Dari Waingapu, Deklarasi Sumba menolak eksploitasi alam dan mengusulkan tatanan baru yang adil secara sosial dan ekologis.

Deklarasi Sumba untuk keadilan ekologis: seruan dari Timur untuk membalik arah pembangunan
Kabupaten Sumba. (Pemkab Sumba)

Dari Waingapu, Pulau Sumba, suara masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia bersatu dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XVI WALHI. Masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, anak muda, akademisi, seniman, jurnalis, hingga korban bencana ekologis hadir menyuarakan satu tekad: pembangunan harus berubah arah, dari yang merusak menjadi yang adil secara ekologis.

Seruan itu kemudian dirumuskan dalam Deklarasi Sumba untuk Keadilan Ekologis, dan ditetapkan sebagai momen lahirnya Hari Keadilan Ekologis, diperingati setiap 20 September.

Deklarasi ini menolak model pembangunan yang mengeksploitasi alam sebagai komoditas semata. Sebaliknya, ia menuntut tatanan baru yang adil—secara ekologis, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena hanya dengan keadilan menyeluruh, kehidupan dapat bertahan dan masa depan generasi mendatang dapat terjamin.

“Kami tidak hanya menyerukan perubahan. Kami menyusun arah perjuangan. Kami menempatkan manusia, alam, dan generasi mendatang dalam satu kesetaraan. Keadilan ekologis bukan hanya soal kelestarian, tetapi hak untuk hidup,” demikian isi deklarasi.

Enam prinsip Deklarasi Sumba

Deklarasi ini menyusun enam prinsip utama:

  1. Bumi dan seluruh ekosistemnya memiliki hak untuk hidup dan memulihkan diri.
  2. Generasi mendatang berhak atas bumi yang layak huni dan bermartabat.
  3. Kekayaan alam harus dimanfaatkan secara adil, bukan dikuasai oleh segelintir elite.
  4. Rakyat berhak menentukan arah pembangunan.
  5. Masyarakat adat dan lokal adalah penjaga pengetahuan dan ruang hidup, yang haknya wajib dilindungi.
  6. Transisi energi harus adil dan demokratis, meninggalkan energi fosil demi masa depan yang berkelanjutan.

Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi, deklarasi ini adalah peringatan bahwa jika ekonomi terus berjalan tanpa memperhitungkan ekologi, bukan hanya alam yang rusak, tapi peradaban juga runtuh.

“Hari Keadilan Ekologis bukan seremoni. Ini adalah titik balik. Jika kita ingin mewariskan bumi pada generasi mendatang, kita harus mengubah cara pandang dan cara hidup dalam membangun peradaban,” tegas Zenzi.

Deklarasi ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang memperjuangkan masa depan. Zenzi menutup dengan seruan:

“Kami tahu jika jalan ini terjal, tapi kami memilih melangkah bersama. Maka kita hentikan perampasan, mari kita rebut kembali kehidupan. Kita tidak sedang melawan alam, kita sedang melawan keserakahan. Untuk dunia yang Adil, Lestari, dan Bermartabat,” tegasnya.

Mengapa Sumba?

Pulau Sumba dipilih bukan tanpa alasan. Sumba mewakili ekosistem penting Indonesia: bentang alam savana yang khas, tradisi yang kuat, serta kearifan lokal yang masih hidup.

Masyarakat Sumba menjaga tujuh sendi peradaban Nusantara: dari sistem pangan lokal, tradisi tenun yang sarat makna, hingga arsitektur rumah tradisional yang selaras dengan alam. Bagi mereka, hidup selaras dengan alam bukan jargon, melainkan praktik sehari-hari.

Sebanyak 780 peserta hadir di Waingapu: aktivis lingkungan, anggota WALHI dari seluruh Indonesia, organisasi tani, komunitas nelayan, serta mitra nasional dan internasional. Mereka belajar dari kearifan Sumba dan menjadikannya rujukan dalam upaya pemulihan lingkungan.

“Jika ada satu contoh tempat yang menunjukkan bagaimana alam dan manusia bisa bertahan bersama, maka Sumba adalah jawabannya,” ucap Zenzi.

Ruang perjumpaan dan gerakanPNLH yang digelar setiap empat tahun sekali bukan sekadar pekan lingkungan hidup. Ini adalah ruang strategis di mana masyarakat sipil, komunitas akar rumput, dan pemerintah bertemu, bertukar gagasan, dan menyusun langkah bersama.

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang menekankan, manusia hidup di masa antroposen—era ketika kerakusan manusia menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan. Ia mengajak untuk kembali pada pengetahuan lokal, menjadikannya dasar kebijakan.

“Kita bisa mulai dari kampung-kampung,” ujarnya.

Bagi Umbu, Sumba bukan hanya tanah yang keras, tapi juga ruang pengetahuan. Di sini, alam dan semua makhluk hidup dianggap sebagai teman hidup. Dari kesadaran itu, keadilan ekologis seharusnya bertumbuh.

Dukungan lintas sektor dan ekspresi kreatif

Sejumlah tokoh hadir menunjukkan dukungan politik dan moral terhadap agenda pemulihan lingkungan, di antaranya: Sultan Bachtiar Najamudin (Ketua DPD RI), Yonathan Hani (Wakil Bupati Sumba Timur, tuan rumah acara)
Ratu Wulla (Bupati Sumba Barat Daya).

Puncak acara dimeriahkan dengan karnaval budaya dan seni daur ulang, menunjukkan bahwa bahkan sampah pun bisa menjadi karya bernilai.

Musisi dan aktivis lingkungan Nugie juga hadir membawakan lagu-lagu bertema bumi dan ekologi. Musik, bagi Nugie, adalah medium untuk menyentuh hati dan menyuarakan perubahan.

PNLH juga menghadirkan diskusi panel mendalam—mulai dari isu hak rakyat atas tanah, ekstraktivisme, perlindungan ekosistem, hak asasi manusia, demokrasi, hingga peluncuran Yaya Leadership Initiative, ruang baru untuk menumbuhkan kepemimpinan muda berbasis keadilan ekologis.

Deklarasi Sumba untuk Keadilan Ekologis lahir dari krisis, tapi juga dari harapan. Ia mengajak bangsa ini, dan dunia untuk berhenti membangun peradaban di atas reruntuhan alam. Bahwa masa depan hanya bisa diraih jika kita kembali hidup berdampingan dengan bumi, bukan menguasainya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses