KPA berharap Indonesia jadi pusat best practice dalam reforma agraria sebagai jalan wujudkan kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan

Siang itu, Desa Gunung Anten lebih ramai dari biasanya. Wajah-wajah asing datang mengunjungi desa yang terletak di Lebak, Banten, tersebut. Para pengunjung yang berasal dari beberapa negara di Asia itu bukan datang untuk berwisata. Mereka ingin melihat langsung dan belajar dari para petani yang telah teguh memperjuangkan tanah mereka yang diklaim perusahaan swasta. Setelah puluhan tahun berjuang, akhirnya tanah mereka mendapatkan pengakuan hak atas tanah dari pemerintah. “Pembelajaran terpentingnya adalah kerja-kerja atas inisiatif rakyat dalam gerakan sosial,” kata Aneesh Kumar, perwakilan dari organisasi Ekta Parishad, India, yang ikut hadir dalam kunjungan itu.

Aneesh dan ratusan orang lainnya datang mengunjungi organisasi rakyat di Gunung Anten sebagai bagian dari rangkaian acara Asia Land Forum 2025 yang digelar pada 17-21 Februari 2025 di Jakarta. Tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan tersebut karena adanya pemerintahan baru, sehingga memunculkan peluang baru untuk berkolaborasi kritis antara organisasi masyarakat sipil dengan Pemerintah. Selain itu, ini merupakan bentuk kepercayaan masyarakat di Asia terhadap konsistensi dan pencapaian gerakan reforma agraria di Indonesia.

“Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berharap Indonesia menjadi pusat best practice dalam mendorong percepatan reforma agraria, pembangunan desa, dan koperasi rakyat sebagai jalan mewujudkan kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika.

Ada 500 lebih peserta dari 14 negara di Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil hadir pada forum ini. Di hari pertama para peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan kunjungan komunitas ke tiga tempat, yakni Kasepuhan Jamrut di Lebak, Desa Gunung Anten di Lebak, dan Desa Langensari di Sukabumi, ketiganya di Provinsi Jawa Barat. Masing-masing organisasi rakyat tersebut menyimpan kisah perjuangan mempertahankan hak atas tanah.

Di Gunung Anten, anggota organisasi rakyat yang sebagian berasal dari Baduy luar itu berkisah, mereka mulai mengolah tanah untuk pertanian dan mendirikan pemukiman di desa tersebut sejak tahun 1989. Namun, pada tahun 1994, Badan Pertanahan Nasional (BPN) secara sepihak mengeluarkan izin pengelolaan tanah untuk PT. Bantam Preanger dan Rubber (PT. Bantam) berupa Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.100 hektare, termasuk di dalamnya lahan pertanian dan pemukiman warga. Masyarakat yang kukuh tidak mau melepaskan tanah mereka mendapat ancaman dari PT. Bantam, pemerintah setempat, serta dari warga desa sekitar.

Pada tahun 2002, izin HGU PT. Bantam berakhir. Namun, pada tahun 2008 sampai tahun 2010, perusahaan tersebut tetap berusaha mengusir masyarakat dengan intimidasi. Selama waktu ini pun PT. Bantam rupanya diam-diam merencanakan untuk menanam ulang karet di tanah petani tanpa memperbarui HGU terlebih dahulu. Masyarakat yang menggarap tidak tinggal diam, menyatukan kekuatan dalam Pergerakan Petani Banten (P2B).

Penyelesaian konflik agraria mulai menunjukkan kemajuan pada tahun 2016, ketika kawasan tersebut diajukan sebagai LPRA (lokasi prioritas reforma agraria). LPRA adalah tanah yang dikuasai untuk pertanian, pemukiman, desa, dusun, dan wilayah petani, nelayan, serta masyarakat adat yang telah memenuhi prasyarat untuk penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah dalam kerangka reforma agraria. Sejak saat itu, P2B yang terdiri dari 195 keluarga, bersama KPA secara konsisten memberikan tekanan kepada pemerintah, termasuk proses advokasi kepada Presiden, berbagai kementerian/lembaga, dan otoritas setempat.

Setelah perjuangan panjang, akhirnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan tersebut berhasil diselesaikan. Tanah seluas 135 hektare yang diakui sebagai milik P2B bisa diredistribusi dengan skema kepemilikan bersama, tepatnya pada 27 Oktober 2023. Para anggota mengalokasikan 33 persen tanah untuk perempuan dan 25 persen untuk pemuda yang menjadi penerus perjuangan.

Semua tanah yang diredistribusikan itu diorganisir dengan baik: enam hektar telah ditetapkan untuk tujuan pemukiman, 100 hektar diperuntukkan bagi praktik pertanian, dan lima hektar disediakan untuk penggunaan kolektif. Tanah sisanya memiliki peran penting, berfungsi sebagai jalan desa, ruang pertanian, sekretariat yang berfungsi sebagai balai pertemuan, pusat pendidikan, dan berbagai fasilitas umum dan sosial yang memperkaya pengalaman bersama komunitas.

Di lahan kolektif tersebut, mereka menyediakan pusat pembibitan beragam tanaman varietas lokal untuk memastikan pangan dan pengetahuan lokal tetap terjaga. Mereka juga membangun Balai ARAS sebagai pusat pendidikan, terutama bagi anak-anak. “Bagaimana serikat tani mendirikan fasilitas pendidikan untuk anak-anak di Balai ARAS ini adalah sesuatu yang luar biasa,” kata Atlantuya Tsedenish dari organisasi NAMAC, Asia Tengah.

Sementara itu, di Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, perjuangan belum berhenti. Dulu, kampung mereka merupakan perkebunan kolonial. Usai Indonesia merdeka, wilayah tersebut kemudian digarap oleh para petani sejak tahun 1948. Namun, alih-alih mendistribusikan tanah tersebut kepada masyarakat, Pemerintah justru mengalihkannya kepada perusahaan PTPN VIII yang mengakibatkan konflik agraria dengan masyarakat. PTPN VIII menguasai lebih dari 2.023 hektar lahan pertanian, termasuk lahan yang aktif digarap oleh masyarakat Desa Langensari.

Sebagian dari mereka mengorganisir diri dan bergabung dalam Persatuan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS). Di organisasi tani lokal (OTL) Langensari, mereka menguasai lahan seluas 183 hektare ini berfungsi sebagai pusat pertanian yang mampu menghasilkan lebih dari 50 ton sayuran setiap hari. Para petani tidak hanya memasok bahan pangan di daerahnya tapi juga ke daerah sekitarnya, termasuk Jakarta.

Petani OTL Langensari juga dikenal dengan kerajinan tanaman hias bambu suji, dan menjadi pemasok untuk diekspor ke Korea Selatan dan China. Laki-laki biasanya mengatur penanaman di kebun bambu, dan perempuan merangkai bambu pasca panen. Namun begitu, meski memiliki tanah yang subur dan menjadi penopang perekonomian, para petani tersebut belum mendapatkan pengakuan hak atas atas tanah mereka.

Sebagai bagian dari LPRA, tanah petani telah diidentifikasi sebagai titik fokus penyelesaian konflik agraria oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tantangan yang dihadapi petani dalam mendapatkan pengakuan atas tanah mereka sangat besar. Namun ini tidak menghalangi mereka untuk menempuh jalan penyelesaian konflik dan pemenuhan hak atas tanah melalui reforma agraria (agrarian reform by leverage).

Kurun setahun terakhir, tidak terhitung intimidasi dan teror yang didapatkan petani PPSS dari kepolisian dan militer, suruhan PTPN VIII. Bersama senjatanya, mereka meyakinkan petani untuk menerima skema Pemberdayaan Masyarakat Desa sekitar Kebun (PMDK). Petani menolak, karena PMDK mengamini bahwa tanah adalah milik PTPN. Aparat gabungan kembali mendatangi petani PPSS, menyebut bahwa lahan mereka akan diambil alih untuk program ketahanan pangan.

Melalui kemandirian dan berbagai inisiatif, petani berhasil memaksimalkan produksi lahan pertanian, membangun pemukiman, sekretariat organisasi, dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa melalui pengorganisasian yang efektif petani dapat mencapai apa yang secara tradisional menjadi tanggung jawab pemerintah.

Di Kasepuhan Jamrut, nyala api perjuangan juga masih panas. Wilayah tempat tinggal mereka berada di Desa Wangunjaya dan Desa Citorek Barat dengan luas 2.642 hektare. Namun, pada 1979, sebagian wilayah mereka ditetapkan sebagai Kawasan Hutan di bawah Kementerian Kehutanan dan dikelola oleh Perum Perhutani yang bergerak di bidang penebangan hutan serta Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.  Padahal, tanah tersebut adalah sumber penghidupan yang telah dikelola secara turun-temurun. Terlebih, oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sebagian wilayah lain juga ditetapkan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL) yang kemudian diberikan konsesi perkebunan swasta. Wilayah penghidupan masyarakat Kasepuhan Jamrut pun makin tumpang tindih.

Untuk mendapatkan hak mereka kembali, masyarakat Kasepuhan telah melakukan pemetaan partisipatif sejak 2015. Anak-anak muda, baik perempuan maupun laki-laki, aktif terlibat memimpin proses pemetaan partisipatif tersebut. Cerita-cerita mereka menjadi bahan pembelajaran bagi peserta Asian Land Forum yang datang berkunjung.

 “Saya banyak belajar dari Kasepuhan Jamrut, terutama perjuangan dan proses yang mereka lalui untuk mengklaim tanah mereka sebagai masyarakat adat. Karena di Laos, kami juga memiliki masalah yang sangat mirip, di mana komunitas kami tinggal di kawasan hutan dan mereka berjuang untuk mengklaim hak-hak mereka di dalam hutan. Saya sangat ingin menggunakan pengalaman ini dan menerapkannya di negara saya,” ujar Vanida Khouangvicait, dari Land Information Working Group Laos.*****
Junarcia Molisna Naibaho, Konsorsium Pembaruan Agraria

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses