Suara masyarakat adat menyerukan petisi penolakan tambang nikel di Raja Ampat. Tambang mengancam kehidupan.

Pulau Raja Ampat. (ESDM)
Pulau Raja Ampat. (ESDM)

Puluhan pemimpin masyarakat adat Suku Betew dan Maya dari 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, Kabupaten Raja Ampat, dengan lantang menyuarakan penolakan mereka terhadap aktivitas tambang nikel.

Penolakan tegas masyarakat adat Suku Betew dan Mayat tertuang dalam sebuah petisi yang diserahkan kepada anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat pada 24 Maret 2025, disaksikan oleh pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setempat. Petisi tersebut secara jelas mengartikulasikan kekhawatiran mendalam dan aspirasi masyarakat adat terkait potensi dampak buruk pertambangan nikel seluas 2.193 hektar di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun.

Alasan penolakan ini berakar kuat pada status kedua pulau tersebut sebagai wilayah adat yang sakral dan bagian tak terpisahkan dari kawasan hutan lindung. Masyarakat adat Suku Betew dan Maya meyakini bahwa aktivitas bisnis ekstraktif pertambangan nikel akan membawa malapetaka, mulai dari penggundulan hutan yang tak terhindarkan, kerusakan dan pencemaran lingkungan sekitar, hingga kehancuran ekosistem perairan laut yang menjadi sumber kehidupan mereka selama bergenerasi-generasi.

Lebih jauh, masyarakat adat juga menyuarakan kekhawatiran bahwa kehadiran perusahaan tambang nikel akan memicu konflik horisontal di tengah masyarakat, menghilangkan mata pencaharian tradisional mereka, dan secara signifikan mengurangi pendapatan keluarga.

Kerusakan dan pencemaran laut akan secara langsung mengancam ekosistem bawah laut yang kaya, habitat beragam biota laut, serta merusak wilayah pesisir yang selama ini menjadi tumpuan hidup para nelayan. Mereka memprediksi kesulitan melaut yang semakin besar, jarak tempuh yang lebih jauh, dan biaya operasional yang membengkak sebagai konsekuensi logis dari aktivitas pertambangan.

Yohan Sauyai, seorang pemimpin masyarakat adat yang turut menyampaikan petisi penolakan, dengan tegas menyatakan, “Kami sudah sejak lama turun temurun hidup tergantung dari alam. Aktifitas pertambangan nikel merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sosial masyarakat,” diakses dari keterangan resmi, Minggu, 27 April 2025.

Senada dengan Sauyai, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Waigeo Barat (Waibar) secara kolektif menolak keberadaan perusahaan tambang nikel di wilayah mereka. Mereka mendesak pemerintah di berbagai tingkatan – mulai dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat Daya, hingga Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat – untuk segera mencabut seluruh izin usaha yang telah dikeluarkan kepada perusahaan tambang nikel.

Izin-izin yang mereka soroti meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin teknis lainnya, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), hingga Izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Laut.

“Kami sepakat bahwa kegiatan tambang di pulau kecil dalam bentuk apapun harus segera dihentikan. Kami tidak menginginkan kerusakan lingkungan akibat industri nikel. Kami tidak mau menanggung penderitaan akibat dari ambisi global,” imbuh Sauyai dengan nada penuh harap agar suara mereka didengar dan diindahkan.

Informasi dari berbagai media menyebutkan bahwa saat ini terdapat lima perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Papua, dan ironisnya, empat di antaranya berlokasi di Kabupaten Raja Ampat, wilayah yang selama ini dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau.

Bahaya tambang nikel pada Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat, yang sering dijuluki sebagai “surga tersembunyi” di ujung barat Papua Barat, telah lama menjadi ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Gugusan pulau-pulau karst yang menjulang anggun, kekayaan biota laut yang tak tertandingi, serta keunikan budaya masyarakat lokal menjadi magnet yang kuat bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat menunjukkan tren positif dalam sektor pariwisata Raja Ampat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun fluktuasi kunjungan wisatawan mungkin terjadi akibat berbagai faktor global dan regional, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian daerah tidak dapat disangkal.

Statistik mengenai jumlah wisatawan, rata-rata lama tinggal, dan tingkat hunian akomodasi memberikan indikasi yang jelas mengenai potensi besar pariwisata sebagai penggerak ekonomi utama di Raja Ampat.

Selain mencatat perkembangan pariwisata, BPS juga mendokumentasikan data penting terkait demografi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Raja Ampat. Informasi mengenai jumlah penduduk, kepadatan populasi, mata pencaharian utama, serta tingkat pendidikan dan kesehatan memberikan gambaran yang lebih holistik tentang kehidupan di kepulauan ini.

Mayoritas masyarakat Raja Ampat memiliki hubungan yang erat dengan laut, di mana sektor perikanan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Data BPS secara rinci mencatat produksi perikanan, jenis-jenis ikan yang dominan, serta kontribusi signifikan sektor ini terhadap pendapatan daerah.

Data BPS juga mencakup informasi mengenai ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung di Raja Ampat. Keberadaan akomodasi seperti hotel dan penginapan, aksesibilitas transportasi darat dan laut, serta fasilitas penunjang pariwisata lainnya merupakan elemen krusial dalam menopang pertumbuhan sektor pariwisata. Data ini memberikan indikasi mengenai tingkat kemajuan infrastruktur yang telah dicapai serta tantangan yang masih perlu diatasi.

Penolakan keras dari masyarakat adat Suku Betew dan Maya terhadap pertambangan nikel di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun menjadi sorotan tajam terhadap potensi ancaman yang dihadapi oleh keindahan alam Raja Ampat dan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal yang sangat bergantung pada ekosistem laut yang sehat.
Kekhawatiran mereka bukan hanya tentang kerusakan lingkungan, tetapi juga tentang hilangnya identitas budaya dan potensi ekonomi pariwisata yang selama ini menjadi harapan masa depan Raja Ampat. Suara penolakan ini adalah panggilan mendesak bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mempertimbangkan secara matang dampak jangka panjang dari aktivitas pertambangan terhadap warisan alam dan sosial budaya Raja Ampat yang tak ternilai harganya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.