
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi.
Pernyataan ini disampaikan dalam audiensi bersama Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM yang berlangsung pada Senin, 28 April 2025, di Kantor Gubernur NTT, Kupang.
Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah pihak, termasuk perwakilan perusahaan pengembang proyek geothermal. Turut hadir pula kepala daerah dari wilayah pengembangan, pejabat Pemerintah Provinsi NTT, serta organisasi masyarakat sipil.
Dalam forum tersebut, Gres Gracelia dari Divisi Advokasi WALHI NTT menyampaikan keberatan WALHI terhadap penetapan Pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017. Gres menilai kebijakan ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat Flores yang terdampak langsung.
“Dalam penetapan kebijakan ini, WALHI mengkritisi Kementerian ESDM sebagai perwakilan pemerintah pusat yang dalam penerapannya tidak melibatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya masyarakat Pulau Flores,” demikian pernyataan resmi WALHI NTT, diakses Selasa, 20 Mei 2025.
Menurut data Kementerian ESDM, terdapat 28 titik pengembangan panas bumi di NTT, dengan 21 di antaranya berada di Flores dan Lembata. WALHI menilai proses ini berlangsung tanpa persetujuan warga, dan bahkan justru menimbulkan konflik sosial di berbagai wilayah.
WALHI juga mengkritisi peran pemerintah pusat yang dinilai membenturkan pemerintah daerah dengan masyarakat lokal. Pemerintah Provinsi NTT sendiri dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2025–2034 mengarahkan pengembangan energi terbarukan berbasis potensi lokal seperti matahari, angin, air, dan arus laut. Namun, pemerintah pusat tetap mendorong proyek geothermal yang dinilai tidak sesuai dengan karakter geografis dan sosial NTT.
Secara geografis, NTT terletak di wilayah cincin api (ring of fire) dan terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap bencana. WALHI mengingatkan bahwa pembangunan geothermal dapat menimbulkan dampak ekologis besar, terutama pada lingkungan yang sudah rapuh secara alami.
Dalam audiensi tersebut, WALHI juga menyampaikan sejumlah temuan lapangan, termasuk di wilayah Poco Leok, Manggarai. Warga tidak pernah diberikan informasi atau dimintai izin atas survei yang dilakukan di lahan mereka.
Konflik horizontal mulai terjadi masyarakat dibagi menjadi kelompok pro dan kontra, bahkan diduga melakukan praktik manipulatif seperti memberikan upah harian dan bantuan material kepada kelompok pro.
Konflik sosial yang ditimbulkan proyek geothermal di Poco Leok bahkan telah merambah ranah keagamaan. WALHI mencatat adanya perpecahan dalam tradisi doa Rosario bergilir antara kelompok masyarakat pro dan kontra, sebuah simbol rusaknya kohesi sosial akibat intervensi proyek energi.
Selain persoalan sosial, WALHI menyoroti dampak ekologis dari proyek-proyek geothermal. Di Ulumbu, sumber air yang digunakan berasal dari Poco Leok. Sejak beroperasinya PLTP Ulumbu, warga Poco Leok mengeluhkan penurunan debit air serta merosotnya produktivitas pertanian seperti kopi, cengkeh, dan vanili – baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Ironisnya, meski jarak Poco Leok ke PLTP Ulumbu hanya sekitar 3–5 kilometer, aliran listrik ke 14 Gendang di Poco Leok baru sepenuhnya tersedia pada akhir 2024. Kondisi ini memperkuat kecurigaan bahwa proyek geothermal tidak membawa manfaat langsung bagi warga sekitar.
WALHI NTT juga menegaskan bahwa perusahaan pengembang lain seperti di Mataloko harus belajar dari pengalaman terdahulu, termasuk semburan lumpur panas yang terjadi. WALHI menuntut transparansi sejak awal terkait potensi dampak buruk dari proyek geothermal.
Dalam forum tersebut, WALHI menyampaikan sikap tegas. Mereka menolak proyek geothermal oleh Kementerian ESDM karena dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan energi berkeadilan dan berbasis lokal.
WALHI meminta pencabutan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, penghentian seluruh proyek geothermal di NTT, serta penghormatan terhadap RUED NTT dan suara pemimpin umat di Flores yang telah menolak proyek tersebut.
Pendekatan pembangunan panas bumi yang sentralistik
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI NTT, menyebut bahwa pendekatan pemerintah mencerminkan pola pikir Orde Baru yang sentralistik dan mengabaikan mandat reformasi.
“Bayangkan saja, ESDM mengeluarkan kebijakan tanpa permisi ke rakyat NTT. Selanjutnya mereka datang mengiming-imingi warga lokal dan mengabaikan hak tolak rakyat atas kebijakan mereka yang sepihak tersebut,” tegas Umbu Wulang.
Ia juga mengingatkan bahwa proyek-proyek semacam ini dapat memperparah krisis ekologis di NTT.
“Apalagi ini proyek panas bumi yang rakus lahan dan air. Padahal kita sendiri sedang menghadapi tantangan krisis air,” tambahnya.