
Kerusakan hutan di Sumatera Utara menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Sumatera Utara mengungkap bahwa deforestasi merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem hutan di berbagai kabupaten.
Dalam laporan berjudul “Ribak! Risalah Bumi Para Ketua”, WALHI Sumut mencatat kerusakan hutan terjadi di Tanah Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun, Labuhan Batu Utara, Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Tapanuli Tengah. Salah satu yang terdampak parah adalah kawasan arboretum di Tanah Karo, yang seharusnya menjadi pusat pelestarian flora dan fauna lokal.
“Sebanyak tujuh dari tiga hektare kawasan arboretum mengalami kerusakan, dan ini sangat mengganggu ekosistem habitat flora dan fauna,” demikian dikutip dari dokumen WALHI Sumut, diakses Jumat, 23 Mei 2025.
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati juga terjadi di Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pembukaan lahan di wilayah ini menyebabkan terganggunya habitat Orangutan Tapanuli dan meningkatkan potensi konflik antara masyarakat lokal dan pengembang.
Praktik “illegal logging” yang marak di Simalungun, Tapanuli Utara, Dairi, Labuhan Batu Utara, dan Mandailing Natal turut memperparah kondisi. Aktivitas ini merusak ekosistem hutan dan memperbesar risiko bencana seperti banjir dan longsor.
Di kawasan pesisir, kerusakan juga meluas pada hutan mangrove. WALHI Sumut mencatat sekitar 15.000 hektare hutan mangrove di Sumatera Utara telah rusak. Di Desa Kwala Serapuh, Kabupaten Langkat, kawasan hutan mangrove dirusak sekelompok orang dan telah dilaporkan ke kepolisian oleh WALHI Sumut bersama Kelompok Tani Hutan Nipah dan Yayasan Srikandi Lestari.
WALHI Sumut menilai lemahnya penegakan hukum sebagai penyebab terus berlangsungnya kerusakan hutan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumut bahkan disebut kerap mengalami intimidasi saat menjalankan tugas di lapangan.
“Negara belum menaruh perhatian penuh dalam melakukan penegakan hukum di bidang kehutanan. Ini menunjukkan lemahnya kekuatan negara menghadapi para mafia atau yang biasa disebut ‘Para Ketua’,” tulis WALHI Sumut dalam laporannya.
Kelemahan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) menjadi sorotan. Pasal 54 UU P3H sudah mengatur pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) yang melibatkan berbagai sektor seperti Kementerian Kehutanan, Kepolisian, dan Kejaksaan, namun tidak berjalan optimal.
Selain pembalakan liar, kebakaran hutan juga menjadi ancaman besar. Cuaca panas ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim dan pemanasan global memicu kebakaran di sejumlah wilayah. WALHI Sumut mencatat 15 kasus kebakaran hutan yang disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrem di tahun 2024. Lokasi terdampak meliputi Kabupaten Karo, Samosir, Dairi, hingga Toba.
Salah satu kebakaran terjadi di Desa Rante Besi, Kecamatan Gunung Sitember, Kabupaten Dairi, pada 15 Januari 2024. Kepala desa melaporkan kebakaran disebabkan oleh pemilik lahan yang sengaja membakar vegetasi tongkol jagung untuk membuka lahan pertanian. Praktik serupa tercatat setidaknya 12 kali di daerah seperti Padang Lawas, Karo, Asahan, dan Langkat.
Dampak deforestasi tidak berhenti pada hilangnya tutupan hutan. Deforestasi mengganggu siklus air dan nutrisi, serta meningkatkan risiko krisis air bersih di masa depan. Diperkirakan Indonesia akan menghadapi krisis air bersih pada tahun 2040, sementara hutan berperan penting dalam menjaga siklus hidrologi.
Deforestasi juga berdampak pada penurunan kualitas tanah, khususnya jika lahan hutan diganti dengan perkebunan kelapa sawit. Tanaman sawit dikenal rakus terhadap air dan unsur hara tanah, sehingga mempercepat degradasi lahan. Di sisi lain, praktik ini juga memicu potensi konflik tenurial antara masyarakat dengan korporasi atau negara.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bahkan menyatakan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air. WALHI Sumut memandang pernyataan ini sebagai sinyal bahwa deforestasi dalam skala besar masih akan berlanjut, yang justru bertentangan dengan amanat konstitusi.
WALHI Sumut menegaskan bahwa konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga secara filosofis mewajibkan negara menjaga kelestarian hutan untuk kemakmuran rakyat.
“Alarm deforestasi dan kemunduran demokrasi sudah terdengar jelas. Jika pemerintah tetap melanggengkan deforestasi, maka Presiden berpotensi melanggar konstitusi dan undang-undang,” kata WALHI Sumut.
Masyarakat sipil diminta untuk terus mengawasi dan mengingatkan pemerintah agar kebijakan tidak menyimpang dari jalur. “Pemerintah harus mendengarkan suara rakyat, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat,” tegas WALHI Sumut.