Saat ini Indonesia membutuhkan solusi yang efektif untuk mengurangi jumlah sampah secara besar. Bukan PLTSA.

Menilik dari urgensinya masalah dioksin dan furan bagi kesehatan manusia, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menggelar peluncuran laporan berjudul “Menabur Benih Kerusakan: Kajian Proyek Strategis Nasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia“, yang membahas dampak dan isu kritis terkait implementasi PLTSa sebagai proyek strategis nasional, Kamis (14/11/2024).
Acara ini diisi oleh para pakar lingkungan, diantaranya adalah Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan WALHI Nasional Abdul Ghofar, Koordinator Kampanye WALHI Jakarta Muhammad Aminullah, Kepada Divisi Internal WALHI Jawa Tengah Nur Colis, dan kemudian ditanggapi oleh Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL Fajri Fadhilah serta dipandu oleh Fidelis Eka Satriastanti yang berperan sebagai moderator.
Berdasarkan laporan WALHI, saat ini Indonesia sedang dalam kategori darurat sampah dan membutuhkan solusi yang efektif untuk mengurangi jumlah sampah secara besar. Meskipun proyek insinerasi sampah seperti PLTSa sering dianggap sebagai solusi cepat dalam mengurangi volume sampah, namun ternyata memiliki dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan.
Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan WALHI Nasional, Abdul Ghofar, memaparkan bahwa Indonesia memiliki catatan merah dalam pengelolaan sampah. Pada tahun 2005, TPA Leuwigajah mengalami ledakan dan mengorbankan lebih dari 150 jiwa yang berhasil menjadi monumen pengingat pentingnya pengelolaan sampah yang tepat.
Setiap tahunnya, Indonesia diperkirakan menghasilkan 63,8 juta ton sampai dengan 77,7 juta ton sampah dari kegiatan domestik. Pemerintah berupaya meminimalisir sampah dengan membuat PLTSa di kota-kota besar, namun nyatanya PLTSa sendiri menghasilkan banyak risiko buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Padahal, ada beberapa pendekatan sistem yang fleksibel, ramah biaya dan selaras alam, mulai dari regulasi sebagai push factor, budaya sebagai pull factor, dan infrastruktur sebagai enabler.
Mengamini hal yang sama, Koordinator Kampanye WALHI Jakarta, Muhammad Aminullah, menyebutkan bahwa pembangunan PLTSa Merah Putih di Bantar Gebang sebagai pilot project PLTSa untuk mengatasi sampah di Jakarta sendiri kurang tepat. Terlebih jika dilirik dari jenis sampah di Jakarta yang sebagian besar merupakan sampah plastik, menimbulkan banyak risiko dan berujung penimbunan serta penambahan lahan hingga membentuk pulau sampah.
“Kemudian selain masalah biaya, dari karakter sampah di Jakarta kita juga bisa melihat bahwa PLTSa di Jakarta ini kurang tepat gitu ya. Misalnya kita lihat dari sampah-sampah dominan ini sampahnya bukan merupakan sampah-sampah yang menjadi sasaran dari PLTSa,” ujar Aminullah.
Tidak hanya di Jakarta, Kadiv Internal WALHI Jawa Tengah, Nur Colis, juga menjelaskan terkait PLTSa di tempat lainnya yakni Putri Cempo Surakarta, yang implementasinya dilakukan secara ugal-ugalan. PLTSa Putri Cempo sendiri memiliki beberapa skema dan tahapan, mulai dari sampah kota hingga menjadi pembangkit listrik.
Colis melanjutkan, jika melihat dari elektrifikasinya, PLTSa Putri Cempo hingga Oktober 2024 kemarin hanya menghasilkan 1,6 MW dengan total sampah yang dikelola sekitar 30-40 ton per harinya. Jumlah tersebut kemudian dijual 1 MW kepada PLN dan 0,6 MW digunakan untuk operasional. Tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya.
Sama seperti PLTSa Merah Putih, PLTSa Putri Cempo Surakarta merupakan salah satu proyek percepatan pembangunan PLTSa yang tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 yang paska pembangunannya juga berdampak buruk di lingkungan sekitar. Mulai dari polusi udara dan suara, hingga tercemarnya sungai setempat oleh limbah cair PLTSa. Secara kesehatan, PLTSa juga menghasilkan dioksin dan furan dari abu sisa pembakaran (Fly ash dan Bottom Ash) yang berakibat fatal bagi kesehatan manusia seperti batuk, sesak nafas, infeksi saluran pernapasan akut, dan penyakit kulit.
“Ini terasa sekali tercium bau menyengat, tajam dan sengak saat mesin beroperasi dan ketika berdekatan dengan abu dasar. Karena abu dasar ini memang ditempatkan di tempat terbuka, jadi bau angin atau apapun di situ sangat terasa sekali rasa baunya yang menyengat,” jelas Colis.
Ghofar juga menyatakan bahwa menurutnya masih ada pendekatan lainnya yang lebih fleksibel, ramah lingkungan, dan tidak membutuhkan biaya besar. Salah satu solusinya adalah dengan membuat kebijakan yang bisa mendorong upaya pengurangan sampah, khususnya plastik sekali pakai.
Mengingat jumlah sampah di Indonesia yang kian membludak, PLTSa jelas bukanlah pilihan yang tepat jika ditilik dari dampak buruknya yang mempengaruhi lingkungan. Terlebih, pemerintah Indonesia hingga saat ini masih belum fokus menangani permasalahan ini sejak dari hulunya. Pemerintah perlu membuat kebijakan terkait peningkatan pengelolaan sampah yang menitik beratkan pada pengelolaan yang sedekat mungkin dari sumbernya demi meminimalisir dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.