KPA dan ForSDa Gelar Pendidikan Kader di Kolaka, Sulawesi Tenggara di tengah ketimpangan kepemilikan tanah.

Konflik agraria di Sulawesi Tenggara (Sultra) terus menjadi masalah yang belum tuntas. Ketimpangan kepemilikan tanah, perampasan lahan oleh perusahaan tambang, serta lemahnya perlindungan hukum bagi petani, menjadi tantangan besar dalam perjuangan hak atas tanah di daerah ini.
Dalam upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Forum Solidaritas Daerah (ForSDa) Kolaka menggelar pendidikan kader melalui Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).
Pendidikan yang berlangsung selama tiga hari, mulai Rabu (12/3) hingga Jumat (14/3) di Kolaka, Sultra, diikuti oleh 32 peserta dari berbagai organisasi rakyat yang tergabung dalam jaringan KPA. Di antaranya adalah Serikat Tani Mekongga, Serikat Tani Mekongga Timur, Lembaga Adat Adati Totongano Wonua Kampo Hukaea-laea, dan ForSDa.
Tujuan utama dari pendidikan ARAS adalah untuk membekali para kader dengan pemahaman yang mendalam tentang pengorganisasian dan advokasi, serta memperkuat organisasi rakyat dalam perjuangan reforma agraria.
Menurut Syamsudin Wahid, Kepala Departemen POR KPA dan salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut, pendidikan ini bukan hanya soal teori. “Pendidikan ini juga menjadi upaya ideologisasi bagi para kader,” ujarnya. Syamsudin menekankan pentingnya pertukaran pikiran dan pengalaman dalam perjuangan hak atas tanah.
Selain materi tentang strategi advokasi, para peserta juga berbagi pengalaman tentang konflik agraria yang terjadi di daerah mereka. Salah satu kasus yang mencuat adalah sengketa lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang nikel di Kolaka dan Bombana.
Di beberapa wilayah Sultra, termasuk Kolaka dan Bombana, masyarakat telah menggarap tanah secara turun-temurun. Namun, ketika konsesi tambang diberikan kepada perusahaan, tanah mereka diklaim sebagai bagian dari wilayah eksploitasi. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan hak atas tanah dan menghadapi intimidasi. Beberapa bahkan dijerat dengan kasus hukum karena berusaha mempertahankan hak atas tanah mereka.
Jabir Lahukui, Direktur ForSDa yang juga menjadi pemateri dalam ARAS, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan tambang yang memperoleh izin eksploitasi tanpa melalui konsultasi yang memadai dengan masyarakat.
“Selama ini, masyarakat sering kali tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, ini memperparah konflik agraria yang terjadi,” kata Jabir, dalam keterangan resmi. Ia juga menekankan pentingnya memahami siapa kawan dan siapa lawan dalam perjuangan ini, agar langkah-langkah yang diambil bisa lebih terarah.
Pendidikan ARAS juga memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi para kader dalam menerapkan strategi pengorganisasian, terutama menghadapi tekanan dari perusahaan dan aparat negara, serta minimnya perlindungan hukum bagi petani dan aktivis agraria. Keterbatasan ini menjadi salah satu fokus dalam pendidikan untuk memberikan pemahaman tentang advokasi dan risiko kriminalisasi yang mungkin dihadapi oleh para pembela hak tanah.
Iwa Kartiwa, salah satu narasumber, menjelaskan bahwa dalam melakukan advokasi, pengumpulan data dan strategi kampanye adalah hal yang sangat penting.
“Data adalah kekuatan dalam advokasi. Tanpa data yang kuat, perjuangan kita bisa lemah,” tegasnya. Data yang akurat dan terkini menjadi salah satu kunci untuk memperkuat posisi masyarakat dalam berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah.
Lebih lanjut, pendidikan ini juga berpotensi untuk diikuti dengan langkah-langkah konkret, seperti pendampingan hukum bagi korban konflik agraria, strategi pengorganisasian yang lebih sistematis, serta peningkatan tekanan politik terhadap kebijakan yang merugikan petani. Untuk itu, sinergi antara organisasi rakyat, akademisi, dan media perlu diperkuat agar isu agraria semakin mendapat perhatian publik dan kebijakan politik yang lebih berpihak kepada rakyat.
Syamsudin Wahid menegaskan, “Reforma agraria sejati bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga bagaimana pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam aksi nyata untuk mengubah ketimpangan struktural yang masih mengakar.” Dalam konteks ini, pendidikan kader tidak hanya menjadi ruang untuk menambah wawasan, tetapi juga sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat gerakan sosial dalam mewujudkan keadilan agraria.
Pendidikan ARAS yang pertama kali diadakan di Sulawesi Tenggara ini diharapkan menjadi titik awal untuk diskusi dan pendidikan lebih lanjut mengenai reforma agraria. Syamsudin berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan untuk memperkuat perjuangan hak atas tanah di masa depan. “Harapan kita, hasil dari pendidikan ARAS ini akan melahirkan peningkatan kesadaran politik, pemahaman yang lebih kuat tentang hak-hak agraria, serta strategi advokasi yang lebih efektif,” tutupnya.
Dengan berakhirnya pendidikan ini, perjuangan hak atas tanah di Sulawesi Tenggara terus berlanjut. Para kader ARAS kini diharapkan dapat membawa pengetahuan dan strategi yang mereka peroleh untuk memperjuangkan keadilan agraria di daerah masing-masing.