Aktivitas tambang emas yang mulai beroperasi di pulau kecil Sangihe mengubah kehidupan masyarakat. Pola hidup warga terganggu.

Dampak aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe. (Yayasan EcoNusa/Putri Febriantika)
Dampak aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe. (Yayasan EcoNusa/Putri Febriantika)

Di ujung utara Sulawesi, Kepulauan Sangihe berdiri sebagai wilayah yang erat kaitannya dengan laut. Bagi masyarakat Sangihe, laut bukan sekadar tempat mencari nafkah—ia adalah bagian dari identitas, budaya, dan cara hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, kini keberlangsungan hidup mereka berada di ujung tanduk. Kehadiran tambang emas mengancam ekosistem laut yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Masyarakat Sangihe dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka melaut menggunakan pumpboat, perahu tradisional yang merupakan adaptasi dari perahu Filipina. Dalam keseharian, para nelayan ini melaut dari pagi hingga sore, melakukan empat hingga enam perjalanan seminggu. Ikan tongkol—dikenal sebagai deho dalam bahasa daerah—kerapu, kakap, dan layang (malalugis) adalah hasil utama tangkapan mereka. Ikan-ikan ini menjadi bahan pangan pokok sekaligus sumber penghasilan.

Namun sejak beberapa tahun terakhir, pola hidup ini terganggu. Aktivitas tambang emas yang mulai beroperasi di pulau kecil itu perlahan mengubah kehidupan masyarakat.

“Dulu kami bisa melaut dekat pesisir, dan hasil tangkapan sudah cukup untuk hidup. Sekarang, kami harus pergi lebih jauh ke laut, dan hasil tangkapan semakin sedikit,” ungkap Desmon Sondak, nelayan dari Kampung Bulo, dikutip dari EcoNusa.

Tambang emas yang beroperasi di Pulau Sangihe membuang limbah tanah ke laut, menyebabkan sedimentasi dan mengubah kondisi perairan secara drastis. Air laut menjadi keruh, terumbu karang rusak, dan ekosistem pesisir seperti mangrove dan lamun terganggu. Akibatnya, populasi ikan menurun drastis.

“Air laut sekarang semakin keruh, ikan juga susah didapatkan,” ujar Venetsia, nelayan dari Kampung Bowone. Ia menambahkan, “Kami khawatir, jika ini terus berlanjut, ikan yang kami tangkap tidak akan layak konsumsi.”

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sudah ada warga yang mengalami keracunan setelah mengonsumsi kerang laut dari wilayah terdampak. “Setelah kejadian itu, kami jadi takut untuk mengonsumsi kerang laut yang ada di sekitar pulau,” lanjut Venetsia dengan nada khawatir.

Bagi para nelayan, laut bukan hanya sumber pendapatan, tetapi juga penopang kesehatan dan keberlangsungan hidup keluarga mereka. Dampak pencemaran dari tambang emas semakin terasa dari waktu ke waktu. “Kami yang hidupnya bergantung pada laut, kini merasa terancam. Laut yang dulu memberikan kehidupan, kini malah merugikan kami,” keluh Desmon dan Venetsia.

Penolakan masyarakat terhadap tambang tidak terjadi dalam diam. Mereka telah menempuh berbagai jalur, mulai dari mediasi hingga gugatan hukum. Pada akhirnya, Mahkamah Agung memenangkan gugatan masyarakat Sangihe dan memutuskan mencabut izin usaha PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Putusan ini menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang sebelumnya telah membatalkan Surat Keputusan Menteri ESDM terkait operasi produksi PT TMS.

Namun ironisnya, tambang emas tetap beroperasi di lapangan. Alih-alih berhenti, aktivitas tambang justru terus berlangsung.

Situasi ini mendorong kelompok masyarakat sipil dan aktivis lingkungan semakin lantang menyuarakan penolakan. Jull Takaliuang, aktivis dari Koalisi Save Sangihe Island (SSI), menjadi salah satu suara utama dalam perjuangan ini. “Alam sudah sediakan semua yang masyarakat Sangihe butuhkan. Perusahaan tambang ini datang hanya untuk mengeruk dan merusak alam kita,” ujarnya tegas.

Penolakan terhadap tambang emas bukan semata soal lingkungan, melainkan juga soal martabat dan masa depan. Bagi masyarakat Sangihe, mempertahankan laut berarti menjaga identitas mereka. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup hari ini, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang tetap bisa menggantungkan hidup pada laut seperti leluhur mereka.

“Kami ingin generasi mendatang tetap bisa hidup dari laut yang sama seperti kami. Itu yang kami perjuangkan,” kata Desmon, menggambarkan semangat kolektif masyarakat nelayan di pulau itu.

Di tengah tekanan industri ekstraktif, masyarakat Sangihe memberi pelajaran penting tentang ketahanan budaya dan keberlanjutan. Ketika laut rusak, maka bukan hanya ekosistem yang hilang, tetapi juga jejak sejarah, kearifan lokal, dan ruang hidup sebuah komunitas yang telah menjadikan laut sebagai pusat kehidupan.

Harapan mereka sederhana namun dalam: laut yang bersih, ekosistem yang sehat, dan masa depan yang tetap terikat pada alam. Bagi masyarakat Sangihe, keberlanjutan bukan sekadar wacana, tapi sebuah perjuangan nyata demi mempertahankan warisan hidup yang telah menghidupi mereka selama berabad-abad.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.