Rhizoma Indonesia menyeru orang muda untuk mengkritik kebijakan yang tidak berpihak kepada penyelamatan bumi dari bahaya pemanasan global.

Rhizoma Indonesia menyeru orang muda untuk mengkritik kebijakan yang tidak berpihak kepada penyelamatan bumi dari bahaya pemanasan global.
Orang muda diajak kritis dalam melihat fenomena pemanasan global. (Foto: AI)

Peringatan Hari Bumi 2025 yang baru saja berlalu menegaskan kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan: suhu bumi semakin meningkat. Tahun 2023 tercatat sebagai salah satu tahun terpanas dalam sejarah pencatatan global, dengan suhu rata-rata mencapai 1,75°C, jauh di atas batas yang dijanjikan oleh negara-negara dunia dalam Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu di bawah 1,5°C. Orang-orang muda diharapkan kritis terhadap fenomena ini.

Kenaikan suhu yang terus berlanjut memicu berbagai bencana alam, seperti tanah longsor, gelombang panas, puting beliung, dan banjir yang semakin sering terjadi. Dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, namun respons yang diberikan pemerintah, khususnya Indonesia, masih jauh dari cukup.

Indonesia, yang pada tahun 2022 mengajukan komitmen baru untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) sebesar 31% upaya sendiri dan 43% dengan bantuan luar negeri, belum cukup memadai untuk mengatasi dampak pemanasan global.

Meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi emisi, seperti revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 tentang kebijakan energi nasional, komitmen tersebut masih dipandang oleh banyak pihak sebagai langkah yang tidak cukup ambisius. Bahkan, meskipun ada peningkatan komitmen tersebut, dampaknya diperkirakan akan tetap membawa kita pada kenaikan suhu bumi hingga 4°C, yang berpotensi menambah krisis global yang sudah ada.

Salah satu kebijakan yang mendapatkan sorotan tajam adalah rencana transisi energi yang tercermin dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10/2025 tentang peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan.

Menurut Wahyu Widianto, Manajer Advokasi dan Program Rhizoma Indonesia, kebijakan ini jelas bertentangan dengan upaya untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan.

“Judulnya saja sudah tidak sesuai dengan amanat PerPres 112/2022, apalagi isinya… seharusnya yang diamanatkan adalah ‘peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU,’ bukan ‘peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan.’ Itu saja sudah berbeda jauh,” ujar Wahyu, dalam keterangan resmi, 25 April 2025.

Menurut Wahyu, peta jalan yang dirancang justru tidak mempercepat penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, melainkan justru memperpanjang umur PLTU batubara yang sudah sangat merusak lingkungan. Pemerintah, menurutnya, tidak memprioritaskan faktor lingkungan dan kesehatan dalam kebijakan tersebut.

“Kriteria pengakhiran masa operasional PLTU tidak menjadikan dampak lingkungan dan Kesehatan sebagai kriteria utama,” lanjut Wahyu.

Lebih lanjut, peta jalan yang ditetapkan dalam kebijakan tersebut juga tidak mencakup PLTU captive (off-grid) yang masih diperbolehkan beroperasi hingga tahun 2050. PLTU captive, yang digunakan untuk kepentingan industri, berpotensi menjadi ancaman besar terhadap upaya pengurangan emisi karbon di Indonesia. Global Energy Monitor (GEM) mencatat, sekitar 10.821 MW kapasitas PLTU batu bara captive saat ini beroperasi di Indonesia, termasuk PLTU besar seperti PLTU Babelan dengan kapasitas 280 MW yang menyuplai kebutuhan listrik kawasan industri JABABEKA di Jawa Barat.

Rhizoma Indonesia, yang selama ini konsisten mengadvokasi kebijakan energi berkelanjutan, menyatakan bahwa krisis iklim tidak bisa lagi dibiarkan begitu saja. Gerakan ini menyerukan kepada seluruh orang muda Indonesia untuk bergabung dalam perjuangan melawan kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi dan lembaga keuangan internasional, yang justru memperburuk kondisi lingkungan.

Seruan Rhizoma Indonesia untuk orang muda

Rhizoma juga mengeluarkan sejumlah seruan mendesak untuk segera direspons oleh pemerintah:

  1. Membangun gerakan orang muda untuk masa depan bumi yang layak huni dengan mengkritisi secara aktif kebijakan, proyek, serta solusi-solusi palsu yang dijalankan oleh pemerintah demi kepentingan korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional.
  2. Mendesak institusi negara untuk meningkatkan komitmen pengurangan emisi karbon yang lebih progresif dan sejalan dengan kesepakatan internasional pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi bersih pada tahun 2050.
  3. Membangun kekuatan rakyat dan agenda lingkungan untuk mewujudkan transisi energi yang adil antar generasi, guna menghindari keruntuhan global.
  4. Mendesak Menteri ESDM untuk mencabut PerMen ESDM No. 10/2025 tentang peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan yang dinilai kontraproduktif.
  5. Mendesak Menteri ESDM untuk mencabut KepMen ESDM No. 85/2025 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dinilai tidak cukup ambisius dalam menghadapi krisis iklim.
  6. Mendorong agar kriteria dampak lingkungan dan kesehatan dijadikan indikator utama dalam pengakhiran masa operasional PLTU.

Seruan ini menggema sebagai panggilan untuk aksi dari generasi muda Indonesia, agar tidak hanya menjadi penonton dalam krisis iklim yang semakin parah, tetapi juga aktif terlibat dalam perubahan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.