Kebijakan pangan nasional yang sering kali seragam dan terpusat, tanpa sadar menggerus kemerdekaan masyarakat adat.
Di kedalaman hutan, di pesisir pantai yang belum terjamah, dan di lereng-lereng gunung yang subur, sebuah kemerdekaan sejati dirayakan setiap hari. Ini bukanlah kemerdekaan yang diproklamasikan dengan teks dan upacara, melainkan kemerdekaan yang hidup dalam setiap umbi yang dicabut dari tanah, setiap butir sagu yang diolah, dan setiap jengkal hutan yang dijaga sebagai sumber kehidupan. Inilah kemerdekaan masyarakat adat dalam mengelola alam dan pangan mereka.
Bagi mereka, tanah bukanlah sekadar aset. Ia adalah ibu yang memberi makan, hutan adalah apotek yang menyediakan obat-obatan, dan sungai adalah urat nadi yang mengalirkan kehidupan. Pangan lokal seperti sagu, sorgum, jagung, dan aneka umbi-umbian bukanlah sekadar pengisi perut, melainkan bagian dari identitas, ritual, dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Pangan adalah tradisi.
Namun, kemerdekaan ini terusik. Kebijakan pangan nasional yang sering kali seragam dan terpusat, tanpa sadar menggerus kedaulatan mereka. Dominasi beras dan gandum perlahan menyingkirkan pangan lokal dari piring-piring di pelosok negeri. Hutan adat yang beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur mengancam sumber pangan dan ruang hidup mereka.
Suara dari Balik Krisis: Seruan untuk Kembali ke Akar
Di tengah ancaman krisis iklim dan tantangan ketahanan pangan, sebuah kesadaran baru mulai tumbuh. Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, menekankan urgensi perubahan. “Revisi UU Pangan adalah peluang untuk memperbaiki arah kebijakan pangan Indonesia. Sudah saatnya kita mengakui peran strategis pangan lokal dalam menghadapi krisis iklim dan membangun ketahanan pangan jangka panjang,” ujarnya.
Seruan ini lahir dari pengalaman nyata di lapangan. Maria Mone Soge, seorang petani muda dari Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, berbagi keresahannya. “Saya melihat banyak petani mulai kehilangan semangat karena perubahan musim yang tak menentu. Tapi kami di desa juga punya banyak solusi lokal — dari pola tanam tradisional sampai jenis pangan lokal yang lebih tahan iklim. Kami ingin UU Pangan yang berpihak pada kami, petani muda, agar kami bisa terus bertani dan menjaga budaya pangan lokal,” ungkap Maria.
Senada dengan itu, Andika, seorang local champion dari Desa Tapobali, Kabupaten Lembata, menyuarakan pentingnya pengakuan terhadap pengetahuan lokal. “Tapi kami juga punya pengetahuan lokal dan cara bertahan yang bisa menjadi solusi. Pemerintah perlu mendengar suara kami. Revisi UU Pangan harus menjamin hak petani kecil dan ruang bagi generasi muda untuk memimpin perubahan,” tegasnya.
Mengembalikan Makna Kedaulatan Pangan
Para pegiat pangan lokal menyoroti bahwa makna kedaulatan pangan telah terdistorsi. David Ardhian, penulis policy brief Sistem Pangan Negara Kepulauan, menjelaskan, “Sejak dimasukkan dalam UU Pangan 2012, makna sejatinya kian terdistorsi oleh kebijakan sentralistik seperti food estate yang mengabaikan keberagaman lokal, menggusur masyarakat, dan merusak ekosistem.”
Menurut David, inilah momentum untuk perubahan fundamental. “Revisi UU Pangan harus menjadi momentum untuk mengembalikan ruh kedaulatan pangan sebagai hak rakyat, bukan kontrol negara. Sudah waktunya arsitektur kebijakan pangan dibangun dari bawah, mengakui inisiatif komunitas, membuka ruang partisipasi luas, dan berpihak pada solusi lokal,” tambahnya.
Dukungan terhadap komunitas adat menjadi kunci. Seperti yang disampaikan oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Yayasan KEHATI, “Masyarakat adat harus diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola wilayah mereka sendiri, misalnya memberikan akses untuk orang muda adat untuk bertani dan mengolah lahan.”
Pada akhirnya, kemerdekaan sejati sebuah bangsa tercermin dari kemampuannya untuk memberi makan dirinya sendiri dengan pangan yang berdaulat, sehat, dan lestari. Dan pelajaran terbaik tentang kemerdekaan itu datang dari mereka yang telah mempraktikkannya selama berabad-abad: masyarakat adat. Kemerdekaan mereka dalam mengelola alam adalah kemerdekaan kita semua untuk masa depan pangan yang lebih baik.
- Kemerdekaan masyarakat adat ketika merdeka merawat pangan lokal
- Peringatan serius bagi pejabat publik datang dari Pati
- Melihat keterbatasan akses pendidikan tinggi dari cerita anak penjual soto kuliah gratis di UGM
- Kesadaran kolektif bisa jadi kunci atasi masalah sampah di Kota Sorong
- Krisis Sampah di Kota Pontianak bisa jadi potensi ekonomi
- Bahaya penggunaan insinerator dan RDF dalam mengelola sampah