifuddin berharap agar pendanaan JETP juga turut menyasar ke proyek yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dalam bentuk hibah. Hal itu menurutnya sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

“Di dalam penyusunan peta jalan ini salah satunya kriteria yang kami tambahkan di luar yang telah ditetapkan dalam Perpres 112 adalah aspek just transition, baik dari pekerja yang di-layoff dan masyarakat sekitar yang terdampak,” pungkasnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.