Apakah VinFast dengan strategi ekosistemnya yang berani akan menjadi kekuatan yang akhirnya membantu mengubah langit kelabu itu menjadi biru?
Pagi di Jakarta sering kali datang bukan dengan cahaya keemasan, melainkan dengan selubung kelabu yang membosankan. Kabut asap yang tebal dan menyesakkan menyamarkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, mengubah cakrawala menjadi siluet buram.
Di jalanan, aroma tajam dari knalpot yang tak terhitung jumlahnya memenuhi udara, memaksa para komuter untuk mengenakan masker bukan lagi karena pandemi, tetapi sebagai pertahanan harian terhadap musuh yang tak terlihat. Ini adalah realitas sehari-hari bagi jutaan penduduk, sebuah krisis kesehatan masyarakat yang terjadi dalam gerakan lambat.
Pemandangan ini bukan sekadar kesan anekdotal; ia didukung oleh data yang suram. Pada hari-hari tertentu, kualitas udara Jakarta secara rutin menempatkannya di antara kota-kota paling tercemar di dunia. Pada 20 Juni 2025, misalnya, ibu kota Indonesia ini menduduki peringkat kesembilan terburuk secara global, dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) mencapai 124, sebuah level yang diklasifikasikan sebagai “tidak sehat bagi kelompok sensitif”.
Masalah ini tidak terbatas pada Jakarta. Kota-kota besar lainnya seperti Bandung dan Palembang juga secara teratur mencatat tingkat AQI dalam kategori “tidak sehat”, menandakan bahwa polusi udara telah menjadi wabah nasional.
Saat para pembuat kebijakan bergulat dengan krisis ini, sumber utama polusi perkotaan menjadi semakin jelas. Kementerian Lingkungan Hidup telah secara konsisten mengidentifikasi sektor transportasi sebagai salah satu kontributor utama. Pada tahun 2022, Jakarta sendiri menjadi rumah bagi 24,5 juta kendaraan bermotor terdaftar. Dari jumlah tersebut, 78% yang mengejutkan adalah sepeda motor, dengan armada keseluruhan bertambah lebih dari satu juta unit setiap tahunnya.
Setiap hari, jutaan mesin pembakaran internal ini melepaskan campuran racun ke atmosfer, termasuk Karbon Monoksida, Oksida Nitrogen, dan yang paling berbahaya dari semuanya, Partikulat Halus—partikel mikroskopis yang dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan aliran darah.
Analisis yang lebih dalam terhadap data emisi mengungkapkan gambaran yang lebih bernuansa dan mengkhawatirkan. Masalahnya bukan hanya volume kendaraan semata, tetapi juga jenisnya. Sebuah studi penting yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menyoroti dampak yang tidak proporsional dari kendaraan komersial. Ditemukan bahwa bus dan truk, yang hanya merupakan 15% dari total populasi kendaraan, bertanggung jawab atas 43% hingga 85% emisi . Sementara itu, kendaraan pribadi berbahan bakar bensin, meskipun jumlahnya jauh lebih banyak, menyumbang antara 15% hingga 57% dari total emisi partikulat halus.
Fakta ini menunjukkan bahwa krisis polusi udara adalah masalah sistemik, yang berakar pada ketergantungan pada mesin diesel yang lebih tua dan standar bahan bakar yang kurang ketat, terutama diperburuk selama musim kemarau ketika tidak ada hujan untuk membersihkan atmosfer.
Mandat untuk elektrifikasi
Menghadapi krisis lingkungan dan kesehatan masyarakat yang semakin meningkat ini, pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan perubahan kebijakan yang fundamental. Elektrifikasi transportasi tidak lagi dipandang sebagai sebuah kemewahan atau pilihan gaya hidup, tetapi sebagai sebuah keharusan strategis.
Urgensi ini diringkas dengan tegas oleh Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq. Dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita ANTARA, ia menyatakan bahwa “transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik merupakan solusi paling efektif dalam pengendalian pencemaran udara,” katanya.
Pernyataan ini lebih dari sekadar retorika; ini adalah sinyal yang jelas bagi pasar. Dengan secara terbuka mendukung kendaraan listrik (EV) sebagai solusi utama, pemerintah telah secara efektif menggelar karpet merah bagi perusahaan yang dapat menyediakan alternatif yang layak, terjangkau, dan berskala besar. Namun, dukungan ini datang dengan sebuah peringatan penting. Pemerintah juga menggunakan kebijakan sebagai “tongkat”, bukan hanya “wortel”.
Kementerian Perindustrian telah mengumumkan batas waktu yang tegas: 31 Desember 2025, akan menjadi hari terakhir insentif impor—termasuk pembebasan bea masuk dan pajak barang mewah—diberikan untuk kendaraan listrik yang diimpor secara utuh (Completely Built Up, CBU). Kebijakan ganda ini menciptakan lingkungan yang berisiko tinggi dan sensitif terhadap waktu. Ini secara bersamaan membuka pintu bagi investasi EV sambil menuntut komitmen yang mendalam dan berjangka panjang terhadap manufaktur lokal.
Setiap pemain asing yang serius ingin memasuki pasar Indonesia sekarang harus membuat pilihan: berinvestasi besar-besaran dalam produksi dalam negeri atau berisiko tersingkir dari pasar setelah tahun 2025. Dalam lanskap yang penuh tantangan inilah, sebuah perusahaan otomotif dari Vietnam melihat peluangnya.
Menanam akar di Subang untuk ekosistem hijau
Di tengah seruan mendesak Indonesia untuk udara bersih, muncullah VinFast, produsen otomotif yang didukung oleh konglomerat terbesar Vietnam, Vingroup. Memasuki pasar Indonesia, VinFast tidak datang hanya sebagai penjual mobil; ia datang sebagai arsitek ekosistem. Strateginya bukan sekadar bersaing, melainkan untuk mendefinisikan kembali aturan main dengan secara sistematis membongkar tiga hambatan utama yang telah lama menghambat adopsi EV massal: harga yang selangit, kecemasan akan jangkauan (range anxiety), dan kurangnya kepercayaan konsumen. Ini adalah manuver yang berani, didukung oleh investasi besar dan pendekatan holistik yang dirancang untuk menaklukkan pasar dari hulu ke hilir.
Manifestasi paling nyata dari komitmen VinFast adalah pembangunan pabrik perakitan yang luas di Subang, Jawa Barat. CEO VinFast Indonesia, Kariyanto Hardjosoemarto mengungkapkan, ini bukan sekadar fasilitas sekunder. “Ini adalah inti dari strategi jangka panjang perusahaan di Indonesia dan kawasan sekitarnya, katanya.
Dijadwalkan untuk mulai beroperasi pada akhir tahun 2025—waktu yang secara strategis bertepatan dengan berakhirnya insentif impor CBU—fasilitas ini dirancang untuk memiliki kapasitas produksi awal 50.000 unit per tahun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan sekitar 1.000 pekerjaan langsung, dengan efek ganda yang signifikan di seluruh jaringan pemasok lokal. Dengan membangun di Indonesia, VinFast tidak hanya mematuhi tekanan kebijakan pemerintah untuk lokalisasi; ia juga secara proaktif membangun fondasi untuk menjadi basis produksi kendaraan setir kanan, yang berpotensi melayani pasar ekspor di seluruh Asia Tenggara dan sekitarnya.
VinFast memahami bahwa mobil listrik terbaik pun tidak akan berguna jika pengemudinya terus-menerus khawatir tentang di mana harus mengisi daya. Untuk mengatasi “kecemasan jangkauan”—ketakutan terbesar konsumen terkait EV—perusahaan mengerahkan V-Green, perusahaan saudaranya yang berdedikasi untuk pengembangan infrastruktur pengisian daya.
Skala ambisi V-Green di Indonesia sangatlah besar. Pada Mei 2025, perusahaan mengumumkan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan empat mitra strategis—Chargecore, Chargepoint, Amarta Group, dan CVS. Bersama-sama, mereka berkomitmen untuk menginvestasikan total $300 juta untuk menyebarkan sekitar 63.000 titik pengisian daya (charging ports) di seluruh negeri pada akhir tahun 2025.
Peluncuran awal akan memprioritaskan wilayah-wilayah dengan kepadatan populasi dan lalu lintas tertinggi, seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Bali, sebelum diperluas ke provinsi-provinsi lain. Ini bukan sekadar membangun beberapa stasiun pengisian daya; ini adalah upaya untuk menciptakan jaring pengaman infrastruktur yang komprehensif dan eksklusif untuk kendaraan VinFast, yang dirancang untuk membuat kepemilikan EV menjadi nyaman dan bebas dari rasa khawatir.

Taksi hijau dan ambisi tenaga surya
Strategi besar VinFast tidak hanya ada di atas kertas. Di jalanan kota-kota di Indonesia dan dalam ruang rapat perusahaan, cetak biru ekosistem ini sudah mulai diwujudkan. Dengan meluncurkan layanan taksi serba listrik dan menjajaki investasi energi terbarukan, VinFast memberikan bukti nyata dari visinya, mengubah rencana ambisius menjadi operasi yang nyata dan berdampak.
Salah satu langkah paling cerdas dan terlihat dalam strategi pasar VinFast adalah peluncuran Green SM, layanan taksi serba listriknya. Armada mobil berwarna cyan yang khas ini pertama kali mengaspal di Indonesia pada akhir tahun 2024, awalnya melayani Jakarta sebelum berekspansi ke kota satelit yang sibuk. Dengan target ambisius untuk mengoperasikan hingga 10.000 kendaraan pada tahun 2025, Green SM dengan cepat menjadi pemandangan umum di lanskap perkotaan.
Namun, Green SM lebih dari sekadar perusahaan taksi; ia adalah senjata strategis multi-fungsi. Pertama, ia menjamin “penjualan” awal yang besar dan langsung dari pabrik VinFast ke perusahaan saudaranya, secara artifisial meningkatkan angka penjualan awal dan memastikan utilisasi pabrik. Kedua, ia berfungsi sebagai program pemasaran dan uji coba publik terbesar yang bisa dibayangkan. Setiap perjalanan dengan taksi Green SM secara efektif adalah sebuah test drive, yang memungkinkan ribuan orang Indonesia untuk merasakan kendaraan VinFast secara langsung, mengatasi keraguan, dan membangun keakraban dengan merek yang sebelumnya tidak dikenal.
Ketiga, armada yang beroperasi dengan jarak tempuh tinggi ini berfungsi sebagai laboratorium dunia nyata. Ia memberikan data yang tak ternilai tentang kinerja kendaraan, daya tahan baterai, dan efisiensi jaringan pengisian daya V-Green dalam kondisi lalu lintas Jakarta yang menantang. Dengan cara ini, Green SM bukan hanya bisnis sampingan, tetapi alat yang terintegrasi secara vertikal untuk mengurangi risiko dan mempercepat tujuan utama: adopsi massal mobil VinFast oleh konsumen ritel.
Komitmen VinFast terhadap ekosistem hijau melampaui kendaraannya. Perusahaan ini secara proaktif mengatasi salah satu kritik paling umum terhadap EV di negara-negara yang bergantung pada batu bara seperti Indonesia: argumen “knalpot panjang” (long tailpipe), yang menyatakan bahwa EV hanya memindahkan emisi dari mobil ke pembangkit listrik.
Untuk melawan narasi ini, perusahaan induk VinFast, Vingroup, telah mengambil langkah-langkah untuk berinvestasi pada sumber energi yang menggerakkan kendaraannya. Vingroup telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Sulsel Andalan Energi, sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Sulawesi Selatan. Kemitraan ini, yang disaksikan langsung oleh gubernur provinsi, bertujuan untuk menjajaki pengembangan proyek-proyek energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Langkah ini adalah sebuah manuver strategis yang canggih. Dengan berinvestasi di hulu rantai nilai energi, Vingroup sedang membangun fondasi untuk pada akhirnya dapat mengklaim bahwa ekosistemnya benar-benar berkelanjutan, dari “sumur ke roda” (well-to-wheel). Ini adalah langkah antisipatif yang tidak hanya memperkuat kredensial lingkungan merek tersebut tetapi juga melindunginya dari kritik di masa depan. Ini menunjukkan bahwa VinFast tidak hanya memikirkan pasar saat ini, tetapi juga pertempuran narasi dan lingkungan di masa depan, yang bertujuan untuk membangun klaim yang tak terbantahkan atas kepemimpinan dalam mobilitas yang benar-benar bersih.
Kisah ini kembali ke titik awalnya: langit di atas Jakarta. Jutaan orang menatap ke atas setiap hari, berharap akan adanya perubahan. Apakah naga yang ambisius dari Hanoi, dengan strategi ekosistemnya yang berani dan taruhan yang sangat besar, akan menjadi kekuatan yang akhirnya membantu mengubah langit kelabu itu menjadi biru? Hanya waktu, dan jalanan di Indonesia, yang akan memberikan jawabannya.
- 45 tahun perjuangan WALHI, denyut nadi keadilan untuk bumi pertiwi
- Kemitraan global menjawab konflik gajah dan manusia di Sumatera Selatan
- Perempuan Papua berperan menjaga tanah dan hutan adat
- Peran VinFast dalam misi kurangi emisi transportasi Indonesia
- Inovasi Padpals: solusi mahasiswa Unpad dalam menghadapi limbah pembalut
- Jurnalisme berdampak, panggilan bagi media lokal di garis depan krisis iklim