Konsumsi mikroplastik memiliki risiko penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat. Gangguan ini mencakup kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan.

Mikroplastik tak hanya mencemari laut dan tanah. Tanpa disadari, partikel kecil ini juga perlahan menggerogoti kemampuan berpikir manusia. Temuan terbaru Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia menyebutkan, mikroplastik dalam tubuh manusia berpotensi menurunkan fungsi kognitif secara signifikan.
Penelitian ini menjadi alarm keras bahwa kontaminasi mikroplastik kini bukan lagi soal limbah atau ekosistem semata, melainkan menyangkut kesehatan otak manusia.
“Produksi sampah plastik yang terus meningkat tanpa diimbangi pengelolaan yang mumpuni telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di berbagai aspek lingkungan – air, tanah, udara, dan produk konsumsi seperti ikan, daging, dan garam. Kondisi ini semakin meningkatkan kekhawatiran akan risiko kontaminasi mikroplastik pada manusia,” kata Afifah Rahmi Andini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia, diakses dari keterangan resmi, Kamis, 17 April 2025.
Data dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat bahwa volume sampah plastik dunia melonjak tajam dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton hanya dalam dua dekade (2000–2019). Sementara di Indonesia, menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, jumlah sampah plastik pada 2023 mencapai 7,86 juta ton, atau hampir 20 persen dari total sampah nasional.
Kebanyakan sampah plastik ini akhirnya mencemari lingkungan atau berakhir di tempat pembuangan akhir. Dari sanalah mikroplastik masuk ke tubuh manusia—melalui makanan, udara, bahkan air minum.
Untuk menggali lebih dalam, Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia melakukan riset kolaboratif sepanjang Januari 2023 hingga Desember 2024. Penelitian ini berlangsung dalam dua tahap. Pertama, survei terhadap 562 responden di wilayah Jabodetabek untuk mengidentifikasi kelompok yang paling rentan terhadap paparan mikroplastik serta kebiasaan konsumsi plastik mereka. Tahap berikutnya, pengambilan sampel urin, darah, dan feses dari partisipan terpilih dilakukan guna mengukur kadar mikroplastik dalam tubuh mereka.
Hasilnya mencengangkan. Dari 67 partisipan, 95 persen terdeteksi mengandung mikroplastik. Pada sampel darah, ditemukan mikroplastik dengan kadar hingga 7,35 partikel per gram. Di urin, sebanyak 0,33 partikel per mililiter. Sementara dalam feses, kadarnya bisa mencapai 44,35 partikel per gram.
Jenis mikroplastik yang paling dominan adalah Polyethylene Terephthalate (PET), dengan total 204 partikel terdeteksi. Partikel jenis ini lazim ditemukan dalam botol plastik, kemasan makanan siap saji, hingga serat pakaian.
Temuan yang lebih serius datang dari sisi medis. Menurut dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K), Ph.D, Ahli Saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), ada hubungan signifikan antara paparan mikroplastik dengan gangguan fungsi kognitif.
“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup di antaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” ujarnya.
Evaluasi kognitif dalam penelitian ini menggunakan metode Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina), dikerjakan bersama tim dari Divisi Neurobehavior FKUI dan RS Cipto Mangunkusumo. Yang mengejutkan, partisipan dengan konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi menunjukkan risiko penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
Melihat dampak ini, Greenpeace mendesak pemerintah dan pelaku industri untuk segera bertindak. Ibar F. Akbar, Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia, menyampaikan bahwa langkah sistemik mutlak dibutuhkan untuk mencegah risiko jangka panjang terhadap kesehatan publik.
“Pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang (reuse) untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Ibar, pemerintah juga perlu menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat, termasuk ambang batas aman untuk pangan dan lingkungan.
Di sisi lain, produsen juga tak bisa lepas tangan. Mereka diminta untuk segera mengurangi produksi plastik sekali pakai dan mulai menerapkan sistem pengemasan ulang.
“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill). Produsen juga perlu meningkatkan transparansi komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” tegasnya.
Kini, saat mikroplastik telah masuk ke dalam tubuh kita, bahkan memengaruhi cara otak berpikir dan mengingat, persoalan ini tak bisa lagi dianggap sepele. Penelitian Greenpeace dan UI ini menjadi penanda bahwa waktu untuk bertindak—baik dari individu, pemerintah, maupun industri—sudah mendesak. Mikroplastik tak terlihat, tapi dampaknya begitu nyata.
- Bahaya bahan kimia plastik pada kesehatan, peneliti Unpad kembangkan plastik ramah lingkunganLebih dari 13.000 jenis bahan kimia plastik digunakan secara global. Dari jumlah tersebut, lebih dari 3.200 bahan berbahaya bagi kesehatan.
- Warga Dairi mendesak KLHK patuh pada putusan Mahkamah AgungPerusahaan tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara masih beroperasi tanpa persetujuan lingkungan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung.
- Masjid Al Muharram Brajan gunakan panel surya, teladan transisi energi bersihPanel-panel surya mampu mengurangi emisi karbon. Listrik yang ada saat ini dihasilkan energi kotor batu bara.
- Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera UtaraKerusakan hutan di Sumatera Utara menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Sumatera Utara mengungkap bahwa deforestasi merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem hutan di berbagai kabupaten. Dalam laporan berjudul “Ribak! Risalah Bumi Para Ketua”, WALHI Sumut mencatat kerusakan hutan terjadi di Tanah Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun,… Baca selengkapnya: Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera Utara
- WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyatWahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi. Pernyataan ini disampaikan… Baca selengkapnya: WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyat
- Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petaniPemerintah menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional. Indonesia ditargetkan mampu mencapai swasembada pangan dalam empat hingga lima tahun ke depan. Namun, langkah ambisius ini kembali menempatkan kebijakan food estate sebagai andalan utama, kebijakan yang justru menyimpan rekam jejak penuh masalah di masa lalu. Kebijakan food estate sejatinya bukan hal baru. Program… Baca selengkapnya: Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petani