Di balik narasi konservasi berbasis teknologi tersembunyi data yang getir: Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) masih berada di titik kritis menuju kepunahan.
Pagi itu, Sabtu 13 Desember 2025, udara di kawasan Danau Situ Gunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), terasa dingin. Namun, suasana di lokasi pelepasan terasa hangat oleh harapan dan ketegangan. Semua mata tertuju pada seekor burung megah, simbol hidup kedaulatan alam Jawa, yang siap memulai babak baru kehidupannya.
Saat pintu kandang dibuka, hening melingkupi lokasi pelepasan. Sayap cokelat gelap yang mengembang lebar itu pun segera membelah udara pagi. Raja Dirgantara—begitu Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) ini dijuluki—menghujam ke cakrawala, kembali menguasai langit Sukabumi.
Pelepasan Raja Dirgantara bukan sekadar seremoni. Ini adalah janji yang ditepati setelah program rehabilitasi ketat, sekaligus penanda dimulainya era konservasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Elang Jawa adalah predator puncak di Pulau Jawa. Kegagahan dan jambulnya yang menonjol menjadikannya diyakini sebagai inspirasi visual dari lambang negara, Garuda. Kehadirannya di alam liar adalah penanda utama kesehatan sebuah ekosistem.
Sayangnya, populasi Elang Jawa berada dalam status terancam punah. Diperkirakan hanya tersisa sekitar 511 pasang di seluruh Pulau Jawa. Angka ini adalah lonceng peringatan akan rapuhnya ekosistem Jawa yang terus tertekan oleh deforestasi dan perburuan.
Sebelum mengangkasa bebas, Raja Dirgantara telah melalui proses rehabilitasi ketat untuk memastikan ia mampu beradaptasi kembali dengan kehidupan liar, mulai dari kesiapan berburu, menghindari ancaman, hingga menentukan wilayah jelajah.
Yang membuat pelepasan Raja Dirgantara ini spesial adalah integrasi teknologi canggih. Elang tersebut dipasangi perangkat GPS Telemetry—sebuah “mata elektronik” yang terus memantau pergerakannya secara berkelanjutan.
Wakil Menteri Kehutanan, Rohmat Marzuki, menyebut pelepasliaran ini sebagai bagian dari penguatan konservasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Hari ini kita melakukan pelepasliaran satu ekor Elang Jawa yang kita namai Raja Dirgantara, rajanya udara. Elang ini sudah kita gunakan teknologi GPS telemetry sehingga kita bisa memantau pergerakan atau wilayah jelajahnya,” ujar Rohmat kepada sukabumiupdate.com.
Teknologi ini memungkinkan tim konservasi mendapatkan data rinci yang tidak mungkin diperoleh melalui metode pemantauan konvensional.
Rohmat Marzuki menjelaskan lebih lanjut detail pemantauan tersebut. Menururutnya, dengan teknologi ini, kita juga bisa mengetahui dia bersarang di pohon apa, di titik mana habitatnya, hingga bagaimana pola saat dia mencari makan.
“Seluruh home range habitatnya bisa kita pantau. Teknologi ini sangat membantu untuk konservasi Elang Jawa dan tentu sudah mempertimbangkan aspek kesejahteraan satwa atau animal welfare,” tambahnya.
Data pergerakan GPS ini memberikan informasi vital mengenai koridor ekologis dan area hutan yang paling sering digunakan oleh Elang Jawa. Pengetahuan ini sangat berharga bagi TNGGP untuk merumuskan kebijakan perlindungan habitat yang lebih akurat dan efektif di masa depan.
Momen ketika Raja Dirgantara menghilang di balik rimbunnya pohon di Gunung Gede Pangrango membawa pesan besar: konservasi adalah upaya menjaga masa depan seluruh ekosistem Pulau Jawa.
Pelepasan ini menjadi penanda bahwa konservasi kini didukung oleh sains dan teknologi yang memastikan setiap upaya rehabilitasi dan pelepasan dapat diukur keberhasilannya.
Keberhasilan Elang Jawa Sang Raja Dirgantara untuk bertahan akan menjadi indikator keberhasilan kita semua—pemerintah, komunitas konservasi, dan masyarakat—dalam menjaga paru-paru dan jantung ekologi Jawa. Setiap titik GPS yang dikirim Raja Dirgantara ke bumi adalah harapan bahwa sang “Raja Dirgantara” telah kembali ke takhtanya, dan bahwa kerajaannya akan terus dijaga.
Status dan populasi Elang Jawa
Kepakan sayap Raja Dirgantara di langit Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada akhir pekan ini adalah simbol harapan. Namun, di balik narasi keberhasilan konservasi berbasis teknologi itu, tersembunyi data statistik yang getir: Sang Raja Dirgantara, Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), masih berada di titik kritis menuju kepunahan.
Kondisi Elang Jawa—burung endemik yang diyakini menginspirasi lambang Garuda—terus menjadi sorotan utama dalam laporan konservasi burung nasional.
Menurut data terbaru yang dikumpulkan oleh Burung Indonesia dalam publikasi “Status Burung di Indonesia 2025“, status keterancaman Elang Jawa masih diklasifikasikan sebagai Genting (Endangered – EN) berdasarkan Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Kategori Genting (EN) berarti spesies tersebut menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar. Bersama kategori Rentan (Vulnerable – VU) dan Kritis (Critically Endangered – CR), Elang Jawa masuk dalam kelompok Spesies Terancam Punah Secara Global (Globally Threatened Species).
Meskipun laporan tahunan Burung Indonesia pada 2025 menunjukkan dinamika perubahan status pada beberapa spesies lain (seperti Elang Flores yang mengalami penurunan status dari Kritis ke Genting karena revisi data), status Elang Jawa sebagai spesies Genting terus dipertahankan, mencerminkan ancaman nyata dan berkelanjutan di habitatnya.
Keterbatasan populasi menjadi alasan utama Elang Jawa sulit beranjak dari status Genting. Data konservasi terbaru mengindikasikan bahwa populasi Elang Jawa di seluruh Pulau Jawa diperkirakan hanya tersisa sekitar 511 pasang, atau sedikit di atas seribu individu.
Angka yang kecil ini menegaskan Elang Jawa adalah spesies langka yang mendiami habitat hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan yang sangat sensitif.
Kondisi ini diperparah oleh tiga faktor utama: endemisme tinggi, kerusakan habitat, dan reproduksi rendah. Elang Jawa adalah spesies endemik, yang berarti ia hanya ditemukan secara alami di Pulau Jawa dan Bali. Keterbatasan sebaran geografis ini membuat populasi sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal.
Meskipun Elang Jawa dilindungi di kawasan konservasi seperti TNGGP, tekanan deforestasi, perambahan hutan, dan konversi lahan di luar zona lindung terus memperkecil koridor habitat jelajahnya. Elang Jawa memiliki tingkat reproduksi yang lambat, biasanya hanya menghasilkan satu anakan setiap dua tahun, yang menyulitkan pemulihan populasi secara cepat.
Dalam konteks konservasi nasional, Elang Jawa berfungsi sebagai indikator kesehatan ekosistem hutan Jawa. Melestarikan Raja Dirgantara dan memastikan populasinya stabil adalah kunci untuk menjaga hutan Jawa, yang merupakan salah satu pusat endemisitas burung di Indonesia.
Jika upaya perlindungan dan rehabilitasi habitat tidak ditingkatkan, spesies endemik ikonik ini akan semakin terdesak, dan kepunahan bukanlah lagi kemungkinan, melainkan sebuah kepastian yang menunggu waktu. Konservasi Elang Jawa, pada akhirnya, adalah tantangan menjaga jantung ekologis Indonesia.
Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan SukabumiUpdate.Com.
- Mahasiswa Unesa sulap limbah plastik jadi produk bernilai ekonomi
- Kepakan sayap Elang Jawa dan era konservasi berbasis teknologi
- Sekolah Adat Tunggu Tubang, jalan pulang generasi muda Adat Semende
- Menelisik kebijakan lingkungan Prof Koesnadi dalam bencana lingkungan
- Perempuan Dayak Seberuang menjaga ekonomi kampung di balik kabut Silit
- Solidaritas Papua menggugat absennya negara di bencana Sumatera
