Kebijakan energi nasional membuka jalan bagi teknologi yang mempertahankan dominasi energi fosil. Dinilai solusi palsu transisi energi.

Transisi energi. (Foto: AI)
Transisi energi. (Foto: AI)

Di tengah krisis iklim global dan desakan untuk mempercepat transisi energi, Indonesia justru masih terjebak dalam jebakan solusi palsu. Alih-alih memprioritaskan energi bersih dan terbarukan, kebijakan energi nasional justru membuka jalan bagi teknologi yang mempertahankan dominasi energi fosil—seperti teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS), bioenergi berbasis kelapa sawit, hingga penggunaan gas fosil dan nuklir.

Greenpeace Indonesia dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti hal ini dalam laporan terbarunya. Dalam laporan tersebut, mereka menyatakan bahwa penggunaan gas fosil sebagai energi transisi bukanlah solusi, melainkan penghambat utama bagi upaya transisi energi Indonesia. Gas fosil yang digadang-gadang sebagai jembatan menuju energi bersih justru menimbulkan berbagai konsekuensi negatif: kerugian ekonomi, penurunan lapangan kerja, dampak kesehatan, hingga peningkatan emisi gas rumah kaca.

“Dari segi dampak kesehatan, pembangkit gas fosil dengan skenario 22 gigawatt akan membebani biaya kesehatan masyarakat sebesar Rp89,8 hingga Rp249,8 triliun dalam 15 tahun ke depan,” ujar Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia.

Tak hanya itu, menurut Leonard, ekspansi pembangkit gas fosil juga akan mendorong lonjakan emisi CO₂ hingga 49,02 juta ton per tahun, serta emisi metana mencapai 43.768 ton per tahun—dua gas rumah kaca yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global.

Dampak ekonomi dari kebijakan ini pun tidak kalah mencemaskan. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menjelaskan bahwa pembangkit listrik berbasis gas fosil berpotensi menurunkan output ekonomi Indonesia secara akumulatif sebesar Rp941,4 triliun hingga tahun 2040. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga gas siklus gabungan diproyeksikan menurunkan output ekonomi sebesar Rp280,9 triliun pada periode yang sama.

“Selain kerugian ekonomi, pembangunan pembangkit turbin gas juga berisiko menurunkan serapan tenaga kerja hingga 6,7 juta orang. Ini terjadi karena pendapatan masyarakat di sektor terdampak, seperti kelautan dan perikanan, ikut terganggu,” lanjut Bhima.

Sebaliknya, jika Indonesia serius beralih ke energi terbarukan, manfaat ekonominya jauh lebih besar. Menurut perhitungan CELIOS, fokus pada pengembangan energi bersih justru bisa mendorong kontribusi ekonomi hingga Rp2.627 triliun pada 2040. Bahkan, pengembangan pembangkit energi terbarukan skala komunitas berpotensi menciptakan hingga 20 juta lapangan kerja baru.

Namun realitasnya, arah kebijakan pemerintah masih menunjukkan kecenderungan yang berseberangan. Dalam pidatonya di KTT G20 di Brasil pada November 2024, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia terhadap transisi energi hijau dan pencapaian netral karbon pada 2050. Ia menyebutkan rencana menutup PLTU dan beralih ke sumber energi baru terbarukan. Namun, janji itu justru kontras dengan rencana strategis pemerintah yang termuat dalam dokumen Accelerated Renewable Energy Development (ARED), di mana gas fosil tetap dikedepankan sebagai energi transisi dan pembangunan pembangkit baru terus direncanakan.

Pendekatan ini dikritik keras oleh Greenpeace dan CELIOS yang menegaskan bahwa keberlanjutan energi tidak bisa dibangun di atas fondasi fosil. Pemerintah juga dinilai tidak konsisten karena tetap memprioritaskan pendanaan dari Dana Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Danantara) untuk sektor migas dibandingkan energi bersih.

Laporan mereka merekomendasikan pembatalan rencana pembangunan pembangkit gas baru dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, serta penyusunan peta jalan penghentian bertahap pembangkit berbasis gas dan energi fosil lainnya. Sebagai gantinya, pemerintah perlu mempercepat transisi ekonomi dengan mengedepankan sumber energi bersih seperti tenaga surya dan angin.

Sampah plastik

Sementara Indonesia masih berkutat dengan jebakan solusi palsu di sektor energi, ancaman lain yang tak kalah besar dan nyata datang dari sampah plastik—masalah lingkungan yang terus memburuk akibat gaya hidup konsumtif dan kebijakan pengelolaan sampah yang belum memadai.

Plastik, bahan ringan dan praktis yang begitu dominan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki sisi gelap yang mengancam kehidupan di darat maupun laut. Limbah plastik yang sulit terurai menumpuk di tanah, menutup pori-pori bumi dan meracuni ekosistem dengan zat kimia berbahaya. Di perairan, mikroplastik—pecahan kecil dari plastik yang terurai—menjadi ancaman mematikan bagi biota laut. Ikan-ikan kecil hingga paus besar sering mengira plastik sebagai makanan, mengisi perut mereka dengan sampah yang tak bernutrisi hingga akhirnya mati kelaparan.

Bukan hanya makhluk laut yang terpapar. Mikroplastik kini ditemukan dalam air minum, makanan, bahkan udara yang kita hirup. Partikel halus ini masuk ke tubuh manusia, mengalir bersama darah, dan diperkirakan berkontribusi pada berbagai gangguan kesehatan, mulai dari peradangan hingga risiko kanker.

Zat kimia seperti BPA dan phthalates yang digunakan dalam produksi plastik juga diketahui memiliki dampak buruk terhadap sistem hormon manusia. Paparan berkelanjutan dari bahan-bahan ini dapat mengganggu perkembangan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit degeneratif.

Sementara itu, pembakaran sampah plastik secara terbuka yang kerap dilakukan di permukiman, menghasilkan racun berbahaya seperti dioksin dan furan. Zat ini tidak hanya mencemari udara, tapi juga membawa risiko gangguan pernapasan dan kanker bagi masyarakat yang terpapar.

Ironisnya, tumpukan sampah plastik juga menciptakan kondisi yang ideal bagi berkembangnya vektor penyakit seperti nyamuk dan lalat. Bau menyengat dan lingkungan yang tercemar menurunkan kualitas hidup, khususnya di kawasan padat penduduk yang minim infrastruktur pengelolaan sampah.

Kisah plastik adalah cerminan gaya hidup modern yang lalai memikirkan dampaknya. Namun, sebagaimana transisi energi, solusi untuk krisis sampah plastik ada di tangan kita: mulai dari kebijakan yang mendukung pengurangan plastik sekali pakai, investasi pada sistem daur ulang yang berkelanjutan, hingga edukasi publik untuk mengubah pola konsumsi.

Krisis iklim dan krisis sampah plastik bukanlah dua isu terpisah. Keduanya saling terkait dan menuntut tanggung jawab kolektif, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Transisi menuju masa depan yang lebih bersih dan sehat tidak bisa dibangun di atas janji-janji kosong atau solusi semu. Ia hanya mungkin diwujudkan melalui keberanian untuk bertransformasi—secara sistemik, menyeluruh, dan berkelanjutan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.