Hakim persidangan didesak tidak hanya menghukum para tergugat, tetapi memerintahkan pemulihan lahan gambut yang rusak karena terbakar.

Komunitas pemuda datang ke Pengadilan Negeri Palembang hari ini untuk menghadiri sidang gugatan kabut asap dan menunjukkan dukungan mereka terhadap warga Sumatera Selatan yang menggugat tiga perusahaan atas kabut asap yang sudah berlangsung lama. © Abriansyah Liberto/Greenpeace
Komunitas pemuda datang ke Pengadilan Negeri Palembang untuk menghadiri persidangan gugatan kabut asap dan menunjukkan dukungan mereka terhadap warga Sumatera Selatan yang menggugat tiga perusahaan atas kabut asap yang sudah berlangsung lama. © Abriansyah Liberto/Greenpeace

Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulir di Pengadilan Negeri Palembang, 10 April 2025. Gugatan ini diajukan oleh sebelas warga Sumatera Selatan, yang menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia akibat kebakaran hutan dan lahan gambut.

Dalam sidang pembuktian kali ini, pihak penggugat menghadirkan tiga ahli terkemuka untuk menguraikan secara ilmiah dan hukum tentang keterkaitan aktivitas korporasi dengan bencana kabut asap yang terus menghantui kawasan ini.

Ketiga ahli yang memberikan keterangan ialah Azwar Maas, guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dan ahli gambut; Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia; serta Iman Prihandono, guru besar dan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang mendalami isu bisnis dan hak asasi manusia.

Dalam penjelasannya, Azwar Maas menguraikan secara rinci karakteristik lahan gambut dan dampak dari praktik pengeringannya. Menurutnya, lahan gambut bersifat menyukai air (hydrophilic), sehingga secara alami tidak akan kering. Namun, ketika korporasi membuka saluran kanal di area gambut, air dari lapisan tanah akan menguap, mengubah sifat gambut menjadi takut air (hydrophobic) yang membuatnya sangat mudah terbakar.

“Ketika gambut kemudian dibuka untuk saluran air, maka kandungan air dalam lahan gambut akan menguap. Proses inilah yang dapat mengeringkan lahan gambut dan mengubah karakteristiknya berubah menjadi takut air (hydrophobic). Kondisi ini berbahaya, karena akan membuat lahan gambut mudah terbakar. Jika sampai terbakar, maka kebakaran yang terjadi akan terus berlanjut, karena akan sangat sulit untuk membasahi area yang luas,” kata Azwar.

Penjelasan Azwar membuka jalan bagi argumen hukum yang disampaikan oleh Andri Gunawan Wibisana. Ia menegaskan bahwa dalam konteks hukum lingkungan, berlaku prinsip pertanggungjawaban mutlak atau strict liability terhadap pelaku usaha atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan mereka. Prinsip ini telah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta diperkuat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023.

Menurut Andri, aktivitas pengeringan lahan gambut yang dilakukan melalui pembangunan kanal-kanal merupakan bentuk dangerous activity—kegiatan berisiko tinggi yang tak bisa sepenuhnya dihindari sekalipun dengan kehati-hatian. Karena itu, pelaku usaha tetap harus bertanggung jawab jika risiko tersebut menimbulkan kerusakan atau bencana lingkungan seperti kebakaran hutan.

“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan atau usahanya. Pengeringan gambut dengan membangun kanal-kanal, seperti yang didalilkan penggugat, merupakan dangerous activity yang tidak bisa dikurangi risikonya bahkan dengan tindakan kehati-hatian, karena menimbulkan risiko dan peluang terjadinya kebakaran,” ujar Andri.

Masuk lebih dalam ke dimensi hak asasi manusia, Iman Prihandono menjelaskan bahwa korporasi memiliki kewajiban menghormati HAM sebagaimana tercantum dalam prinsip kedua dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Ia menekankan bahwa perusahaan tidak bisa berlindung di balik legalitas izin usaha ketika aktivitas mereka terbukti merugikan masyarakat secara sistematis.

“Pilar kedua UNGPs mengatur bahwa perusahaan memiliki responsibility to respect atau menghormati HAM. Perusahaan semestinya tahu bahwa pembuatan kanal yang mereka lakukan akan berdampak mengeringkan gambut, memicu kebakaran, hingga memicu kabut asap yang lantas merenggut hak masyarakat atas udara serta lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Iman.

Gugatan ini diarahkan kepada tiga perusahaan yang mengelola konsesi di kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan–Sungai Lumpur (KHG SSSL), wilayah dengan tingkat kebakaran tertinggi selama dua dekade terakhir.

Dalam rentang waktu 2001 hingga 2020, tercatat 473 ribu hektare lahan terbakar di dalam konsesi ketiga perusahaan itu—jumlah ini mencakup 92 persen dari total luas area terbakar di KHG SSSL. Kebakaran berulang tercatat di 175 ribu hektare lahan, terutama dalam periode 2015 hingga 2020, yang menandai skala dan kegigihan kerusakan.

“Di dalam gugatan, kami menyoroti kerusakan ekosistem gambut yang punya dampak begitu besar, menimbulkan karhutla dengan dampak asap yang berbahaya, meluas dengan durasi yang lama dan bagaimana kasus kabut asap akibat karhutla ini telah menyalahi hukum lingkungan serta merenggut hak asasi masyarakat Sumatera Selatan. Kesaksian ahli, dan para pakar hukum yang kredibel serta independen, makin menguatkan argumen kami bahwa para tergugat harus bertanggung jawab mutlak atas dampak kabut asap akibat aktivitas berbahaya mereka mengeringkan gambut hingga memicu kebakaran,” kata Sekar Banjaran Aji, salah satu tim kuasa hukum penggugat.

Di luar ruang sidang, solidaritas terus bergema. Anggota koalisi Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) dan sejumlah penggugat hadir mendampingi proses persidangan. Mereka mengenakan pakaian dengan tulisan “Belum Merdeka dari Asap” sebagai simbol perlawanan atas bencana berulang yang belum kunjung mendapat keadilan.

Usai persidangan, belasan mahasiswa dan aktivis komunitas membentangkan spanduk dengan pesan yang sama di depan gedung pengadilan. Aksi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan kabut asap bukan hanya berlangsung di ruang hukum, tapi juga di ruang publik.

Greenpeace Indonesia juga turut masuk dalam perkara ini sebagai pihak intervensi. Organisasi ini mendesak agar majelis hakim tidak hanya menghukum para tergugat, tetapi juga memerintahkan pemulihan total atas lahan gambut yang rusak dan menjamin bahwa kebakaran serta penyebaran kabut asap tak akan terulang dari wilayah konsesi mereka.

Persidangan masih akan berlanjut, namun kesaksian para ahli telah menegaskan bahwa di balik kabut asap yang menyesakkan itu, terdapat jejak panjang pelanggaran hukum dan pengabaian terhadap hak-hak dasar masyarakat. Bukan hanya bencana ekologis, kabut asap adalah krisis keadilan yang menuntut pertanggungjawaban tegas dari para pelakunya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.