Kebijakan penertiban kawasan hutan perlu memenuhi prinsip kehati-hatian, transparansi, dan skala prioritas.

Kawasan hutan Indonesia. (Kementerian Kehutanan)
Kawasan hutan Indonesia. (Kementerian Kehutanan)

Kebijakan penertiban kawasan hutan melalui Peraturan Presiden 5/2023 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) adalah langkah strategis penindakan usaha ilegal para pengusaha. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) Perpres tersebut berbunyi “Untuk penanganan dan perbaikan tata kelola kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain dalam Kawasan Hutan serta optimalisasi Penerimaan Negara, Pemerintah Pusat melakukan tindakan pemerintah berupa penertiban Kawasan Hutan”.

Ayat berikutnya menyebutkan, ”Penertiban Kawasan Hutan dilakukan terhadap Setiap Orang yang melakukan penguasaan Kawasan Hutan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Kami menilai frasa “Setiap Orang” dalam pasal tersebut menyimpan bara api konflik agraria, sebab operasi penertiban ini bisa saja menyasar kelompok petani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan yang selama ini mengalami konflik akibat “klaim” kawasan hutan Negara.

Pada Januari 2025 Presiden Prabowo membentuk Satgas PKH, hanya berselang satu bulan setelah Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No: 36/2025 yang memuat daftar subjek yang tanahnya ditertibkan sebanyak 436 dengan luasan mencapai 790.474 hektar.

Kini lima bulan berselang Satgas PKH mengklaim sudah menertibkan 2 (dua) juta hektar usaha ilegal milik pengusaha terutama sawit, kayu dan tambang yang tentu saja tidak diketahui dimana saja lokasinya.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam siaran pers, diakses Sabtu (26/7/2025) berpandangan kebijakan ini berpotensi menjadi pisau bermata dua, jika keliru menentukan objek dan peruntukan penertibannya di lapangan.

Pertama, jika tanah yang ditertibkan adalah untuk diselesaikan konfliknya dan didistribusikan kepada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan maka akan selaras dengan tujuan Reforma Agraria.

Kedua, sebaliknya apabila Pemerintah melalui Satgas PKH memberikannya kembali ke perusahaan lain, maka akan memperparah konflik agraria. Karenanya kebijakan ini perlu memenuhi prinsip kehati-hatian, transparansi dan skala prioritas dalam pelaksanaannya.

Kekhawatiran ini tentu memiliki dasar, misalnya jika mengacu pada data BPS tentang identifikasi desa dalam kawasan hutan tahun 2019, terdapat 42.471 desa di dalam dan di sekitar klaim kawasan hutan.

Sebagaimana kita ketahui jika satu desa diklaim sebagai kawasan hutan maka akan memunculkan konflik agraria berikutnya sebab Kementerian Kehutanan dengan leluasa menerbitkan izin berusaha bagi pengusaha tambang, sawit dan kayu.

Tentu hal ini berdampak pada semakin tingginya ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat kelompok kecil dengan badan usaha skala besar. Hal ini dibuktikan dengan temuan BPS berikutnya melalui Sensus Pertanian tahun 2023, dimana terdapat 2,19 juta petani gurem yang berada di wilayah klaim kehutanan.

Belum lagi masalah diskriminasi hak atas pembangunan yang terganjal sebab tidak dibenarkan suatu pembangunan pemerintah di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Hal lain yang menjadi mengkhawatirkan adalah pendekatan Satgas PKH yang sangat militeristik, di mana Ketua dan Wakil Satgas didominasi oleh Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri.

KPA memandang, pertama, ketiga institusi tersebut tidak memahami secara historis, sosiologis dan yuridis mengenai persoalan konflik agraria di Indonesia;

Kedua, pendekatan militeristik yang identik dengan ketiga lembaga tersebut justru kerap menyebabkan teror bagi masyarakat, sebab memilih pendekatan yang represif dan diskriminatif di lapangan.

KPA juga telah melihat adanya kerancuan pelaksanaan kebijakan ini contohnya di Provinsi Jambi. Di sana terjadi penggusuran tanah petani milik Anggota Serikat Tani Tebo (STT). Tanah pertanian dan perkampungan ini dianggap sebagai penguasaan ilegal.

Padahal Desa Lubuk Mandarsah, tempat milik Anggota Serikat Tani Tebo, sudah ditempati masyarakat sejak 1813 silam. Dengan menggunakan klaim kewenangan Satgas PKH para petani terancam.

Padahal tanah dan perkampungan yang diklaim sebagai kawasan hutan dan objek penertiban Satgas PKH merupakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang juga hendak diselesaikan konfliknya oleh Pemerintah Pusat dan Daerah itu sendiri.
KPA menyatakan, meski Presiden silih berganti namun semuanya belum berhasil memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan melalui program Reforma Agraria. Sejak tahun 2016 KPA bersama organisasi rakyat telah menyerahkan 1,7 juta hektar LPRA kepada kementerian bahkan Presiden demi mempercepat identifikasi objek dan subjek Reforma Agraria. Sayangnya yang diusulkan KPA menemui jalan buntu, tanpa proses penyelesaian apapun.

Kesalahan kebijakan

Menurut KPA, masalah agraria di kehutanan hari ini adalah dampak dari kesalahan kebijakan pemerintah puluhan tahun lalu, ketika pemerintah menetapkan kawasan hutan, tanpa memeriksa dan mendaftar penguasaan tanah masyarakat yang jauh lebih dulu ada, sesuai mandat UUPA 1960.

Pasca disahkannya UU Cipta Kerja penetapan hutan negara tidak lagi harus melalui 4 tahap seperti penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan, namun bisa ditentukan sepihak oleh Kementerian Kehutanan. Akibatnya bermunculan konflik dan perampasan tanah baru yang disebabkan masalah penetapan dan pemberian izin kehutanan. Seharusnya pemerintah atau Satgas PKH menyadari hal tersebut dan mengurai masalah dari titik semula yaitu proses penetapan hutan yang keliru.

Penertiban bisnis ilegal kawasan hutan telah dijalankan dengan serampangan oleh Satgas PKH, tidak hanya menjadi langkah mundur penyelesaian konflik agraria namun dapat menjadi aktor baru perampasan tanah.

Alasan keterlanjuran, penertiban bisnis ilegal dan pengampunan adalah kekeliruan selanjutnya tanpa dapat mengatasi krisis sosial dan ekonomi sudah terlampau parah. Hanya dengan mengoreksi tata batas kehutanan, pendaftaran dan redistribusi tanah saja warisan masalah ini dapat diselesaikan.

Atas situasi di atas, KPA bersama Serikat Tani di Provinsi Jambi mendesak agar Presiden Prabowo Subianto segera:

Mengevaluasi pelaksanaan Penertiban Kawasan Hutan oleh Satgas PKH secara nasional terutama di Provinsi Jambi;

Mengembalikan tanah dan perkampungan yang diklaim sebagai kawasan hutan kepada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan agar selaras dengan tujuan Reforma Agraria;

Memastikan dipenuhinya prinsip kehati-hatian, skala prioritas, transparansi, partisipasi masyarakat secara utuh dalam penentuan objek penertiban oleh Satgas PKH;

Memastikan kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) tidak bertentangan dengan proses penyelesaian konflik agraria dari “klaim” kawasan hutan;

Membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang dipimpin langsung oleh Presiden untuk percepatan Reforma Agraria, Kedaulatan Pangan dan Penguatan Ekonomi Kerakyatan; dan

Mengoreksi batas klaim kawasan hutan negara dan izin kehutanan demi memberikan keadilan dan kepastian hukum atas tanah serta perkampungan masyarakat.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses