Penanganan bencana harus dilakukan secara multidimensi. Sains iklim untuk deteksi dini dan perencanaan, penegakan hukum menjadi langkah preventif.

Bencana hidrometeorologi yang melanda tiga provinsi di Sumatera pada akhir November 2025 lalu bukan semata karena hujan yang ekstrem. Aktivitas manusia yang melanggar aturan lingkungan turut menjadi faktor penting yang memperparah dampak bencana tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Bambang Hero Saharjo, Kepala Pusat Studi Bencana (PSB) IPB University, dalam forum diskusi LRI TALK #3 bertajuk “Bersama Menjaga Sumatra: Kolaborasi Mitigasi, Penegakan Hukum, dan Pemulihan Ekosistem untuk Menghadapi Bencana Hidrometeorologi”. Ia menjelaskan, bencana yang menelan lebih dari seribu korban jiwa dan sangat merusak wilayah ini tidak bisa lagi dilihat sebagai kejadian alam saja.

Bambang menegaskan, sejumlah kondisi menjadi pemicu banjir dan longsor terjadi berulang, seperti aktivitas ilegal yang terus berlangsung. Ia menyebutkan, pembalakan liar, pembukaan lahan tanpa izin, serta penghilangan tutupan hutan, sebagai contoh kegiatan yang mengubah struktur ekologis daerah aliran sungai.

“Ada aktivitas manusia yang disengaja maupun karena kelalaian. Ketika hujan di atas normal, terjadilah bencana yang menelan korban, merusak lingkungan dan infrastruktur, serta menyebabkan penderitaan bagi banyak keluarga yang tidak bisa lagi dianggap hanya sekadar bencana alam,” ujar Bambang, dikutip dari laman resmi IPB University.

Hilangnya jutaan hektar hutan akibat pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk pemukiman atau kegiatan ekonomi telah mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air. Akibatnya, ketika curah hujan tinggi melanda, permukaan tanah tidak mampu menahan air sehingga banjir dan longsor menjadi lebih mudah terjadi dan berdampak luas.

“Mereka yang bertanggung jawab atas kegiatan ilegal ini harus tetap dipertanggungjawabkan secara hukum dan tidak bisa dibiarkan bebas,” tegas Bambang.

Peran sains iklim

Curah hujan ekstrem yang berlangsung di Sumatera akhir November kemarin merupakan fenomena yang juga dikonfirmasi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Beberapa wilayah mengalami curah hujan lebih dari 300 milimeter per hari, dengan puncaknya bahkan mencapai sekitar 438 milimeter pada 26 November 2025. Data ini menunjukkan bahwa sistem cuaca bekerja pada intensitas yang tidak biasa dan meningkatkan potensi banjir bandang.

Namun, curah hujan bukan alasan utama mengapa beberapa daerah menjadi lebih rentan terhadap dampak banjir dan longsor. Kerusakan ekologis akibat kegiatan ilegal berkontribusi sangat besar dalam meningkatkan kerawanan wilayah tersebut terhadap dampak hujan ekstrem.

Pakar agrometeorologi dari Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University, Dr. I Putu Santikayasa, menerangkan bahwa kejadian hujan ekstrem di Sumatera dapat dipahami lebih baik melalui data iklim dan sistem peringatan dini. Pemanfaatan sains iklim mampu menjadi alat mitigasi dan respons bencana yang akurat. 

“Informasi dan analisis iklim memiliki peran strategis dalam mengurangi risiko, meningkatkan kesiapsiagaan, serta memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi bencana,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, sains iklim perlu digunakan secara sistematis, mulai dari fase prabencana untuk memetakan daerah rawan, hingga fase saat dan pascabencana untuk mendukung respons cepat dan perencanaan pemulihan jangka panjang.

Sejumlah indikator iklim seperti El Niño–Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), dan bibit siklon tropis di Selat Malaka, turut menjadi faktor yang perlu dipantau secara serius oleh pemerintah dan lembaga terkait.

“Sistem peringatan dini berbasis sains iklim memberi waktu bagi masyarakat dan pemangku kebijakan untuk mempersiapkan diri, sementara infrastruktur yang adaptif memberi kapasitas untuk bertahan pada kondisi ekstrem,” imbuhnya.

Penanganan bencana harus dilakukan secara multidimensi. Sains iklim memberikan alat untuk deteksi dini dan perencanaan, sedangkan penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak lingkungan merupakan langkah preventif untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap risiko bencana.

Peristiwa yang sangat memilukan di akhir tahun ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara para ilmuwan, pembuat kebijakan, penegak hukum, dan komunitas lokal, sehingga strategi mitigasi bencana tidak hanya responsif setelah kejadian, tetapi juga proaktif dalam mengurangi risiko yang sudah teridentifikasi melalui data dan analisis ilmiah.

Melalui pendekatan yang lebih integratif, Indonesia dapat lebih baik memetakan daerah rawan, merancang sistem peringatan yang efektif, serta menindak tegas aktivitas yang melemahkan fungsi ekologis alami sebagai langkah krusial untuk mengurangi dampak bencana di masa mendatang.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses