Swasembada energi dari hulu ke hilir: energi bersih dari sumber daya domestik, digunakan untuk transportasi tanpa emisi.

Di atas permukaan Waduk Cirata yang tenang, ribuan panel surya berkilauan di bawah terik matahari, mengubah cahaya menjadi arus listrik. Di tempat lain, di lembah-lembah sungai yang deras, turbin raksasa berputar oleh kekuatan air. Dan jauh di bawah permukaan tanah vulkanik Priangan, di Kamojang, uap panas dari jantung bumi memutar turbin dengan dengungan yang konstan.

Dari mozaik sumber energi bersih inilah—surya, air, dan panas bumi—sebuah elektron memulai perjalanannya. Ia melesat melalui jaringan transmisi tegangan tinggi, melintasi pilar-pilar baja yang menjulang di atas sawah dan perkampungan. Tujuannya adalah labirin beton dan aspal Jakarta.

Di sebuah sudut jalan yang riuh oleh deru knalpot, elektron itu tiba di tujuannya: sebuah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) berwarna biru-putih. Dengan senyap, ia mengalir melalui kabel pengisi daya, memasuki baterai sebuah mobil listrik yang terparkir. Beberapa saat kemudian, mobil itu meluncur tanpa suara ke tengah lalu lintas, sebuah anomali sunyi di tengah hiruk pikuk kota. Ia tidak meninggalkan jejak emisi.

Perjalanan elektron ini adalah manifestasi fisik dari sebuah cetak biru ambisius yang dirancang oleh PT PLN (Persero). Ini adalah narasi tentang swasembada energi dari hulu ke hilir: energi bersih yang dipanen dari sumber daya domestik, disalurkan melalui infrastruktur modern, dan digunakan untuk menggerakkan transportasi tanpa emisi. Sebuah visi besar yang menurut Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, adalah mandat langsung untuk masa depan bangsa.

“PLN siap menjadi pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik ini. PLN telah melakukan berbagai inovasi dan pengembangan produk untuk menunjang ekosistem kendaraan listrik mulai dari hulu ke hilir,” ujar Darmawan Prasodjo.

Namun, di balik narasi yang rapi ini, terbentang serangkaian pertanyaan fundamental. Apakah ini sebuah revolusi hijau yang sesungguhnya, atau sekadar ilusi di tengah ketergantungan grid yang masih besar pada batu bara? Mampukah sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip “Energi Berkeadilan” benar-benar merata, ataukah manfaatnya hanya akan dinikmati segelintir masyarakat di perkotaan?

Di jantung strategi transisi energi PLN terletak pilihan strategis untuk membangun fondasi dari beragam sumber Energi Baru Terbarukan (EBT). Tidak hanya mengandalkan panas bumi sebagai sumber energi baseload yang stabil 24 jam, PLN juga secara agresif mengembangkan potensi tenaga surya dan air yang melimpah di nusantara.

PLN, melalui sub-holdingnya, PT PLN Indonesia Power, kini mengelola pembangkit EBT dengan total kapasitas lebih dari 2.300 Megawatt (MW). Portofolio ini mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) historis seperti Kamojang, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang memanfaatkan kekuatan sungai, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung inovatif seperti yang ada di Tambak Lorok dan Waduk Karangkates.

Bagi PLN Indonesia Power, ini bukan sekadar membangun pembangkit, melainkan membangun fondasi untuk kemajuan bangsa.

“PLN Indonesia Power tidak hanya membangun pembangkit, kami membangun masa depan. Energi yang kami hasilkan hari ini adalah fondasi bagi kemajuan Indonesia esok hari, di usia kemerdekaan yang ke-80 ini, kami mengambil peran lebih besar: memastikan energi menjadi enabler utama bagi Indonesia menjadi negara maju,” ujar Direktur Utama PLN Indonesia Power, Benardus Sudarmanta.

Komitmen ini diwujudkan melalui berbagai inisiatif konkret, mulai dari cofiring biomassa di PLTU, pengembangan masif PLTS dan PLTA, hingga membangun industri panel surya dari hulu ke hilir untuk memastikan kemandirian teknologi. Energi bersih yang dihasilkan dari mozaik pembangkit inilah yang secara teoretis akan menyediakan pasokan listrik hijau untuk mengisi daya jutaan kendaraan listrik di masa depan, menciptakan siklus energi yang benar-benar bebas emisi dari sumber hingga penggunaan akhir.

Membangun arteri mobilitas listrik
Jika energi terbarukan adalah jantungnya, maka jaringan SPKLU adalah sistem arterinya. Pembangunan infrastruktur hilir ini menjadi penentu utama keberhasilan adopsi kendaraan listrik secara massal. Skala ambisinya sangat besar: dari 1.370 unit di awal 2024, ditargetkan menjadi 31.859 unit pada tahun 2030 untuk melayani proyeksi 2,19 juta mobil listrik.

Di balik angka-angka tersebut, terdapat realitas yang dihadapi para pengguna. Bagi mereka, transisi ini adalah pengalaman dua sisi. Di satu sisi, ada antusiasme yang tumbuh dari komunitas-komunitas pengguna. Hadi Tho, Ketua Umum komunitas AIONERS.ID, menyebut faktor keramahan lingkungan, hemat biaya, dan teknologi canggih sebagai alasan utama peralihan. Komunitas menjadi ruang vital untuk saling belajar di tengah ekosistem yang masih baru.

“Mobil listrik itu ekosistemnya masih baru, dan kami ingin belajar bersama. Lewat AIONERS.ID, kita bisa saling bantu memahami teknologi EV, saling berbagi tips, dan tentunya bertemu teman-teman baru yang satu frekuensi,” ujar Hadi Tho.

Namun di sisi lain, pengalaman di lapangan sering kali jauh dari mulus. Keluhan utama adalah infrastruktur pengisi daya yang lambat dan distribusinya yang sangat tidak merata. Data per Maret 2025 menunjukkan gambaran kesenjangan yang tajam: dari total SPKLU nasional, 2.448 unit berada di Jawa, sementara seluruh Pulau Sumatra hanya memiliki 431 unit, Kalimantan 215 unit, dan Sulawesi 145 unit. Kesenjangan ini secara efektif membatasi penggunaan praktis kendaraan listrik hanya di pusat-pusat kota besar di Jawa, menimbulkan pertanyaan serius tentang prinsip “Energi Berkeadilan” yang digaungkan.

Terlepas dari tantangannya, strategi ini secara langsung menjawab salah satu masalah paling mendesak di kota-kota besar Indonesia: polusi udara. Sektor transportasi adalah kontributor utama emisi polutan di wilayah seperti Jabodetabek. Inilah mengapa Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi pendukung vokal.

KLH terus mendorong penggunaan kendaraan listrik secara masif sebagai langkah strategis demi menekan tingkat polusi udara, terutama di wilayah perkotaan seperti DKI Jakarta. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik merupakan solusi paling efektif dalam pengendalian pencemaran udara.

“Transformasi fundamental dapat dijalankan melalui elektrifikasi alat transportasi masyarakat, sehingga mampu menekan emisi gas buang, khususnya di Jakarta,” ujar Hanif.

Ia menyebutkan KLH mencatat sekitar 35% polusi udara di Jakarta bersumber dari emisi kendaraan bermotor konvensional. Hanif juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mengurangi polusi.

Namun, di sinilah kritik paling fundamental muncul. Para pengamat menyoroti paradoks besar dalam narasi hijau PLN. “Agar kendaraan listrik dapat menjadi solusi dekarbonisasi yang efektif, ia harus didukung oleh sistem kelistrikan yang juga rendah karbon,” demikian penekanan dari lembaga pemikir Institute for Essential Services Reform (IESR). 

Kenyataannya, jaringan listrik nasional masih sangat bergantung pada batu bara. RUPTL PLN 2021-2030 sendiri mengakui bahwa PLTU akan tetap mendominasi pasokan energi hingga beberapa tahun ke depan. Ini menciptakan paradoks: emisi karbon tidak dihilangkan, melainkan hanya dipindahkan dari knalpot mobil di kota ke cerobong asap PLTU di pesisir.

Prinsip “Energi Berkeadilan” juga diuji. Dengan harga kendaraan yang masih tinggi dan infrastruktur yang terpusat di Jawa, manfaat transisi saat ini dinikmati secara tidak proporsional oleh kelompok masyarakat yang sudah mapan. 

Analisis dari IESR juga menyoroti potensi ketidaksesuaian infrastruktur. Jika mengikuti peta jalan yang ada, rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU di Indonesia bisa mencapai 70 banding 1, jauh dari rasio ideal seperti di Tiongkok yang sekitar 6,5 banding 1. Angka ini, menurut IESR, berpotensi menciptakan kemacetan pengisian daya yang parah dan menghambat minat masyarakat.

PLN, dengan dukungan pemerintah, sedang berupaya membangun sebuah ekosistem energi bersih yang terintegrasi secara vertikal, mulai dari kilau panel surya, deras aliran air, dan panas dari kedalaman bumi hingga roda kendaraan listrik yang melaju di jalanan kota. Visi ini, jika terwujud, berpotensi mengubah lanskap energi dan transportasi Indonesia secara fundamental.

Namun, perjalanan ini penuh dengan kontradiksi. Ada narasi kuat tentang rantai energi hijau dari berbagai sumber terbarukan, namun ada realitas jaringan yang masih sarat karbon. Ada janji luhur tentang “Energi Berkeadilan”, namun ada pula kenyataan di lapangan tentang transisi yang pada fase awalnya terasa eksklusif.

Jalan di depan adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Keberhasilan pertaruhan besar ini akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menavigasi kontradiksi-kontradiksi ini secara bijaksana. Kesuksesan sejati akan diukur bukan hanya dari jumlah SPKLU yang dibangun, tetapi dari sejauh mana transisi ini mampu memberikan manfaat yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mobil listrik yang melaju sunyi di jalanan tetap menjadi simbol masa depan yang penuh harapan, sebuah masa depan yang naskahnya masih terus ditulis di tengah persimpangan antara ambisi dan kenyataan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses