Lima petani terkapar setelah timah panas yang diduga ditembakkan keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS) di Pino Raya, Bengkulu
Siang itu, Senin (24/11/2025), langit di atas lahan perkebunan Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, tidak lagi menaungi aktivitas tani yang damai. Suara gesekan daun sawit dan deru alat berat seketika berganti dengan letusan senjata api yang memecah ketegangan. Di tengah hamparan tanah yang disengketakan selama lebih dari satu dekade itu, darah petani kembali tumpah.
Lima orang petani—Buyung, Linsurman, Edi Hermanto, Santo, dan Suhardin—terkapar setelah timah panas diduga ditembakkan oleh aparat keamanan perusahaan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS). Peristiwa ini menjadi puncak dari konflik agraria berkepanjangan yang tak kunjung menemukan titik terang, mengubah ladang penghidupan menjadi arena pertaruhan nyawa.
Detik-detik mencekam
Ketegangan bermula sekitar pukul 10.00 WIB. Para petani mendapati alat berat milik PT ABS tengah meratakan tanaman di lahan yang mereka klaim dan garap. Upaya mempertahankan hak memicu adu mulut antara warga dan pihak keamanan perusahaan. Namun, situasi memanas dengan cepat.
Puncaknya terjadi pada pukul 12.45 WIB. Buyung, salah satu petani, ditembak tepat di bagian dada. Menurut laporan yang dihimpun, pelaku yang diduga berinisial R, seorang anggota keamanan perusahaan, tidak berhenti di situ. Ia berlari sambil melepaskan tembakan secara membabi buta. Peluru-peluru itu menemukan sasarannya: Linsurman terluka di lutut, Edi Hermanto di paha, Santo di rusuk bawah ketiak, dan Suhardin di betis.
Warga yang marah sempat mengejar dan menangkap terduga pelaku, sementara kelima korban yang bersimbah darah segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.
Konflik panjang yang diabaikan
Insiden ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan letusan dari bara api yang telah lama tersimpan. Konflik antara warga Pino Raya dan PT ABS telah berlangsung sejak terbitnya Izin Lokasi perkebunan seluas 2.950 hektare pada tahun 2012. Selama bertahun-tahun, petani hidup dalam bayang-bayang intimidasi, perusakan pondok, hingga kriminalisasi, namun mereka tetap bertahan demi sejengkal tanah leluhur.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang mendampingi warga, mengecam keras tindakan brutal ini. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa kekerasan ini adalah akumulasi dari pembiaran negara terhadap sengketa lahan.
“Hari ini lima orang petani Pino Raya ditembak oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan. Akibat penembakan tersebut lima orang petani mengalami luka berat,” ujar Uli dalam keterangannya.
Reaksi keras juga datang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bengkulu. Mereka menilai insiden ini telah melampaui batas konflik lahan biasa dan masuk dalam kategori pelanggaran kemanusiaan serius.
Luthfi, dari Bidang HAM dan Lingkungan Hidup HMI Cabang Bengkulu, menyoroti kegagalan negara dalam melindungi warganya.
“Kejadian seperti ini sudah terlalu sering menimpa masyarakat kita. Ini bukan lagi sekadar konflik agraria, tetapi sudah menjadi tragedi kemanusiaan. Sudah selayaknya negara hadir secara tegas dalam penyelesaian konflik tersebut agar tidak ada lagi darah masyarakat yang tertumpah di tanah kelahirannya sendiri,” tegas Luthfi.
Senada dengan itu, Ridho dari HMI UINFAS Bengkulu menambahkan seruan moral agar hukum tidak tumpul di hadapan korporasi.
“Darah petani tidak boleh tumpah sia-sia. Kemanusiaan harus lebih tinggi daripada kepentingan perusahaan mana pun. Dan negara harus hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung hak-hak rakyatnya,” ungkap Ridho.
Kini, desakan mengalir deras kepada Kapolda Bengkulu untuk mengusut tuntas kepemilikan senjata api oleh pihak keamanan perusahaan dan memproses hukum pelaku penembakan. Lebih jauh, koalisi masyarakat sipil menuntut pemerintah pusat mencabut izin PT ABS yang dinilai menjadi sumber malapetaka di Pino Raya.
Bagi para petani Pino Raya, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas dan ruang hidup. Namun hari ini, harga yang harus mereka bayar untuk mempertahankan ruang hidup itu adalah darah dan nyawa yang terancam melayang.
- Ketika iman menggugat keadilan iklim di tengah kepungan lobi fosil
- Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu
- Masa depan karbon biru dan peran Indonesia dalam peta iklim global
- Photovoice merekam krisis ekologis Pontianak lewat lensa warga
- PLN dan Uni Eropa pacu pembangunan “Baterai Air” raksasa target NZE 2060
- Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim
