Fenomena perubahan warna laut Indonesia begitu mengkhawatirkan. Laut terkait erat dengan masa depan manusia.

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

Pakar dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) IPB University Steven Solikin mengungkapkan kekhawatiran terhadap fenomena laut yang semakin gelap. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan kedalaman zona fotik, yaitu lapisan laut yang menerima cahaya matahari dan menjadi penopang utama lebih dari 90 persen kehidupan laut.

“Salah satu penyebab utama penggelapan laut adalah perubahan komunitas fitoplankton, yang berpengaruh terhadap sifat optik air laut. Perubahan dalam komposisi dan distribusi fitoplankton sebagai produsen primer dalam rantai makanan laut turut mempengaruhi kejernihan air,” jelas Steven, dalam keterangan resmi, diakses Kamis (10/7/2025).

Selain itu, lanjut dia, kenaikan suhu permukaan laut juga memperburuk kondisi ini. Pemanasan menyebabkan stratifikasi termal yang menghambat pencampuran nutrien dari lapisan bawah ke permukaan. Dengan demikian, produktivitas fitoplankton semakin menurun.

“Perubahan pola sirkulasi lautan turut memengaruhi distribusi nutrien dan organisme mikroskopis. Hal ini berdampak langsung pada kejernihan dan warna laut,” paparnya.

Menurut Steven, fenomena ini berdampak luas terhadap ekosistem laut. Penurunan intensitas cahaya di dalam laut menyebabkan menurunnya produktivitas primer karena berkurangnya fotosintesis oleh fitoplankton.

“Ini menimbulkan efek berantai mulai dari zooplankton hingga ikan dan mamalia laut, bahkan dapat menyebabkan disrupsi dalam rantai makanan serta perubahan habitat,” tegasnya.

Ia menuturkan, organisme laut yang bergantung pada cahaya untuk navigasi, reproduksi, dan mencari makan terpaksa berpindah ke lapisan yang lebih dangkal. “Ini meningkatkan kompetisi dan risiko interaksi predator yang tidak seimbang,” katanya.

Perubahan warna laut, menurut Steven, mencerminkan perubahan dalam komposisi organisme dan partikel organik. Konsekuensinya adalah penurunan populasi fitoplankton, ikan, dan predator lainnya.

“Ekosistem seperti terumbu karang dan lamun pun terancam karena kekurangan cahaya menghambat proses fotosintesis tanaman laut,” tandasnya.

Ia menegaskan bahwa perubahan iklim berperan signifikan dalam penggelapan laut. Pemanasan permukaan laut, perubahan pola sirkulasi, dan meningkatnya kejadian cuaca ekstrem memperparah kondisi laut.

Untuk mengatasi dampak ini, Steven menyarankan pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan pemantauan laut dengan teknologi satelit, serta perlindungan dan restorasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang.

Sebagai langkah mitigasi, ia juga mendorong konservasi ekosistem laut, pengurangan polusi nutrien dari limbah pertanian dan industri, peningkatan edukasi publik, serta penguatan riset dan kolaborasi internasional dalam menangani tantangan global ini.

Laut menjaga kita, saatnya kita menjaga laut

Greenpeace mengingatkan bahwa selama ini laut memberi makan kepada umat manusia, menyerap emisi karbon, dan menjaga keseimbangan iklim. Laut telah menopang kehidupan manusia selama berabad-abad. Namun kini, lautan menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya: keanekaragaman hayatinya terus dikuras, sementara sampah plastik memenuhi perairannya.

Lebih dari sepertiga (37,6%) stok ikan global saat ini ditangkap secara berlebihan. Angka ini menunjukkan tekanan serius terhadap sumber daya laut yang menjadi tumpuan pangan bagi banyak negara. Di saat yang sama, hanya 1% wilayah laut lepas di seluruh dunia yang saat ini terlindungi. Padahal, laut menyerap sekitar 30% karbon dioksida yang dihasilkan manusia, menjadikannya salah satu penyerap karbon alami terbesar di planet ini.

Selain ancaman terhadap keanekaragaman hayati, laut juga menjadi tempat berlangsungnya pelanggaran hak asasi manusia. Penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing), tidak hanya merusak ekosistem laut dan merugikan komunitas pesisir, tetapi juga kerap disertai praktik kejahatan seperti kerja paksa dan perdagangan manusia di atas kapal.

Melindungi laut berarti juga melindungi kehidupan. Pada Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB tahun 2022, negara-negara dunia telah berkomitmen untuk melindungi sedikitnya 30% lautan dunia pada tahun 2030. Komitmen ini bukan hanya untuk menjaga laut lepas, tetapi juga untuk menjamin keberlanjutan ekosistem pesisir dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang bergantung padanya.

Laut telah menjaga kita. Kini saatnya kita menjaga laut.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses