Di seluruh Indonesia ada 131 izin konsesi industri ekstraktif pertambangan yang berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi.

Gerakan #BersihkanIndonesia bersama JATAM dan Trend Asia meluncurkan laporan “Bencana yang Diundang: Bagaimana Potret Awal Investasi Ekstraktif-Energi Kotor dan Keselamatan Rakyat di Kawasan Risiko Bencana Indonesia”. Laporan ini menemukan ratusan proyek industri ekstraktif justru dibangun di daerah berisiko tinggi bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir.
Secara rinci, di seluruh Indonesia, ada 131 izin konsesi pertambangan yang berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi, 2.104 konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana banjir, 744 konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana tanah longsor.
Sementara itu, 57 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 8.887 Megawatt (MW) dalam status beroperasi dan 31 PLTU lain dengan total kapasitas 6.950 MW dalam status ragam tahap pembangunan berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi. Ini belum termasuk PLTU yang berada di daerah risiko banjir dan tanah longsor.
“Dalam kajian ini, kami juga mengulas adanya konflik kepentingan oligarki industri ekstraktif yang saat ini berada di lingkar pemerintahan. Mereka yang berkuasa inilah, yang dapat membuat dan mendorong berbagai kebijakan berbasis proyek pro-industri ekstraktif yang memperparah risiko bencana,” ungkap Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, diakses dari laman resmi, Kamis, 27 Maret 2025.
Merah Johansyah, Koordinator JATAM Nasional mengemukakan temuan kunci lainnya, yakni adanya peningkatan tingkat kerentanan bencana di Indonesia karena infrastruktur ekologis yang ada sudah dirusak oleh eksploitasi industri ekstraktif.
Padahal, infrastruktur ekologis ini secara alamiah berfungsi untuk menghadapi ancaman bahaya bencana. Seperti fungsi ekologis Gunung Tumpang Pitu dan Salakan di pesisir Banyuwangi Selatan sebagai benteng alami dan gua-guanya menjadi ruang evakuasi warga saat tsunami tahun 1994 terjadi. Namun, kini kedua gunung ini rusak dan terancam oleh operasi pertambangan emas.
“Warga terdampak dibuat semakin rentan. Namun, warga dibuat tidak boleh menolak pengrusakan oleh industri ekstraktif di wilayahnya. Ruang partisipasi warga ditutup, tak ada hak untuk menolak dan veto bagi rakyat,” ungkapnya.
Merah menambahkan, upaya dari warga malah dihadapkan dengan kekerasan. Data JATAM Nasional mencatat, sepanjang 2014-2020 terdapat 269 korban kriminalisasi dengan menggunakan instrumen regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Tidak hanya dengan UU Minerba, seperti kasus nelayan Kodingareng yang menolak dikriminalisasi karena merobek amplop berisi uang yang diberikan perusahaan agar warga menerima proyek tersebut.
Lebih jauh ia menjelaskan, selain sebagai alat kriminalisasi, regulasi seperti UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta Kerja justru mengundang bencana itu sendiri. Hal itu terlihat dari; pertama, fleksibilitas perubahan tata ruang yang semakin mempermudah investasi ekstraktif berdiri di kawasan rawan bencana.
Kedua, memberikan jaminan perpanjangan otomatis bagi kontrak pertambangan besar sehingga tak ada peluang untuk mengoreksi alokasi konsesi yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana. Ketiga, pemusatan kewenangan hingga kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mensubversi ruang daerah dan menempatkan penilaian risiko bencana di daerah di bawah kepentingan pemerintah pusat dan pengusaha belaka.
Seperti di Wadas, penolakan warga dan ancaman penambangan yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana tanah longsor diabaikan karena rencana penambangan quarry, batu andesit untuk Bendungan Bener dipaksakan atas nama PSN.
“Kami sangat sadar kalau proyek itu akan mengundang bencana. Karena itu, kami menolaknya,” ujar Mukti, warga Wadas.
Begitu juga pembangunan PLTU batubara Teluk Sepang di Bengkulu yang tetap dilanjutkan meski sudah dinyatakan sebagai kawasan berisiko tinggi bencana oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat. Ada juga PLTU batubara Panau di Palu yang sudah sempat roboh dihantam tsunami pada 2018, tetapi tetap dipaksakan untuk dibangun kembali.
“Selama 11 tahun kami menderita sejak pendirian PLTU Panau. Kini setelah PLTU ambruk karena tsunami, kami akhirnya bisa hidup nyaman. Kami menolak PLTU Panau dibangun kembali!” tegas Arzad Hasan, warga terdampak PLTU Panau, Palu.
- Tambang minyak ilegal menghantui Hutan Harapan
Hutan Harapan dikelilingi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Di wilayah tersebut telah lama jadi surga bagi penambang minyak ilegal - Banjir dan longsor di Sumatra: Krisis ekologis akibat kerusakan hutan dan gagalnya tata kelola lingkungan
WALHI: kerentanan ekologis meningkat akibat deforestasi, eksploitasi, dan lemahnya respons negara terhadap peringatan dini serta perlindungan ruang hidup masyarakat. - Kayu ilegal dari Hutan Sipora Mentawai berlayar hingga Gresik
Hutan Sipora Mentawai bukan sekadar kumpulan pohon; mereka adalah rumah bagi primata endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. - Menembus belantara jargon, cara IS2P perkuat narasi jurnalisme keberlanjutan
Memperkuat ekosistem jurnalisme keberlanjutan di Indonesia, mulai dari basis data, dialog konstruktif hingga pengungkapan keberlanjutan di industri - ‘Tsunami kedua’ wujud nyata bencana ekologis yang melanda Sumatera
Bencana ekologis kali ini memiliki karakteristik unik karena menyerang secara simultan di tiga provinsi yang menjadi tulang punggung ekosistem Bukit Barisan. - Bekas tambang minyak di Hutan Harapan mulai menghijau
Bekas tambang minyak ilegal di areal Hutan Harapan, hingga kini jejaknya masih terlihat jelas. Ada sumur yang terus menyemburkan gas






