Pemerintah disarankan memulihkan tambak rakyat yang rusak, memperbaiki kualitas air, menanam kembali mangrove di pantura.

Di tengah situasi krisis iklim global yang semakin mengkhawatirkan, kebijakan baru pemerintah justru memantik keprihatinan. Pemerintah menetapkan kebijakan yang memungkinkan penghilangan kawasan hutan mangrove seluas lebih dari 20.000 hektare di wilayah pesisir utara Jawa Barat, atas nama program revitalisasi tambak.
Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, menegaskan bahwa langkah ini merupakan kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 274/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2025 tentang Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHPK), pemerintah menetapkan pelepasan kawasan hutan negara seluas 20.024 hektare demi mendukung program revitalisasi tambak oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di empat kabupaten: Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.
Dari jumlah tersebut, 16.078 hektare merupakan kawasan hutan lindung yang seharusnya tidak dikonversi karena memiliki fungsi ekologis penting. Rinciannya meliputi Kabupaten Karawang seluas 6.979,51 hektare, Kabupaten Subang seluas 2.369,76 hektare, Kabupaten Indramayu seluas 2.875,48 hektare, dan Kabupaten Bekasi seluas 8.188,49 hektare. Sementara sisanya adalah hutan produksi tetap seluas 4.335,21 hektare yang seluruhnya terletak di Kabupaten Bekasi.
“WALHI Jawa Barat menyatakan bahwa proyek revitalisasi ini berpotensi mengubah secara drastis bentang pesisir Jawa Barat, dari kawasan hutan mangrove menjadi zona industri akuakultur berskala besar. Selain mengancam ekosistem pesisir, proyek ini juga disebut mengabaikan hak-hak masyarakat lokal serta memperparah ketimpangan struktur penguasaan ruang,” kata Siti Hannah Alaydrus, dalam siaran pers, diakses Selasa (29/7/2025).
Menurut WALHI, SK 274 merupakan salah satu pelepasan kawasan hutan lindung terbesar dalam sejarah di Jawa Barat. Kebijakan ini mencerminkan pergeseran arah negara dari perlindungan ekologis menuju ekspansi investasi ekstraktif. Hilangnya lebih dari 20.000 hektare mangrove dipandang sebagai pelemahan signifikan daya tahan alami kawasan pesisir, yang berisiko memperparah bencana iklim.
“SK ini mencabut status hutan lindung dari ribuan hektare kawasan, padahal hutan tersebut berperan sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan habitat penting bagi biodiversitas pesisir. Konversi ini melanggar prinsip kehati-hatian dalam perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi,” kata Siti Hannah Alaydrus.
Selain itu, WALHI mengingatkan bahwa perubahan vegetasi pesisir secara masif akan mengganggu sistem hidrologi alami, meningkatkan potensi intrusi air laut ke lahan pertanian warga, memperparah kekeringan saat kemarau, serta meningkatkan risiko banjir saat musim hujan.
Proyek ini juga dinilai membuka peluang monopoli lahan oleh korporasi, dengan dampak serius terhadap petambak kecil, perempuan pesisir, dan nelayan lokal yang rentan kehilangan akses ruang hidup.
“Proyek tambak skala besar ini membuka celah bagi monopoli lahan oleh korporasi. Petambak kecil, perempuan pesisir, dan nelayan lokal rentan digusur atau kehilangan akses ruang hidupnya. Potensi konflik horizontal maupun vertikal meningkat,” ujarnya.
WALHI menilai kebijakan ini sebagai bentuk kemunduran ekologis yang serius. Tidak hanya bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam agenda iklim global seperti Nationally Determined Contributions (NDC) dan target net zero emission, tetapi juga mencederai hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Menurut WALHI, proyek ini tidak layak disebut sebagai revitalisasi. Alih-alih memperbaiki tambak rakyat yang rusak atau terbengkalai, proyek ini justru membabat hutan mangrove yang masih sehat dan aktif secara ekologis, bahkan termasuk kawasan lindung yang seharusnya memiliki perlindungan ketat.
Dokumen SK 274 disebut disahkan tanpa kajian lingkungan yang inklusif dan partisipatif. Tidak ada pelibatan bermakna terhadap warga terdampak. “Proyek sebesar ini seharusnya melalui konsultasi publik dan uji kelayakan ekologis, bukan keputusan sepihak yang mengabaikan potensi kerusakan jangka panjang,” tegas WALHI.
“Proyek ini bukan revitalisasi, tapi ekspansi industri yang merusak. Alih-alih memperbaiki tambak rakyat yang terbengkalai, proyek ini justru membuka hutan lindung baru untuk industri budidaya intensif,” lanjut pernyataan WALHI.
Sebagai alternatif, WALHI menekankan bahwa jika pemerintah sungguh-sungguh ingin melakukan revitalisasi, maka langkah pertama harus dimulai dari memulihkan tambak rakyat yang rusak, memperbaiki kualitas air, menanam kembali mangrove, dan membangun sistem tata air yang berkelanjutan.
Revitalisasi sejati, menurut WALHI, adalah keberpihakan pada ekologi, rakyat kecil, dan masa depan yang lestari.
WALHI Jawa Barat menyampaikan lima tuntutan utama:
- Cabut SK Menteri Kehutanan No. 274/2025, dan hentikan rencana penghilangan kawasan mangrove lindung.
- Tunda seluruh proyek revitalisasi tambak hingga ada kajian ilmiah independen, terbuka, dan partisipatif.
- Audit menyeluruh terhadap status kawasan hutan lindung dan tata ruang pesisir Jawa Barat.
- Kembangkan tambak rakyat berbasis ekologis, bukan tambak industri berbasis ekstraksi dan ekspansi lahan.
- Wujudkan proses perencanaan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, dengan melibatkan masyarakat pesisir, perempuan, dan petambak kecil dalam setiap tahapannya.