Kehidupan nelayan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terancam oleh pertambangan timah. Tambang berdampak negatif pada ekosistem laut.
Secara geografis, Babel terdiri dari 1,6 juta hektare daratan dan 6,5 juta hektare lautan. Ada 309 desa pesisir yang merupakan tempat tinggal nelayan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tersebut yang sejak lama terancam oleh pertambangan timah.
Baru-baru ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dihebohkan oleh kasus korupsi IUP tambang timah sebesar 271 triliun.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz, angka 271 triliun itu merupakan kalkulasi yang belum tuntas. Perhitungannya baru di wilayah daratan saja belum masuk ke hitungan di wilayah pesisir dan laut.
Belum lagi hitungannya dibatasi sejak tahun 2015 sampai dengan 2022. Jika dihitung dalam rentang waktu yang panjang, angkanya akan lebih besar lagi.
Dalam catatan WALHI Bangka Belitung, limbah pertambangan timah berupa logam berat mengalir sejauh 6-7 mil di laut. Dengan demikian, daya rusak sangat berbahaya bagi ekosistem laut juga bagi kehidupan nelayan.
Dalam jangka panjang, logam berat ini akan mengancam kehidupan keanekaragaman hayati laut karena terakumulasi di dalam tubuh biota laut seperti kerang-kerangan, dan sangat berbahaya ketika dikonsumsi oleh manusia.
Selain itu, pertambangan timah juga menghancurkan terumbu karang. Berdasarkan Analisa citra satelit WALHI Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare.
Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare. Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.
Ahmad Subhan Hafiz juga mengkhawatirkan nasib nelayan Pasca pemilu 2024. Pasalnya, elit-elit politik di Bangka Belitung sedang melakukan konsolidasi untuk mengubah RZWP3K Provinsi Bangka Belitung menjadi integrasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menurutnya, di dalam rencana integrasi RTRW darat dan laut, akan dimasukkan alokasi ruang untuk kepentingan pertambangan timah di hampir seluruh wilayah laut bangka Belitung.
“Kami mendesak penghentian pembahasan integrasi RTRW darat dan laut sebelum hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir, termasuk wilayah tangkapnya diakui dan dilindungi,” imbuh Hafiz, dalam keterangan resmi, diakses Minggu, 14 April 2024.
Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang, provinsi kepulauan ini berpotensi mengalami krisis ekologi yang semakin berat, khususnya di wilayah laut.
Oleh karena itu, daya tampung dan daya dukung lingkungannya sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, dan tambang pasir kuarsa.
Dengan begitu, Walhi mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut. Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
Pengamatan WALHI Bangka Belitung sejauh ini menjelaskan banyak wilayah adat yang hilang, khsusnya di wilayah pesisir dan laut akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan meminggirkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.
- Strategi penurunan gas rumah kaca di Indonesia dengan Net-ZEV
- Persatuan masyarakat Bangka Belitung menolak tambang laut di Batu Beriga
- Mengenang pejuang lingkungan Nur Hidayati
- Minyak jelantah sebagai katalis energi terbarukan, potensi kolaborasi industri
- Mempertanyakan keberpihakan Menteri Lingkungan Hidup baru pada masyarakat adat
- Hutan adat Papua kian terancam setelah kasasi Suku Awyu ditolak