45 tahun WALHI bukanlah garis finis. Selama kerakusan masih menjadi panglima pembangunan, perjuangan untuk keadilan ekologis terus berlanjut.
Di tengah deru krisis ekologis yang kian mencekik, tahun 2025 menandai sebuah momen perenungan mendalam bagi Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah menapaki usianya yang ke-45. Bagi kami di Ekuatorial.com, ini bukanlah sekadar perayaan ulang tahun sebuah organisasi. Ini adalah kesempatan untuk melihat kembali cermin besar dari setengah abad perjalanan bangsa dalam menjaga—dan seringkali mengkhianati—amanat untuk merawat alamnya.
Sejak kelahirannya pada 15 Oktober 1980, WALHI telah memilih jalan sunyi: menjadi “Rumah Gerakan Bersama”. Sebuah rumah bagi suara-suara yang dibungkam oleh deru mesin industri dan jargon pertumbuhan ekonomi. Suara petani, nelayan, masyarakat adat, dan generasi muda yang hanya menuntut satu hal paling mendasar: keadilan ekologis. Sebuah hak untuk menghirup udara bersih, meminum air yang sehat, dan hidup di atas tanah yang subur, yang hari ini terasa semakin mewah.
Kelahiran WALHI bukanlah kebetulan, melainkan sebuah keniscayaan sejarah. Ia berawal dari sebuah keresahan di Lantai Tiga Belas Balai Kota DKI Jakarta. Saat itu, Menteri Lingkungan Hidup pertama Indonesia, Emil Salim, memiliki mimpi besar. “Saya pengen bola salju lingkungan hidup bisa cepat membesar,” ujarnya. Beliau sadar bahwa negara tidak bisa sendirian. Isu lingkungan yang saat itu masih asing harus menjadi sebuah gerakan sosial yang masif.
Atas gagasannya, dan difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Tjokropranolo, sebuah pertemuan akbar yang dihadiri ratusan organisasi dari berbagai latar belakang—mulai dari pecinta alam, lembaga bantuan hukum, hingga organisasi keagamaan—digelar. Dari forum inilah, sebuah wahana bersama lahir sebagai jembatan antara aspirasi masyarakat dengan kebijakan negara, sekaligus sebagai kekuatan penyeimbang yang kritis.
Perjalanan WALHI sejak saat itu adalah potret evolusi kesadaran lingkungan di negeri ini. Dimulai dari upaya membuka mata publik di era Orde Baru yang represif, berlanjut dengan perjuangan menuntut demokrasi pengelolaan sumber daya alam pasca-Reformasi, hingga kini berada di garis depan perlawanan semesta melawan krisis iklim global. Tantangannya telah berubah, namun intinya tak pernah bergeser: keberpihakan mutlak pada kelompok rentan yang menjadi benteng terakhir pertahanan ekosistem kita.
Kini, di usianya yang matang, WALHI menajamkan perlawanannya pada apa yang kami pandang sebagai dosa-dosa pembangunan modern. Kita disuguhkan narasi indah tentang “solusi hijau” dan “transisi energi“, namun WALHI dengan lantang mengingatkan kita akan adanya jebakan solusi palsu. Skema seperti perdagangan karbon, yang pada dasarnya memberikan izin bagi industri pencemar untuk “membeli” hak mengotori, adalah sebuah jalan sesat. Alih-alih menyembuhkan, ia justru melanggengkan penyakit utama: kecanduan kita pada eksploitasi alam yang tak terkendali, yang seringkali mengorbankan hutan adat dan ruang hidup masyarakat lokal.
Jawaban atas kebuntuan ini, menurut WALHI—dan kami sepakat—justru datang dari bawah, dari akar rumput. Konsep “Wilayah Kelola Rakyat” yang mereka perjuangkan adalah antitesis dari proyek-proyek raksasa gagal seperti Food Estate. Ia adalah bukti nyata bahwa kedaulatan pangan dan energi sejati lahir dari tangan-tangan komunitas yang terbukti lebih tangguh dan arif dalam menjaga alamnya. Perjuangan ini meluas dari menolak alih fungsi hutan di darat hingga melawan perampasan ruang laut (ocean grabbing) dari nelayan kecil yang berkedok konservasi.
Namun, perjuangan ini memakan korban. Ratusan pembela lingkungan hidup telah dan terus menghadapi intimidasi hingga kriminalisasi karena keberanian mereka. Di sinilah peran WALHI sebagai benteng hukum menjadi krusial. Advokasi tanpa henti dan penggunaan tameng hukum Anti-SLAPP adalah napas yang menjaga api perlawanan rakyat agar tidak padam oleh teror hukum.
Maka, momentum terpilihnya kepemimpinan baru WALHI di Sumba baru-baru ini bukanlah sekadar suksesi internal. Ia adalah sebuah mandat simbolis dari sebuah pulau yang merepresentasikan ironi Indonesia: kaya secara ekologis, namun teramat rentan. Harapan kita bersama kini tertumpu pada pundak mereka untuk kembali ke akar rumput, melahirkan narasi tanding yang menggugah, dan menjadi benteng yang lebih kokoh bagi para pejuang.
Empat puluh lima tahun bukanlah garis finis. Selama kerakusan masih menjadi panglima pembangunan, perjuangan untuk keadilan ekologis akan terus berlanjut. Perjuangan WALHI adalah perjuangan kita semua untuk memastikan bahwa Indonesia di masa depan adalah negeri yang adil dan lestari, di mana setiap anak bangsa berdaulat penuh atas sumber-sumber kehidupannya. Api itu harus terus menyala.
- 45 tahun perjuangan WALHI, denyut nadi keadilan untuk bumi pertiwi
- Kemitraan global menjawab konflik gajah dan manusia di Sumatera Selatan
- Perempuan Papua berperan menjaga tanah dan hutan adat
- Peran VinFast dalam misi kurangi emisi transportasi Indonesia
- Inovasi Padpals: solusi mahasiswa Unpad dalam menghadapi limbah pembalut
- Jurnalisme berdampak, panggilan bagi media lokal di garis depan krisis iklim