Dunia media sudah berubah, tujuan jurnalis sekarang bukan cuma publikasi tapi dampak lewat peliputan berkualitas dan keterlibatan masyarakat
“Dunia media sudah berubah, tujuan jurnalis sekarang bukan cuma publikasi tapi dampak lewat peliputan berkualitas dan keterlibatan masyarakat yang bermakna.”
Pernyataan tajam dari Amy Sim Kok Eng, Program Manager untuk Earth Journalism Network (EJN) Asia-Pasifik, menggema di ruang pertemuan JW Marriott Hotel, Jakarta. Di hadapan ratusan perwakilan media lokal yang berkumpul untuk Local Media Summit 2025 (LMS 2025), pesannya jelas: era jurnalisme sebagai penyampai fakta semata telah usai. Kini, media ditantang untuk menjadi katalisator perubahan.
Dalam forum yang dihelat oleh Local Media Community pada 7-8 Oktober 2025 itu, seruan Amy menjadi benang merah yang merajut diskusi tentang peran media dalam menghadapi tantangan terbesar zaman ini: krisis iklim. Menurutnya, jurnalisme lingkungan modern harus mampu menyentuh nurani pembaca, mendorong mereka untuk bertanya, “Apa dampak perbuatan saya bagi orang lain?”
Untuk mencapai itu, kata Amy, media harus berani turun dan menggali lebih dalam. “Penting juga mengangkat suara masyarakat lokal,” tegasnya, memberikan contoh nyata yang relevan dengan kondisi di banyak daerah di Indonesia. “Sungai tercemar akibat pertambangan nikel, agar suara mereka tidak tenggelam.”
Panggilan untuk jurnalisme yang berpihak pada komunitas dan berorientasi pada solusi ini disambut oleh Malika Inonk, seorang produser dari Planet Plate dan jurnalis KBR. Bagi Malika, urgensi ini terasa begitu nyata hingga ia merasa perlu mengoreksi terminologi yang umum digunakan.
“Kita harus peduli soal krisis iklim, bukan lagi perubahan iklim,” ujarnya dengan penekanan. Perbedaan kata ini bukan sekadar semantik, melainkan sebuah deklarasi bahwa planet ini berada dalam kondisi darurat, dan media tidak bisa lagi bersikap netral atau berjarak.
Malika menceritakan bagaimana KBR, tempatnya bernaung, berjuang untuk tetap relevan sambil mengemban misi penting ini. Transformasi menjadi kunci. “Kita itu platformnya radio, tapi pindah ke digital lewat YouTube karena masyarakat mendengarkan podcast. Sekarang radio sudah tidak begitu dikonsumsi, karenanya langkah ini kita lakukan agar sustainable,” ungkapnya.
Langkah adaptasi ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga strategis. Untuk membuat isu lingkungan yang kompleks menjadi dekat dan relevan, KBR memilih pendekatan yang humanis. Mereka tidak menyajikan data-data kering, melainkan cerita yang hidup.
“Kita mengajak anak-anak muda, lewat storytelling ajak mereka peduli lingkungan,” papar Malika. Konten-konten ini, yang membahas isu krusial seperti “kaitan pangan dengan lingkungan,” didistribusikan seluas mungkin melalui berbagai platform digital seperti YouTube dan Spotify untuk menjangkau audiens yang lebih beragam agar menjadi jurnalisme berdampak.
Meski dengan keterbatasan—”Kita belum punya kemampuan ambil video, dalam bayangan menyenangkan tapi rumit juga”—semangat untuk terus bersuara tidak pernah padam. Apa yang dilakukan Malika dan timnya di KBR adalah jawaban nyata atas tantangan yang dilontarkan Amy Sim. Mereka adalah praktisi “jurnalisme berdampak” di lapangan.
Pada akhirnya, kedua pembicara bertemu pada satu kesimpulan yang sama. Media lokal, dengan kedekatannya pada komunitas, memiliki posisi unik untuk tidak hanya melaporkan masalah, tetapi juga menjadi bagian dari solusi. Mereka bisa menjadi jembatan antara data ilmiah, kebijakan pemerintah, dan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sebagaimana Amy Sim menutup sesinya dengan penuh optimisme, peran ini adalah sebuah evolusi yang harus dirangkul. “Kami mengangkat masyarakat lokal, memberi bantuan untuk mengetahui masalah dan solusi,” pungkasnya. “Kami siap menghadapi perubahan ini dan menghadapi tantangan baru.”
Di tengah tema besar LMS 2025, “Unlocking Local Capital: Building Sustainable Media Market in Indonesia”, pesan dari sesi ini menjadi sangat jelas. Modal terbesar media lokal bukanlah sekadar finansial, melainkan kepercayaan dan relevansinya di tengah masyarakat. Dan di era krisis iklim, modal itu dibangun dengan menjadi suara bagi mereka yang paling terdampak, serta menjadi pelopor bagi masa depan yang lebih berkelanjutan.
- Perempuan Papua berperan menjaga tanah dan hutan adat
- Peran VinFast dalam misi kurangi emisi transportasi Indonesia
- Inovasi Padpals: solusi mahasiswa Unpad dalam menghadapi limbah pembalut
- Jurnalisme berdampak, panggilan bagi media lokal di garis depan krisis iklim
- Sonic/Panic Volume 3, keberlanjutan kolaborasi musisi untuk selamatkan bumi
- Macan tutul tersesat ke hotel di Bandung, populasi di alam kian menyusut