Masyarakat adat Papua Suku Awyu dan masyarakat adat Moi Sigin terus berjuang menyelamatkan tanah leluhur dari proyek pembangunan.

Masyarakat adat Suku Awyu di Papua terus memperlihatkan perlawanan terhadap ekspansi perusahaan sawit yang dinilai merampas tanah adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup mereka. Dalam aksi terbaru, masyarakat memasang salib merah di berbagai titik wilayah adat sebagai bentuk perlindungan spiritual atas tanah warisan leluhur.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua, Maikel Peuki, menyebut bahwa aksi ini merupakan pernyataan mendalam yang bersumber dari nilai budaya dan keyakinan masyarakat adat.
“Ini bukan hanya tentang tanah. Ini tentang masa depan anak cucu, tentang warisan moyang, dan tentang ciptaan Tuhan yang harus dijaga. Aksi memasang salib merah adalah bentuk perlawanan ekologis dan spiritual yang sangat bermakna bagi masyarakat Awyu,” ujar Maikel dalam keterangannya kepada media, Minggu (6/7/2025).
WALHI Papua menyatakan bahwa perluasan konsesi perusahaan sawit di wilayah adat Awyu dilakukan tanpa persetujuan penuh masyarakat. Hutan-hutan yang menjadi sumber pangan, obat-obatan alami, serta pengetahuan leluhur kini dalam ancaman serius akibat pembukaan lahan berskala besar.
“Mereka (perusahaan) masuk dengan alat berat, membabat hutan, mengeruk tanah, dan membawa kayu seperti pencuri di siang hari. Semua ini terjadi terang-terangan, dan sayangnya negara belum cukup berpihak kepada masyarakat adat,” kata Maikel.
Masyarakat Suku Awyu yang tersebar di wilayah Boven Digoel dan Mappi terus menggelar aksi damai serta menggugat izin perusahaan melalui jalur hukum. Dukungan datang dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, Yayasan Pusaka, dan Greenpeace.
“Perlawanan ini akan terus berjalan, selama hak atas tanah adat tidak diakui dan hutan mereka terus dihancurkan. Ini bukan soal investasi atau pembangunan semata, ini tentang keberlanjutan kehidupan dan keadilan ekologis,” ujar Maikel.
Masyarakat Adat Papua: Moi Sigin tolak perkebunan sawit
Di Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, masyarakat hukum adat Moi Sub Suku Moi Sigin juga menolak kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Penolakan ini disampaikan dalam musyawarah adat yang difasilitasi Dewan Adat Suku Moi dan dihadiri oleh tokoh masyarakat, termasuk Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami.
Tokoh pemuda adat Moi Sigin, Raymon Klagilit, menyatakan bahwa masyarakat tidak pernah memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan sawit sebelumnya.
“Kami tidak pernah merasakan kesejahteraan. Sebaliknya, masyarakat malah dibebani dengan utang ratusan juta hingga miliaran rupiah akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab,” tegas Raymon, dikutip dari WALHI Papua.
Yakub Klagilit, pemuda adat lainnya, menyampaikan bahwa perusahaan telah menggusur dusun sagu yang menjadi sumber pangan utama masyarakat, tanpa persetujuan masyarakat adat.
“Dusun sagu kami digusur pada Desember 2023, saat kami sedang merayakan Natal. Sampai hari ini, tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk melakukan pemulihan terhadap wilayah tersebut,” ujarnya.
Sadrak Klawen, Sekretaris Dewan Adat Distrik Moi Segen, menekankan pentingnya ketaatan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi.
“Kami mendesak agar perusahaan yang beroperasi tunduk dan patuh pada regulasi daerah yang menjamin hak masyarakat adat. Terutama soal hak atas 20 persen lahan plasma yang hingga kini tidak jelas pengelolaannya,” kata Sadrak.
Musyawarah adat ini ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap masyarakat adat Moi Sigin yang menegaskan penolakan penuh terhadap proyek PSN, serta mendesak pemerintah untuk tidak menerbitkan izin usaha di atas tanah adat tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara layak (FPIC).