Dampak perubahan iklim terhadap anak dan remaja disabilitas dan kustadi Indonesia mengkhawatirkan. Dibuktikan hasil riset.

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi lebih dari 250 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya di wilayah pesisir. Laporan UNESCO melalui program MOST (Management of Social Transformation) menggarisbawahi tingginya “Coast at Risk Index” Indonesia, diperburuk oleh pembangunan yang tidak tepat dan proyeksi kenaikan permukaan laut hingga 80 cm pada akhir abad ini.
Kondisi ini menjadikan kelompok rentan—termasuk anak dan remaja dengan disabilitas serta yang mengalami kusta—semakin terdampak secara tidak proporsional, baik dari sisi keselamatan, kesehatan, maupun penghidupan mereka.
Kerentanan ini menjadi fokus utama dalam kegiatan “Diseminasi Hasil Riset “Dampak Perubahan Iklim terhadap Anak dan Remaja dengan Disabilitas dan Kusta di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan NLR Indonesia, pada 12 Juni 2025 di Yogyakarta. Kegiatan ini bukan sekadar akademik, melainkan bagian dari upaya advokasi untuk memastikan suara kelompok marginal turut diperhitungkan dalam kebijakan iklim nasional dan daerah.
Riset dilaksanakan di dua wilayah yang merepresentasikan kompleksitas risiko iklim di Indonesia, yakni Kota Ternate (Maluku Utara) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur). Kedua wilayah ini tidak hanya menghadapi paparan iklim ekstrem seperti curah hujan tinggi, kekeringan, dan bencana hidrometeorologi, tetapi juga dihuni oleh komunitas penyandang disabilitas dan orang yang mengalami kusta yang selama ini luput dari agenda adaptasi perubahan iklim.
Awaluddin Nurmiyanto, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan UII, menegaskan pentingnya riset ini sebagai bagian dari peran perguruan tinggi dalam mendekatkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat yang paling terdampak.
“UII tidak hanya berperan sebagai pusat pengetahuan, tetapi juga sebagai penggerak perubahan sosial yang adil. Melalui riset ini, kami ingin menyampaikan bahwa ketidakadilan iklim itu nyata—dan harus direspons dengan kebijakan yang inklusif, adaptif, dan berbasis data,” jelasnya, dalam keterangan resmi, diakses Senin (14/7/2025).
Agus Wijayanto, MMID, Direktur NLR Indonesia, menambahkan bahwa riset ini merupakan tonggak penting dalam mendorong pengarusutamaan isu disabilitas dan kusta dalam kebijakan iklim.
“Kami melihat masih minimnya perhatian terhadap penyandang disabilitas dan orang yang mengalami kusta dalam dokumen-dokumen strategi perubahan iklim nasional maupun daerah. Riset ini bukan sekadar kajian akademik, tetapi juga upaya untuk memperkuat basis advokasi berbasis bukti,” ujarnya.
Riset melibatkan kelompok rentan
Paparan hasil riset disampaikan oleh Ikrom Mustofa, Ketua Tim Riset sekaligus dosen Jurusan Teknik Lingkungan UII. Ia menyoroti bahwa dampak perubahan iklim terhadap kelompok anak dan remaja penyandang disabilitas dan kusta bukan hanya berdimensi fisik, tetapi juga sosial dan psikologis.
“Riset ini menyajikan realitas yang selama ini luput dari radar kebijakan. Anak dan remaja dengan disabilitas, terutama yang mengalami kusta, berada dalam posisi yang sangat rentan. Mereka bukan hanya mengalami hambatan akses informasi iklim dan layanan kebencanaan, tetapi juga dihadapkan pada stigma sosial yang berlapis,” jelas Ikrom.
Lebih lanjut, Ikrom mengungkapkan bahwa sebagian besar anak dan remaja penyandang disabilitas yang terlibat dalam studi ini menunjukkan semangat tinggi untuk berkontribusi dalam aksi iklim. Namun, selama ini mereka tidak pernah diajak.
“Di Ternate dan TTU, kami melihat semangat luar biasa dari anak-anak dan remaja ini. Mereka ingin menjadi bagian dari solusi. Mereka ingin menanam pohon, membersihkan lingkungan, bahkan menyuarakan pendapat mereka dalam forum publik. Namun selama ini mereka tidak pernah diajak. Tidak pernah diberi ruang. Ini adalah kegagalan sistemik yang harus segera kita perbaiki,” lanjutnya.
Riset ini menghasilkan sejumlah luaran penting, mulai dari laporan hasil penelitian, peta kerentanan wilayah, profil komunitas, hingga rekomendasi aksi nyata yang dapat diadopsi oleh para pemangku kepentingan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih inklusif.
Kegiatan diseminasi juga dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk akademisi, aktivis lingkungan, organisasi penyandang disabilitas, dan mitra lokal seperti Ikatan Keluarga Disabilitas Makugawene (IKDM) dari Ternate dan Yayasan Sosial Ibu Anfrida dari TTU. Partisipasi mereka menegaskan pentingnya kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang paling terdampak.
Sebagai langkah lanjut, UII dan NLR Indonesia menandatangani “Implementation Agreement” guna memperkuat kerja sama dalam riset terapan, peningkatan kapasitas komunitas, dan advokasi kebijakan berbasis keadilan iklim.
“Diseminasi ini bukanlah akhir, tapi justru awal dari langkah panjang untuk menjadikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim benar-benar inklusif, terutama bagi anak dan remaja yang selama ini terpinggirkan,” pungkas Ikrom Mustofa.
Dalam konteks yang lebih luas, kajian UNESCO bersama LIPI, UI, dan UGM melalui laporan tahun 2017 menekankan perlunya desain kebijakan adaptasi perubahan iklim yang lebih inklusif, terutama untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) pemerintah dinilai masih terlalu fokus pada aspek fisik dan teknis, dengan minim perhatian terhadap dimensi sosial-budaya kelompok rentan.
Oleh karena itu, integrasi perspektif inklusi sosial dan perlindungan kelompok marginal seperti anak dan remaja dengan disabilitas serta yang mengalami kusta, menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan iklim yang berkeadilan di Indonesia. Kebijakan yang tidak hanya berbasis data dan proyeksi ilmiah, tetapi juga mendengarkan pengalaman hidup kelompok yang selama ini tidak terlihat.