Perusahaan tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara masih beroperasi tanpa persetujuan lingkungan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung.

Warga dari sejumlah desa terdampak tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)/Balai Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH). Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap belum dilaksanakannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 277 K/TUN/LH/2024 tanggal 12 Agustus 2024, yang membatalkan Persetujuan Lingkungan PT DPM.
Warga Dairi menilai KLHK/BPLH menunjukkan ketidakpatuhan terhadap hukum dengan terus mengabaikan putusan tersebut. Mereka mendesak Menteri Lingkungan Hidup untuk segera mengeksekusi keputusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“KLH harusnya segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung, ini demi keselamatan puluhan ribu warga Dairi. Kami sebagai warga berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rainim Purba, warga penggugat dari Desa Pandiangan, dalam keterangan resmi, Sumatera. (WALHI), diakses Selasa, 27 Mei 2025.
Menurutnya, perusahaan tambang masih tetap berkegiatan di lapangan tanpa persetujuan lingkungan yang sudah dibatalkan pengadilan. Hal senada disampaikan Tioman Simangunsong, warga dari Kelurahan Parongil. Ia menyatakan kekecewaannya terhadap KLHK.
“Kami warga Dairi kecewa dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Kenapa tidak melaksanakan putusan MA? Kehadiran kami warga Dairi hari ini sebagai perwakilan warga, mendesak KLH untuk segera memberikan kepastian kapan melaksanakan putusan MA,” ujarnya.
Warga menyampaikan bahwa mereka telah mengirim dua surat kepada KLHK/BPLH pada 1 November 2024 dan 14 Februari 2025 untuk meminta pelaksanaan putusan MA. Namun, kedua surat tersebut tidak mendapat tanggapan. Pada 24 April 2025, mereka melanjutkan upaya hukum dengan mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk meminta pengawasan atas pelaksanaan putusan MA tersebut.
Muhammad Jamil, kuasa hukum dari Sekretariat Bersama Tolak Tambang, menekankan bahwa negara harus tunduk pada hukum. “Konsekuensi sebagai negara hukum semua pihak termasuk pemerintahan harus tunduk pada ketentuan hukum the rule of law. Artinya Kementerian Lingkungan Hidup/Balai Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) harus tunduk patuh serta wajib berhenti melecehkan putusan peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),” tegasnya.
Aksi warga Dairi kali ini mengusung tema budaya Pakpak dan Toba dengan tajuk Mangandung yang berarti ratapan. Tema tersebut mengandung pesan mendesak: “Mangidohon KLH mangulahon keputusan Mahkamah Agung, cabut kelayakan lingkungan PT DPM” — sebuah seruan agar KLH segera mengeksekusi putusan MA. Dalam ratapannya, warga menyindir ketidakpekaan KLHK terhadap penderitaan mereka.
“Bertelinga tapi tak mendengar, bermata tapi tak melihat, punya hati tapi tidak mendengarkan suara hatinya untuk berpihak kepada warga Dairi,” bunyi andung-andung warga.
Simbol-simbol budaya dan pertanian lokal juga dihadirkan dalam aksi. Warga membawa hasil kebun seperti kopi, padi, kapulaga, pinang, gambir, jeruk purut, jengkol, dan coklat. Mereka juga membawa properti aksi berupa gurita, simbol dari cengkeraman PT DPM atas ruang hidup warga. Aksi tersebut diiringi alat musik tradisional seperti gendang, kecapi, dan seruling.
Di tengah aksi, perwakilan warga dan kuasa hukum diundang untuk beraudiensi dengan Kepala Biro Hukum dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK/BPLH. Judianto Simanjuntak, kuasa hukum yang mendampingi warga, menyampaikan bahwa dalam audiensi tersebut, warga meminta kejelasan waktu pencabutan kelayakan lingkungan perusahaan tambang.
Setelah dari kantor KLHK/BPLH, warga melanjutkan aksi ke PTUN Jakarta untuk meminta pengadilan mengawasi pelaksanaan putusan Mahkamah Agung.
Fatilda Hasibuan, Koordinator Studi dan Advokasi BAKUMSU, mendukung langkah warga. “Apa yang menjadi tuntutan warga sangat mendasar. KLH dalam hal ini harus segera melaksanakan eksekusi. Kami memiliki beberapa data yang menunjukkan sampai hari ini perusahaan tetap beroperasi. Bahkan tak hanya beroperasi, konflik sosial juga terjadi,” ujarnya.
Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI Nasional, menyebut sikap KLHK yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagai bukti kuat adanya pengaruh industri ekstraktif dalam pengambilan keputusan pemerintah.
“Tindakan Kementerian Lingkungan Hidup/Balai Pengendalian Lingkungan Hidup yang tidak menjalankan putusan peradilan TUN menunjukkan bahwa pemerintah masih ada dalam cengkeraman pengaruh industri ekstraktif, yang selama ini telah menyebabkan krisis multidimensional, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat, serta menyempitnya ruang demokrasi dengan tingginya kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya,” tegasnya.
Sebagai kelanjutan aksi, warga Dairi juga berencana menyampaikan petisi ke Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta pada 23 Mei 2025. Dalam petisi tersebut, warga meminta pemerintah Tiongkok menarik pendanaan dari proyek tambang di Dairi. Petisi telah ditandatangani oleh lebih dari 2.000 warga dari 15 desa yang terdampak.