Hari Gunung Internasional 2025 menjadi momentum untuk mendengar suara peringatan yang diberikan gunung dalam kesunyiannya

Hari Gunung Internasional (International Mountain Day) yang diperingati setiap tanggal 11 Desember, seharusnya menjadi momentum untuk mendengar suara peringatan yang diberikan gunung dalam kesunyiannya. Indonesia memiliki ratusan gunung yang tersebar dan terpatri di seluruh nusantara. Di dalam kebesarannya, gunung menyimpan air, mengatur iklim, menjadi rumah bagi ribuan spesies, sekaligus menjadi ruang hidup bagi manusia.

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir gunung juga bersuara, memperingatkan manusia bahwa krisis iklim semakin nyata, suhu bumi semakin panas, ekosistem semakin rapuh, dan manusia harus segera bertindak. Pelestarian gunung yang selalu digaungkan setiap tahunnya jangan hanya menjadi slogan belaka, karena menjaga gunung berarti menjaga kehidupan, dan gunung meminta manusia untuk membuktikannya.

Di Indonesia, suara itu datang dari Papua hingga Sumatera. Dari Puncak Jaya yang kehilangan salju abadinya, Merapi yang kembali bergejolak, hingga Marapi yang terus berstatus waspada. Gunung-gunung ini seolah berbicara dalam bahasa yang sama: krisis iklim tidak lagi jauh di masa depan, tetapi terjadi sekarang.

Hilangnya Es di Puncak Jaya

Di Pegunungan Jayawijaya, perubahan itu terlihat secara jelas. Gletser yang selama ini disebut “salju abadi” terus menyusut dari tahun ke tahun. Data BMKG memperlihatkan bagaimana luas es yang dulu dianggap tak tergoyahkan itu kini tinggal sebagian kecil saja. Proses pencairannya kian cepat, dan para ahli memperkirakan bahwa seluruh gletser di Puncak Jaya bisa punah hanya dalam beberapa tahun mendatang.

Salju di tanah tropis merupakan salah satu fenomena paling langka di dunia. Bagi masyarakat Papua, jika salju di Puncak Jaya benar-benar hilang, itu berarti akan terjadi perubahan pada sumber air, keseimbangan ekosistem, dan hilangnya penanda alam yang menjadi bagian dari identitas masyarakat setempat. Salju yang mencair juga memberi kontribusi pada naiknya permukaan laut dunia, menambah daftar panjang dampak perubahan iklim yang harus ditanggung oleh masyarakat pesisir Indonesia.

Merapi dan Marapi yang sulit diprediksi

Jika gunung di timur Indonesia kehilangan dinginnya, gunung api di barat Indonesia menunjukkan gejolak yang tidak kalah mengkhawatirkan. Gunung Marapi di Sumatera Barat akhir-akhir ini mencatat ratusan gempa vulkanik dangkal dan dalam, disertai letusan kecil dan abu yang menjulang ribuan meter. Status waspada sudah berlangsung lama, warga sekitar pun seperti hidup di tengah ketidakpastian.

Sementara di tengah Pulau Jawa, Gunung Merapi yang kembali bangkit dalam tidurnya terus menjadi pusat perhatian. Gunung ini kerap menunjukkan aktivitasnya. Hujan ekstrem yang dipicu pemanasan global juga meningkatkan risiko lahar hujan, salah satu ancaman terbesar bagi masyarakat yang hidup di lerengnya.

Kombinasi antara aktivitas vulkanik dan cuaca ekstrem adalah skenario yang semakin memperparah potensi bencana. Warga yang bermukim di lereng mungkin sudah terbiasa hidup berdampingan dengan gunung api aktif. Tetapi perubahan iklim membuat banyak proses alam menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih sulit diprediksi.

Kehidupan gunung dan manusia Indonesia

Di luar ketiga gunung di atas, Indonesia masih memiliki ratusan gunung lain yang menghadapi tekanan tidak kalah berat. Indonesia tercatat memiliki sekitar 400–500 gunung, termasuk 127 gunung api aktif. Sebagian besar dari gunung-gunung ini berada di kawasan hulu sungai dan menjadi sumber air bagi desa hingga kota.

Ketika gunung mengalami degradasi yang banyak disebabkan oleh deforestasi, alih fungsi lahan, atau pemanasan global, dampaknya bisa mengalir dengan sangat fatal. Misalnya kekeringan di musim kemarau, banjir bandang di musim hujan, tanah longsor, hilangnya sumber pangan, berkurangnya keanekaragaman hayati, hingga konflik perebutan air.

Di banyak daerah, kerusakan hutan di kawasan pegunungan membuat tanah rapuh dan mudah tergerus. Ketika hujan datang dengan intensitas yang lebih ekstrim akibat perubahan iklim, longsor terjadi lebih sering. Ketika hutan hilang, siklus air terganggu, debit sungai menurun, dan masyarakat di hilir akan merasakan akibatnya.

Maka dari itu, perlu diperkuat pemantauan lingkungan, iklim, dan geologi di kawasan pegunungan. Reboisasi harus dilakukan secara serius, bukan hanya secara teori di atas kertas. Kawasan hulu harus benar-benar dijaga dari alih fungsi lahan yang merusak. Di daerah rawan gunung api, sistem mitigasi dan peringatan dini harus ditingkatkan. Masyarakat lokal dan adat yang hidup di pegunungan harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan, bukan korban dari kebijakan yang dibuat tanpa suara mereka.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses