Mataram darurat sampah. Setiap hari, sekitar 300 ton sampah dihasilkan oleh aktivitas rumah tangga, pasar, restoran, hotel dan sektor usaha lainnya.

Di balik denyut kehidupan Kota Mataram yang terus bergerak sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB), tersimpan persoalan pelik yang kian mendesak untuk diselesaikan, yakni sampah.

Setiap hari, sekitar 300 ton sampah dihasilkan oleh aktivitas rumah tangga, pasar, restoran, hotel dan sektor usaha lainnya. Namun, daya tampung sistem pengelolaan yang tersedia masih jauh dari memadai. Apalagi, penambahan jumlah volume berpotensi semakin bertambah seiring tingginya aktivitas ekonomi dan pertumbuhan pemukiman baru.

Akibatnya, persoalan sampah bukan lagi sekadar soal tumpukan limbah, tapi sudah menjadi krisis lingkungan dan sosial yang nyata. Bahkan terbukti menjadi penyebab bencana banjir melanda.

Dari 300 ton produksi sampah per harinya, sekitar 80 persen dikirim dari Kota Mataram ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Kebon Kongok di Desa Suka Makmur, Lombok Barat.

Namun, kapasitas TPA yang semakin menipis membuat sistem ini rapuh. Sisanya, sekitar 20 persen sampah dibuang sembarangan ke sungai, saluran air, jembatan, hingga akhirnya bermuara ke laut.

Kondisi TPA yang sudah penuh tidak hanya menjadi sumber pencemaran lingkungan, tetapi sewaktu-waktu bisa memicu konflik sosial dengan warga sekitar.

Ketegangan ini kian terasa karena TPA Kebon Kongok juga menampung sampah dari dua daerah sekaligus, yakni Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat.

Kondisi lingkungan yang memburuk juga terlihat dari hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB pada 2023. Dalam 100 liter air sungai di Mataram, ditemukan rata-rata 28 partikel mikroplastik.

Sungai-sungai besar seperti Jangkuk, Meninting, dan Babak menjadi jalur utama aliran limbah dari permukiman. Sampah-sampah tersebut akhirnya bermuara ke laut yang tentunya berbahaya bagi ekosistem perairan laut.

Partikel mikroplastik ini tidak hanya membahayakan ekosistem air, tetapi juga menimbulkan ancaman jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat, terutama yang masih memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kalau mikroplastik sudah masuk ke dalam sistem air, maka dampaknya bisa masuk ke tubuh manusia melalui ikan, air minum atau bahkan udara,” kata Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin.

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, sekitar 62 hingga 65 persen sampah harian di Mataram, merupakan sampah organik, seperti sisa makanan dan limbah dapur.

Ironisnya, mayoritas sampah ini masih ikut menumpuk di TPA, padahal justru paling mudah diolah menjadi kompos atau sumber energi terbarukan.

Sebaliknya, sampah anorganik seperti botol plastik, kardus dan logam lebih cepat terserap ke sistem informal. Para pemulung dan pengepul memilah langsung sampah bernilai ekonomi. Namun proses ini hanya mencakup sebagian kecil dari total sampah harian.

Kota Mataram juga masih sangat ketergantungan dengan TPA Kebon Kongok. Hal ini membuat Ibukota Provinsi NTB tersebut tidak memiliki kendali penuh atas sistem pengelolaan akhir.

Melihat kondisi yang kian mengkhawatirkan, Pemerintah Provinsi NTB menetapkan status darurat sampah untuk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat pada Juli 2025.

Namun, menurut Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Dinas LHK NTB, H Samsudin, penanganan krisis ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah.

“Regulasi sudah kita siapkan. Tapi selama kesadaran masyarakat belum tumbuh, semuanya akan percuma. Ini soal perilaku kolektif, bukan semata-mata urusan teknis,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa edukasi dan kampanye soal pengurangan dan pemilahan sampah harus dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah juga tidak bisa bekerja sendiri, tapi butuh kolaborasi dari masyarakat, swasta, perusahaan dan BUMN.

Kesadaran juga menjadi faktor krusial. Banyak warga masih menganggap urusan sampah selesai begitu dibuang ke tong sampah. Padahal, sistem pengangkutan, pemilahan dan daur ulang masih menghadapi banyak tantangan.

Mataram kini berada di persimpangan. Melanjutkan cara lama yang stagnan, atau bergerak bersama menuju solusi berkelanjutan. Di balik tumpukan sampah itu, tersimpan peluang besar untuk transformasi.

Karena sejatinya, solusi atas darurat sampah bukan terletak pada siapa yang paling bertanggung jawab, melainkan pada sejauh mana kita bersedia bergerak bersama.

Peraturan Gubernur Bagi Pelaku Usaha

Di tengah tantangan pengelolaan sampah yang makin kompleks, Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan komitmennya untuk membenahi persoalan lingkungan ini dari akarnya.

Menurutnya, membangun sistem pengelolaan sampah yang efektif bukan hanya soal teknologi, tapi terutama soal perubahan pola pikir dan budaya.

“Budaya kita kalau mengolah sampah tanpa pemilahan, ini biayanya akan mahal,” tegasnya dalam sebuah forum lingkungan, menyoroti masih minimnya kesadaran memilah sampah di masyarakat.

Kurangnya budaya memilah juga mendorong Pemerintah Provinsi NTB mengambil langkah strategis melalui sektor pendidikan. Kini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB tengah menyusun kurikulum wajib pengelolaan sampah bagi pelajar.

Namun, pembenahan budaya dan edukasi hanya satu bagian dari puzzle. Salah satu kebijakan progresif yang kini sedang disiapkan Pemerintah Provinsi NTB adalah penerapan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen yang diperluas.

Lewat Peraturan Gubernur (Pergub) yang tengah difinalisasi, pemerintah daerah ingin memastikan bahwa produsen tidak lagi lepas tangan terhadap sampah dari produk mereka.

Prinsip EPR menekankan bahwa produsen bertanggung jawab atas siklus hidup produk mereka, termasuk sampah yang ditinggalkan setelah dikonsumsi. Ini berarti, perusahaan besar maupun kecil, perlu turut serta dalam pengelolaan limbah, melalui pendanaan, penyediaan fasilitas maupun edukasi.

“Produsen tidak bisa hanya menikmati keuntungan tanpa peduli pada limbahnya. Misalnya, botol plastik air kemasan, sachet makanan, atau kemasan sekali pakai, semua itu menumpuk di lingkungan. Siapa yang harus tangani kalau bukan mereka juga?,” kata Samsudin.

Tanggung jawab produsen tidak berarti perusahaan harus membangun pabrik pengolahan sendiri. Namun, mereka dapat berkontribusi dalam berbagai bentuk mendanai edukasi masyarakat, mendukung kader lingkungan, hingga membantu desa-desa yang sudah mulai memilah dan mengelola sampah secara mandiri.

Langkah konkret untuk mewujudkan EPR di NTB, sedang dipersiapkan secara serius. Pemerintah Provinsi NTB menargetkan selesainya regulasi EPR tahun ini, agar menjadi dasar hukum pelibatan sektor industri dalam pengelolaan sampah.

Lebih dari sekadar aturan, regulasi EPR menjadi bagian penting dari transformasi menuju ekonomi sirkular, di mana sampah tidak lagi dianggap sebagai limbah semata, tetapi sebagai sumber daya yang bisa dikelola dan dimanfaatkan ulang.

Dalam kerangka ini, industri tidak hanya berperan sebagai produsen barang, tetapi juga sebagai aktor penting dalam siklus pemanfaatan ulang material. Sampah organik bisa menjadi kompos, limbah plastik bisa menjadi bahan bakar alternatif atau didaur ulang menjadi produk lain yang bernilai ekonomi.

Dengan pendekatan ini, NTB tidak hanya mengurangi tumpukan sampah di TPA, tetapi juga membuka peluang ekonomi hijau, menciptakan lapangan kerja baru, dan menjaga kelestarian lingkungan.

Pendiri Bank Sampah Mandiri NTB, Siti Aisyah, juga menegaskan pentingnya keterlibatan industri dalam mengatasi persoalan sampah plastik. Menurutnya, membayar pajak saja tidak cukup jika produsen tetap menghasilkan limbah dalam jumlah besar tanpa tanggung jawab lingkungan.

Ia mencontohkan kebijakan di Eropa yang membebankan pajak tinggi pada produk berisiko seperti rokok. “Rokok tidak dilarang, tapi harganya tinggi. Orang jadi berpikir dua kali untuk membeli. Prinsip ini bisa diterapkan pada kemasan plastik sekali pakai,” jelasnya.

Sayangnya, lanjut Aisyah, di Indonesia, produsen besar masih membayar pajak dalam sistem yang seragam, tanpa mempertimbangkan jumlah sampah yang dihasilkan.

“Ini bukan cuma tugas masyarakat. Pemerintah Kota Mataram pun tak bisa kerja sendiri. Harus ada dukungan pusat,” tegasnya.

Menurutnya, peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan untuk memperkuat regulasi, memberi tekanan kepada produsen, sekaligus mendukung komunitas melalui program off-taker untuk membeli hasil olahan sampah dari masyarakat.

“Kita ini butuh sistem yang adil. Semua pihak harus terlibat,” tuturnya.

Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin, juga menyoroti fakta bahwa banyak produk plastik di Mataram, berasal dari luar daerah, terutama kawasan industri. Meski bukan produsen, para distributor lokal tetap memegang tanggung jawab atas limpahan sampah yang mereka edarkan.

Menurutnya, pemerintah daerah harus berani menuntut peran lebih dari distributor. Tidak cukup hanya dengan membayar pajak, tapi mereka perlu terlibat langsung, mulai dari penyediaan tempat sampah di titik strategis, dukungan terhadap industri daur ulang, hingga pendanaan program edukasi masyarakat.

“Itu bagian dari tanggung jawab sosial mereka sebagai produsen dan ataupun distributor yang menghasilkan dan mengedarkan produk dengan kemasan plastik,” tegas Amri.

Potensi Ekonomi Sirkular

Sejak hadirnya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sandubaya, volume sampah dari Kota Mataram yang masuk ke TPA Kebon Kongok mulai bisa ditekan dari 300 ton menjadi sekitar 180 ton per hari. Sebuah kemajuan penting, meski masih jauh dari kata ideal.

Pengurangan tersebut adalah hasil kerja banyak pihak, termasuk komunitas, pemerintah kota, hingga provinsi. Salah satu langkah strategis juga datang dari unit pengolahan organik BSF (Black Soldier Fly) di Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.

Di tempat itu lah, larva lalat tentara hitam bekerja keras mengurai sampah organik menjadi pakan ternak yang kaya protein atau disebut maggot.

Di atas kertas, unit BSF ini mampu menampung hingga 4 ton sampah organik per hari. Sayangnya, kapasitas ini belum terisi penuh. Realitanya, hanya sekitar 800 kilogram yang masuk setiap harinya.

“Masalahnya di sumber. Warga belum terbiasa memilah. Sampah rumah tangga masih bercampur antara organik dan anorganik,” kata Samsudin.

Padahal, efisiensi BSF sangat tinggi. Hanya 100 gram larva bisa melahap 1–2 kilogram sampah organik dalam waktu kurang dari satu jam. Bila sistem berjalan baik, potensi ekonominya besar, maggot bisa dijual hingga Rp20.000 per kilogram sebagai pakan ikan atau unggas.

Namun, potensi ini terganjal pada satu titik kritis karena rendahnya partisipasi rumah tangga dalam memilah sampah.

Untuk membangun sistem yang berkelanjutan, Pemerintah Provinsi NTB tengah mendorong pendekatan berbasis insentif dan tanggung jawab. Tapi jika pendekatan persuasif ini tidak cukup, maka regulasi dan penegakan hukum harus diberlakukan.

Misalnya, hotel atau usaha komersial yang tidak mematuhi aturan pengelolaan sampah bisa dikenai sanksi administratif, bahkan pencabutan izin.

Salah satu instrumen yang kini dimaksimalkan adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). Dalam sistem ini, pengelolaan sampah memiliki bobot tinggi, mencapai 50 persen dalam evaluasi ekolabel.

Artinya, perusahaan yang lalai bisa langsung masuk kategori hitam. Sebaliknya, mereka yang patuh bisa mendapat insentif reputasi dengan peringkat biru atau hijau. Ini adalah cara untuk memberi tekanan sekaligus penghargaan.

Data menunjukkan bahwa sebagian besar sampah yang dihasilkan Kota Mataram bersifat organik. Sayangnya, jenis ini justru paling banyak terbuang sia-sia. Jika dikelola dengan benar, limbah makanan bisa diolah menjadi pakan fermentasi atau pakan maggot bernilai ekonomis.

Di Kebon Talo, Kota Mataram, misalnya, Maggot Center telah berdiri dengan kapasitas 1–2 ton per hari. Namun tantangan serupa masih mengemuka, yakni sampah yang datang belum dipilah.

Untuk itu, solusi tak perlu hanya datang dari atas. Pemerintah kelurahan juga perlu dilibatkan sebagai garda terdepan. Dalam berbagai forum, dorongan untuk mengalokasikan dana desa atau kelurahan bagi pengelolaan sampah di tingkat masyarakat makin menguat.

Dana kelurahan bisa digunakan untuk membuat tempat pemilahan sampah tingkat lingkungan, edukasi warga hingga pengadaan komposter atau unit BSF skala kecil.

Langkah tersebut bisa dikunci melalui regulasi. Misalnya, Peraturan desa (Perdes). Dengan melibatkan dinas terkait, kelurahan dapat menyusun rencana anggaran biaya (RAB) untuk sektor persampahan dan menjadikannya bagian dari pembangunan.

Jika model itu berjalan, maka kelurahan tak lagi sekadar penerima dampak, tetapi jadi motor penggerak ekonomi sirkular berbasis komunitas. Sampah bukan sekadar beban, tetapi peluang baru untuk pemberdayaan ekonomi lokal.

Industri Pengolahan Sampah Berkelanjutan

Di sebuah sudut tenang di Lingkungan Selaparang, Ampenan, berdiri Bank Sampah NTB Mandiri, sebuah inisiatif akar rumput yang telah mengubah wajah pengelolaan sampah di NTB sejak 2011.

Dipimpin oleh Siti Aisyah, lembaga ini bukan hanya mengajak warga memilah sampah, tapi juga menjadikannya sumber ekonomi dan kreativitas.

Aisyah dan timnya telah menyulap sampah plastik menjadi tas, taplak meja, gantungan kunci, hingga keranjang. Produknya bahkan sudah menembus pasar mancanegara. Dari hanya dua orang di awal berdiri, kini Bank Sampah NTB Mandiri menyerap 21 tenaga kerja.

Namun, Aisyah menilai, meski ada kemajuan, pengelolaan sampah di Kota Mataram masih belum sistemik.

“Pemerintah kampanye pilah sampah dari rumah, tapi di lapangan fasilitas tidak mendukung. Pengangkutan masih mencampur semua jenis sampah,” ujarnya.

Hal ini menimbulkan kebingungan dan kekecewaan. Sudah dipilah, tapi akhirnya dicampur. Lama-lama orang malas. Ia menyarankan, pemisahan harus terjadi sejak hulu hingga hilir, mulai dari rumah, ke pengangkutan hingga ke tempat pengolahan.

Ia menyarankan agar Pemerintah Kota Mataram menyediakan kendaraan sampah khusus berdasarkan jenis, jadwal pengangkutan yang disesuaikan dan penanda warna. Misalnya, kendaraan pengangkut warna hijau untuk sampah organik dan warna kuning untuk sampah anorganik.

Pemilahan yang konsisten bisa menurunkan beban TPA dan menghidupkan ekonomi lokal. Sampah organik bisa jadi kompos atau media maggot, sementara sampah anorganik yang bersih bisa didaur ulang menjadi kerajinan atau material bangunan.

Namun satu tantangan besar adalah siapa yang membeli hasil daur ulang? “Kami diminta berinovasi, tapi siapa yang beli? Pemerintah belum menjadi off-taker,” kata Aisyah.

Ia berharap pemerintah mendukung dengan membeli produk komunitas, misalnya sebagai suvenir rapat atau pupuk untuk taman kota.

Komunitas bank sampah sering kesulitan memasarkan produk karena minimnya dukungan pasar. Mereka jungkir balik mencari pembeli, sementara produk terus menumpuk.

“Kalau pemerintah jadi pembeli, masyarakat jadi semangat. Ada nilai ekonomi, bukan cuma kerja sosial,” jelasnya.

Bank Sampah NTB Mandiri sendiri telah bertransformasi. Sejak 2020, mereka berhenti menerima tabungan sampah dan berfokus pada edukasi dan pelatihan.

“Kami ingin ubah pola pikir, bukan sekadar kumpul sampah. Karena kalau mindset tak berubah, lingkungan tak akan bersih,” ucap Aisyah.

Bank Sampah Mandiri NTB membuka kelas pelatihan enam hari sepekan, membekali peserta dengan keterampilan mengolah sampah menjadi produk bernilai. Sebuah galeri juga dibangun sebagai ruang inspirasi dan pemasaran.

Pasar luar negeri, seperti Eropa dan Australia, menunjukkan antusiasme tinggi terhadap produk upcycle. “Turis bule paham ini soal gaya hidup. Mereka beli bukan karena barangnya, tapi karena maknanya,” tutur Aisyah.

Namun bagi perempuan yang akrab disapa Aisyah Odist ini, kesuksesan tak diukur dari seberapa banyak barang terjual, melainkan seberapa banyak pelaku yang tumbuh.

“Semakin banyak yang ikut bergerak, semakin ringan beban saya. Dulu bicara soal sampah sendiri, sekarang sudah banyak teman seperjuangan,” ucapnya.

Dengan pendekatan yang menyentuh edukasi, membangun pasar, dan mendorong sistem yang mendukung dari hulu ke hilir, Bank Sampah NTB Mandiri telah menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal bersih, tapi juga soal peluang, kolaborasi dan harapan. [Awaludin]

Liputan ini didukung Ekuatorial.com pada program Jurnalisme Konstruktif dalam Geojournalism di Indonesia. Terbit pertama kali pada BeritaNTB

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses