Bojonegoro menjadi “benteng terakhir” bagi anggrek larat hijau ini dengan populasi kritis sebanyak 215 individu.

Di kedalaman hutan jati Bojonegoro selatan, sebuah keajaiban botani sedang meregang nyawa. Dendrobium capra, atau yang lebih dikenal masyarakat lokal sebagai Anggrek Larat Hijau, bukan sekadar bunga. Ia adalah simbol ketangguhan yang mampu bertahan di cuaca kering, menempel di ketinggian tiga perempat batang jati tua yang telah berdiri lebih dari setengah abad. Namun kini, keindahan bersahaja dengan semburat ungu di bibir bunganya itu terancam menjadi kenangan akibat deru mesin gergaji yang tak kenal ampun.

Laporan terbaru pada akhir Desember 2025 melukiskan potret muram: habitat alami satu-satunya anggrek endemik ini telah ditebang. Penebangan pohon-pohon jati inang di wilayah Bojonegoro selatan—yang dilakukan untuk pembukaan lahan—diduga kuat telah memunahkan populasi yang tersisa di alam liar.

Penemuan Dendrobium capra di Bojonegoro awalnya merupakan angin segar bagi dunia konservasi. Dr. Laily Agustina, pakar Ilmu Lingkungan dari Universitas Bojonegoro (Unigoro), menemukan keberadaannya saat sedang melengkapi dokumen Geopark Bojonegoro untuk UNESCO. Data LIPI (sekarang BRIN) pada tahun 2008 mencatat masih ada sekitar 240 individu yang tersebar di Madiun dan Bojonegoro.

Namun, waktu berpihak pada kepunahan. Survei tahun 2022 menunjukkan kenyataan pahit: populasi di Madiun telah lenyap. Bojonegoro pun menjadi “benteng terakhir” bagi anggrek larat hijau ini dengan populasi kritis sebanyak 215 individu.

“Ada rasa bangga, tapi sekaligus beban, karena jumlahnya semakin menurun,” ungkap Dr. Laily dalam satu wawancara dengan BeritaJatim. Beban itu kini berubah menjadi duka ketika pohon-pohon jati berusia di atas 50 tahun, yang menjadi rumah bagi anggrek ini, rata dengan tanah.

Siklus tebang yang mematikan

Tragedi ini menyoroti lemahnya koordinasi antara pemangku kebijakan hutan dan upaya pelestarian flora langka. Dr. Laily menyebutkan bahwa pihak akademisi dan pengelola Geopark sama sekali tidak menerima pemberitahuan mengenai aktivitas penebangan tersebut.

Secara biologis, Dendrobium capra adalah penyintas yang rapuh. Ia hanya mekar sekali dalam setahun, biasanya di bulan Februari. Laju regenerasinya sangat lambat, dan ia memiliki ketergantungan mutlak pada ekosistem hutan jati tua yang spesifik. Ketika siklus tebang kayu jati dilakukan tanpa mempertimbangkan keberadaan flora epifit di atasnya, maka punahlah seluruh ekosistem mikro yang ada di sana.

Status anggrek ini telah lama masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan kategori Endangered (Genting), dan para ahli sedang mengusulkan kenaikan status menjadi Critically Endangered (Sangat Terancam Punah).

Bagi Bojonegoro, kehilangan Dendrobium capra bukan sekadar kehilangan spesies tanaman. Ia adalah kehilangan identitas ekologis. Di tengah narasi Bojonegoro sebagai daerah migas dan penghasil kayu jati berkualitas, anggrek larat hijau adalah sisi lembut namun tangguh dari keragaman hayati Jawa Timur.

“Flora ini bisa menjadi simbol kebanggaan. Ia cantik, sederhana, tidak mencolok, namun tangguh bertahan di daerah kering—seperti karakter masyarakat di sini,” tutur Dr. Laily.

Kini, dengan habitat yang telah hancur, harapan tersisa pada upaya konservasi ex-situ atau di luar habitat aslinya. Namun, tak ada yang bisa menggantikan pemandangan anggrek hijau mungil yang bergoyang tertiup angin di pucuk jati tua. Tragedi di Bojonegoro selatan ini menjadi pengingat keras bagi kita semua: bahwa pembangunan ekonomi dan eksploitasi hutan, jika tanpa komitmen ekologi yang nyata, hanya akan menyisakan hutan yang sunyi dari keajaiban.

Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan BeritaJatim.

Jurnalisme lingkungan Indonesia butuh dukungan Anda. Bantu Ekuatorial.com terus menyajikan laporan krusial tentang alam dan isu iklim.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses