Lebih dari 13.000 jenis bahan kimia plastik digunakan secara global. Dari jumlah tersebut, lebih dari 3.200 bahan berbahaya bagi kesehatan.

Penelitian dari Cornell University menyebutkan Indonesia menjadi negara dengan kontaminasi mikroplastik tertinggi per kapita di dunia.
kontaminasi mikroplastik di Indonesia mengkhawatirkan. (AZWI)

Plastik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Hampir semua produk—dari kemasan makanan, botol air minum, pakaian olahraga, hingga mainan anak-anak—mengandalkan bahan ini. Namun, kenyamanan tersebut datang dengan risiko besar. Ribuan bahan kimia beracun terkandung dalam plastik, dan banyak di antaranya bisa membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.

Laporan terbaru dari United Nations Environment Programme (UNEP) menyebutkan bahwa lebih dari 13.000 jenis bahan kimia digunakan dalam produksi plastik secara global. Dari jumlah tersebut, lebih dari 3.200 bahan sudah diketahui berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan—termasuk sebagai pemicu kanker, gangguan sistem hormon, serta kerusakan saraf dan reproduksi. Lebih buruk lagi, sekitar 6.000 bahan kimia lainnya belum cukup diteliti, sehingga potensi bahayanya masih menjadi tanda tanya.

Beberapa bahan kimia dalam plastik bahkan dikenal sangat toksik. PFAS, atau yang disebut sebagai “bahan kimia abadi” karena tidak bisa terurai di alam, banyak ditemukan dalam pakaian tahan air dan kemasan makanan. Bahan kimia lain seperti phthalates, yang membuat plastik lebih lentur, serta Bisphenol A (BPA), umum digunakan dalam botol dan wadah makanan. Ada pula flame retardants, logam berat seperti timbal dan kadmium, serta zat pewarna dan stabilisator UV, yang semuanya telah terbukti berdampak buruk bagi kesehatan.

Di Indonesia, masalah ini tak bisa diabaikan. Penelitian oleh Nexus3 Foundation dan International Pollutants Elimination Network (IPEN) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa 91 persen produk sehari-hari yang diuji—termasuk kemasan makanan, pakaian anak, dan kantong belanja—mengandung PFAS. Temuan ini menunjukkan bahwa paparan bahan kimia beracun terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan pada produk yang digunakan oleh anak-anak.

“PFAS telah ditemukan di produk-produk yang kita gunakan setiap hari, bahkan yang digunakan oleh anak-anak. Ini membuktikan bahwa regulasi nasional belum cukup melindungi masyarakat dari paparan bahan kimia berbahaya,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation, dalam keterangan resmi, diakses Minggu, 8 Juni 2025.

Situasi semakin rumit dengan narasi daur ulang plastik yang dianggap sebagai solusi. Padahal, menurut studi IPEN tahun 2021, daur ulang tidak menghilangkan bahan kimia berbahaya. Dalam penelitian terhadap pelet plastik daur ulang dari 23 negara, ditemukan kontaminasi dari pestisida, logam berat, dan senyawa pengganggu hormon.

“Plastik daur ulang bukanlah bahan yang aman jika sumber aslinya mengandung bahan kimia beracun. Daur ulang hanya mendaur ulang polusi,” kata Sara Brosché, ilmuwan dari IPEN.

Paparan terhadap bahan kimia dalam plastik telah dikaitkan dengan berbagai gangguan kesehatan serius: dari masalah kesuburan, kelainan perkembangan anak, peningkatan risiko kanker, hingga kerusakan sistem imun dan otak. Lebih mengkhawatirkan lagi, mikroplastik yang mengandung zat berbahaya ini telah ditemukan dalam tubuh manusia—termasuk dalam darah, plasenta, dan air susu ibu (ASI).

Masalah ini bukan sekadar pada produk akhir, tetapi pada sistem produksi yang tidak transparan. Menurut laporan “Plastics: A Chemical Story” dari IPEN dan EA tahun 2023, kurangnya transparansi dalam rantai produksi plastik membuat masyarakat tidak bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi yang cukup. Produsen pun belum diwajibkan secara global untuk mengungkapkan seluruh bahan kimia yang mereka gunakan.

Bahaya bahan kimia plastik, terobosan Unpad

Melihat ancaman yang nyata ini, langkah transformatif sangat dibutuhkan—termasuk di Indonesia. Salah satu upaya datang dari dunia akademik. Tim peneliti Functional Nano Powder University Center of Excellence (Finder U-CoE) Universitas Padjadjaran (Unpad) tengah mengembangkan solusi alternatif berupa plastik yang ramah lingkungan dan dapat terurai secara alami.

“Biodegradable plastic adalah plastik yang bisa terdegradasi oleh bakteri. Jadi ketika menjadi sampah dan dibuang ke tanah, dalam beberapa waktu bisa hancur dan terurai,” ujar Camellia Panatarani, peneliti dari Finder Unpad, dikutip dari keterangan resmi yang diakses pada Minggu, 8 Juni 2025.

Plastik ini dikembangkan dari bio-material seperti singkong, karagenan, dan limbah kulit udang. Menurut Camellia, bahan berbasis singkong dinilai paling efisien karena murah dan mudah diperoleh. Tidak hanya ramah lingkungan, plastik ini juga memiliki kekuatan mekanik yang baik, serta ketahanan terhadap suhu panas dan cuaca.

Camellia menjelaskan bahwa teknologi nano yang digunakan dalam inovasi ini membuat plastik hasil temuan mereka memiliki keunggulan dalam hal ketahanan dan daya guna.

“Kami sudah mencoba berbagai pengujian, mulai dari penyimpanan daging ayam hingga buah-buahan yang hasilnya adalah daya tahan produk menjadi meningkat,” katanya.

Produk ini telah berhasil diuji di laboratorium dan kini tim Finder Unpad sedang membuka peluang kerja sama dengan mitra industri untuk memproduksinya dalam skala besar.

“Kami masih mencari mitra yang siap berkontribusi dan kami akan menyelaraskan kebutuhan industri. Jadi saat “research and development” bersama mitra, kami sesuaikan dulu kebutuhannya baru dikembangkan formulasi plastiknya,” lanjut Camellia.

Inovasi ini menunjukkan bahwa solusi atas krisis plastik tidak harus bergantung pada pendekatan daur ulang yang terbukti membawa risiko baru. Alternatif berbasis bio-material bisa menjadi jalan keluar yang lebih aman dan berkelanjutan, sekaligus mendorong industri menuju praktik yang lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Krisis kimia dalam plastik adalah krisis yang tersembunyi, tapi dampaknya nyata dan terus meningkat. Tanpa tindakan nyata dan regulasi yang ketat, masyarakat akan terus dikelilingi oleh bahan kimia beracun. Dalam konteks ini, upaya seperti yang dilakukan tim Unpad bisa menjadi titik terang dalam menghadapi ancaman global tersebut.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.