Mandeknya pengesahan RUU Masyarakat Adat memperparah ketimpangan, kekerasan, dan peminggiran yang dialami perempuan adat di berbagai wilayah Indonesia.

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan oleh pemerintah bukan hanya memperlambat pengakuan hak-hak kolektif masyarakat adat, tetapi juga memperparah situasi kerentanan yang dihadapi oleh perempuan adat di berbagai wilayah Indonesia.
Ketimpangan gender, eksploitasi sumber daya alam, serta diskriminasi sistemik membuat perempuan adat terjebak dalam lingkaran kekerasan, kemiskinan, dan pengucilan dari pengambilan keputusan.
Isu ini mengemuka dalam talkshow bertajuk “Perempuan Adat, Diskriminasi, dan Praktik Baik” yang digelar oleh KEMITRAAN bersama Koalisi RUU Masyarakat Adat, Rabu, 12 Februari 2025 di Cikini, Jakarta Pusat. Talkshow ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang, termasuk peneliti, aktivis, hingga perempuan adat dari daerah.
Data baseline Estungkara yang dihimpun KEMITRAAN pada 2022–2023 di 40 desa dari 13 kabupaten memperlihatkan gambaran kelam: mayoritas perempuan adat hanya menempuh pendidikan dasar dan berpenghasilan di bawah satu juta rupiah per bulan. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap kekerasan berbasis gender, pelecehan seksual, hingga eksploitasi ekonomi.
Diskusi ini menyoroti bahwa ketimpangan ini bukan hanya terjadi karena faktor budaya patriarki dalam komunitas adat, tetapi juga karena negara belum mengakui dan melindungi hak-hak mereka melalui regulasi.
“Ketika perempuan adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, kepentingan dan kesejahteraan mereka sering terabaikan, baik dalam kebijakan lokal maupun dalam kebijakan negara,” ujar Agetha Lestari dari Kaoem Telapak.
Ketiadaan landasan hukum yang kuat seperti RUU Masyarakat Adat membuat perempuan adat semakin tidak terlindungi secara struktural, terutama dalam menghadapi ekspansi industri yang merampas tanah adat dan merusak lingkungan.
Peran penting, ruang terbatas
Sabila, perempuan adat dari Desa Kaluppini, Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa peran perempuan dalam komunitasnya sangat vital, mulai dari menjaga ketahanan pangan hingga mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Namun, mereka tidak pernah diikutsertakan dalam struktur kepemimpinan adat.
“Perempuan dituntut untuk berperan banyak, tapi tidak diberi ruang bicara dalam keputusan penting,” katanya.
Realitas ini juga terjadi di wilayah lain. Di Halmahera Selatan, eksploitasi besar-besaran telah mengakibatkan degradasi lingkungan, pencemaran sungai, dan sulitnya akses terhadap air bersih. Perempuan adat yang dulunya mandiri secara ekonomi, kini hanya menjadi buruh murah akibat konversi lahan adat menjadi perkebunan sawit.
“Sebelum perusahaan masuk, masyarakat bisa mendapatkan hasil panen senilai 80 juta per musim. Sekarang, mereka hanya menjadi buruh tani yang dibayar 2.500 Rupiah untuk sekali membersihkan gulma sawit,” ujar Agetha.
Kekerasan yang dibungkus tradisi
Kekerasan terhadap perempuan adat juga sering dibungkus oleh pembenaran budaya. Dian Purnomo, penulis dan peneliti, mengangkat kasus “kawin tangkap” di Sumba yang berubah menjadi praktik kekerasan. Tradisi ini berawal dari prosesi lamaran, tapi sekarang jadi paksaan. Tradisi ini dinilai sebagai bentuk kekerasan yang dilegitimasi adat.
“Tradisi ini berubah menjadi bentuk kekerasan yang dibalut adat, hasilnya, perempuan mengalami penderitaan dan trauma karena kawin secara terpaksa,” kata Dian.
Perempuan adat yang berani bersuara pun kerap dihadapkan pada risiko kriminalisasi. Contohnya adalah Mama Yani, yang menghadapi intimidasi karena melawan perampasan tanah oleh perusahaan. Ia harus merawat suaminya yang sakit sambil bekerja keras menjual nasi bungkus dan memperjuangkan hak-hak komunitasnya.
Dalam diskusi ini, KEMITRAAN menegaskan bahwa keputusan-keputusan besar soal lingkungan dan sumber daya alam masih didominasi oleh elite laki-laki, sementara perempuan adat yang memiliki pengetahuan lokal penting justru dikesampingkan. Padahal, mereka punya cara hidup yang selaras dengan alam. Tapi suara mereka diabaikan dalam perumusan kebijakan.
Talkshow ini menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis:
- Mendorong keterlibatan perempuan adat dalam kepemimpinan adat dan kebijakan publik.
- Menjamin perlindungan terhadap perempuan adat dari kekerasan berbasis gender.
- Memperluas akses pendidikan agar perempuan adat dapat aktif dalam pembangunan komunitas.
- Mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai landasan hukum pengakuan dan perlindungan.