konservasi air kunci untuk memastikan keberlanjutan pasokan air sekaligus melindungi masyarakat dari bencana
Ancaman krisis air bersih semakin nyata di Indonesia seiring dampak perubahan iklim yang kian terasa. Dalam forum Indowater Expo & Forum 2025 di JIExpo Kemayoran, para pakar menegaskan bahwa konservasi air adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan pasokan air sekaligus melindungi masyarakat dari risiko banjir maupun kekeringan.
Firdaus Ali, pakar sumber daya air sekaligus Wakil Presiden Asia Water Council, menyoroti lemahnya langkah konkret pemerintah dalam menghadapi krisis yang menurutnya sudah berlangsung sejak 2018.
“Kita gagal mencapai target yang kita umumkan sendiri. Tanpa kerja keras, kerja cerdas, kolaborasi, dan komitmen serius dari pemerintah, kita tidak akan bergerak jauh,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterbukaan soal pendanaan. “Kalau butuh bantuan, sampaikan saja. Jangan gengsi. Jangan sampai masalah klasik pendanaan selalu jadi alasan macetnya pengelolaan air,” tambahnya.
Masalah biaya dan kapasitas sumber daya manusia kerap jadi kendala utama pengelolaan air di tingkat daerah. Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR, Dewi Chomistriana, menyebut ketersediaan air hingga 2024 telah mengalami defisit 220,98 meter kubik.
Menurutnya, pemerintah berupaya memperbaiki mekanisme pembiayaan, khususnya untuk air minum. “Ke depan, anggaran air minum dan sanitasi akan dipisahkan agar lebih jelas prioritasnya,” kata Dewi.
Namun, kerentanan terhadap perubahan iklim tetap menjadi ancaman besar. Data Kementerian PPN/Bappenas menunjukkan 12,7 juta hektare lahan kritis kehilangan fungsi tata air, sementara 100 juta penduduk di 325 kabupaten/kota masuk kategori berisiko tinggi banjir. Tahun 2024 saja, lebih dari 8 juta orang terdampak bencana hidrometeorologi.
Konservasi Sebagai Strategi Adaptasi
Dadang Jainal Mutaqin, Direktur Kehutanan dan Konservasi SDA Bappenas, menegaskan bahwa konservasi adalah jalan adaptasi terhadap dampak iklim: mencegah krisis air, mengurangi risiko banjir, dan menjaga keberlanjutan sumber daya. “Situasi ini bukan hanya soal ketahanan air, tetapi juga menyangkut keberhasilan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Akademisi UI, Tri Edhi Budhi Soesilo, menambahkan bahwa prinsip 3K—Kuantitas, Kualitas, dan Kontinuitas—harus menjadi pijakan dalam tata kelola air. Ia menekankan perlunya pengawasan ketat.
“Tidak perlu tambah regulasi baru. Yang penting, regulasi dijalankan dengan amanah. Itu kuncinya,” tegasnya.
Para narasumber sepakat bahwa konservasi air tidak bisa diserahkan pada pemerintah semata. Diperlukan kolaborasi lintas pemangku kepentingan—dari akademisi, pelaku industri, hingga komunitas lokal. Pendekatan ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya target 6 tentang akses air bersih dan sanitasi.
Forum Indowater Expo & Forum 2025, yang digelar Ikatan Alumni Teknik Lingkungan ITB (IATL ITB) bersama Napindo, menegaskan pentingnya ruang dialog lintas sektor. Dengan pertukaran pengetahuan dan jejaring kerja sama, diharapkan lahir kebijakan, inovasi teknologi, dan aksi komunitas yang mampu memperkuat ketahanan air nasional di tengah krisis iklim yang semakin kompleks.
- Sonic/Panic Volume 3, keberlanjutan kolaborasi musisi untuk selamatkan bumi
- Macan tutul tersesat ke hotel di Bandung, populasi di alam kian menyusut
- Dukungan internasional mengalir kepada tergugat perkara bahaya asbes
- Deklarasi Sumba untuk keadilan ekologis: seruan dari Timur untuk membalik arah pembangunan
- Warga di Kepulauan Riau terancam relokasi karena proyek ‘berkelanjutan’
- Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup di Sumba, 20 September ditetapkasn sebagai Hari Keadilan Ekologis