Deklarasi Asia Land Forum 2025 reformasi tata kelola pertanahan yang komprehensif untuk menjamin hak-hak komunitas yang terpinggirkan.

Petani menuntut implementas UU Reforma Agraria. (KPA)
Petani menuntut implementas UU Reforma Agraria. (KPA)

Asia kini tengah menghadapi tantangan besar terkait dengan tata kelola pertanahan yang semakin tidak adil, di mana masyarakat yang bergantung pada tanah, seperti petani, nelayan, penggembala, dan masyarakat adat, sering kali terpinggirkan. Deklarasi Asia Land Forum 2025 menegaskan perlunya reformasi tata kelola pertanahan yang lebih komprehensif, untuk melindungi hak-hak masyarakat yang secara historis terabaikan, termasuk perempuan dalam masyarakat patriarki.

Reformasi yang diserukan Deklarasi Asia Land Forum 2025 ini bertujuan untuk menyediakan lahan bagi petani, mengakui hak kepemilikan adat, serta melindungi masyarakat adat dan penggembala dari perampasan tanah yang semakin masif.

Sebagai latar belakang, lanskap politik di Asia saat ini sedang berubah secara drastis, dengan dominasi perusahaan swasta, investasi besar-besaran, serta kecerdasan buatan yang sering kali mengabaikan hak-hak sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat lokal. Walaupun ekonomi kawasan ini berkembang, tren ini justru menambah beban bagi mereka yang bergantung pada tanah untuk kelangsungan hidup.

Kini lebih dari sebelumnya, penting untuk memastikan tata kelola pertanahan yang inklusif, berpusat pada masyarakat, dan partisipatif, agar hak-hak komunitas ini terlindungi dan tercipta keadilan serta kesetaraan.

Deklarasi Asia Land Forum 2025: Konflik agraria dan ancaman terhadap pembela hak atas tanah

Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah meningkatnya konflik agraria yang mengancam para pembela hak atas tanah dan lingkungan. Pada tahun 2023, tercatat 196 pembela hak atas tanah dan lingkungan dibunuh di seluruh dunia, dengan lebih dari 2.100 kematian sejak 2012 (Global Witness).
Asia tetap menjadi pusat konflik agraria struktural yang memicu ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi. Filipina, misalnya, menjadi negara paling berbahaya dengan 298 pembunuhan sejak 2012, sementara negara-negara seperti India, Indonesia, dan Kamboja juga menghadapi ancaman serupa.

Di Indonesia, tercatat 295 konflik lahan pada tahun 2024, meningkat 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Konflik-konflik ini didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, pembangunan infrastruktur, pertambangan, kehutanan, dan pengembangan kawasan bisnis.

Akibatnya, terjadi 399 kasus kriminalisasi, 149 serangan fisik, dan empat kematian (KPA, 2024). Dalam satu dekade terakhir, sekitar 3.234 konflik lahan telah mempengaruhi 7,4 juta hektare tanah dan 1,8 juta keluarga.

Marginalisasi perempuan dan komunitas adat

Ketidaksetaraan dalam tata kelola pertanahan sangat berdampak pada perempuan dan masyarakat adat di Asia. Perempuan, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Indonesia, memiliki kepemilikan lahan jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Di Kamboja, hanya 15% lahan yang dimiliki secara eksklusif oleh perempuan, sementara di Indonesia angka ini hanya 12,5% (FAO).

Di India, meskipun ada perubahan hukum dalam Undang-Undang Pewarisan Hindu pada 2005, hanya 14% perempuan yang memiliki tanah secara mandiri (Sensus Pertanian 2015-16).

Selain itu, sistem sosial yang hierarkis, seperti kasta dan stigma budaya, menghalangi pengakuan hak tanah bagi komunitas adat. Ketidakadilan ini memperburuk kemiskinan, ketahanan pangan, dan eksklusi sosial, serta merusak upaya distribusi tanah yang adil.

Kegagalan Reforma Agraria dan dampaknya terhadap sistem pangan

Selama bertahun-tahun, kegagalan dalam implementasi reforma agraria telah mengarah pada konsentrasi kepemilikan tanah di tangan segelintir orang, sementara petani kecil dan komunitas adat semakin terpinggirkan. Perubahan undang-undang pertanahan di berbagai negara Asia menggusur jutaan petani dan merusak kebijakan reforma agraria yang telah ada sebelumnya. Ketidakpastian hak atas tanah ini juga melemahkan sistem pangan, karena petani kecil yang tidak memiliki kepastian hukum enggan berinvestasi dalam pertanian berkelanjutan.

Kebijakan iklim yang berkaitan dengan transisi berkeadilan dan pasar karbon memperburuk situasi ini, karena semakin banyak lahan yang diperuntukkan bagi proyek besar yang mengabaikan kepentingan masyarakat lokal. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dari pemerintah untuk mempercepat reformasi pertanahan dan memastikan pengakuan terhadap hak-hak tanah adat serta kebijakan iklim yang lebih responsif terhadap kebutuhan petani kecil.

Krisis iklim yang semakin parah dan pergeseran menuju ekonomi rendah karbon memberikan dampak yang tidak proporsional kepada komunitas yang terpinggirkan. Mekanisme pendanaan iklim yang ada saat ini sebagian besar tidak dapat diakses oleh organisasi kecil dan gerakan akar rumput, sehingga semakin memperdalam ketidaksetaraan yang ada. Tanpa kebijakan yang inklusif, komunitas-komunitas ini akan terus dikecualikan dari pendanaan iklim, program adaptasi, dan pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan.

Pemerintah dan organisasi internasional harus memastikan bahwa program transisi berkeadilan benar-benar inklusif, dengan memprioritaskan manusia di atas keuntungan. Akses yang adil terhadap pendanaan iklim, partisipasi aktif dalam kebijakan mitigasi iklim, dan kerangka pembagian manfaat yang adil harus diterapkan untuk mendukung komunitas-komunitas yang paling terdampak oleh krisis iklim.

Seruan untuk bertindak

Deklarasi Asia Land Forum 2025 menyerukan kepada berbagai pemangku kepentingan untuk mengambil tindakan yang lebih tegas dan segera. Pemerintah di seluruh Asia harus menerapkan reformasi tata kelola pertanahan yang komprehensif untuk menjamin hak-hak komunitas yang terpinggirkan, termasuk perempuan dalam masyarakat patriarki. Pemerintah juga harus mengakui hak-hak masyarakat adat, menyediakan lahan untuk petani, dan melindungi penggembala.

Selain itu, sektor swasta harus bertanggung jawab atas peranannya dalam perampasan lahan dan kerusakan lingkungan, serta memastikan bahwa proyek mereka mematuhi prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (FPIC). Organisasi internasional juga harus memperkuat dukungan mereka terhadap tata kelola pertanahan yang berpusat pada rakyat serta memastikan mekanisme pendanaan iklim dapat diakses oleh komunitas yang terdampak.

Deklarasi ini bukan sekadar seruan, tetapi komitmen untuk bertindak. Asia Land Forum 2025 mengajak semua pihak untuk bertindak secara kolektif dan transformatif dalam menciptakan tata kelola pertanahan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan memperjuangkan hak-hak tanah yang adil dan melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat yang terpinggirkan di Asia.

*Tulisan ini diadopsi pada 20 Februari 2025, di Jakarta, Indonesia, oleh anggota International Land Coalition Asia (diakses dari KPA).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.