Orangutan Tapanuli hidup di hutan tropis dengan wilayah jelajah yang sangat sempit dan populasi yang kecil sehingga rentan terhadap tekanan besar.

Sudah lebih dari dua pekan bencana yang sangat memilukan terjadi di Sumatera, pada akhir November 2025 lalu. Laporan terbaru menyebutkan kejadian ini menewaskan lebih dari seribu jiwa dan ratusan orang lainnya masih berstatus hilang. Tragedi yang turut menyakiti hati masyarakat di berbagai penjuru negeri ini pun tak kunjung ditingkatkan statusnya menjadi bencana nasional.

Tidak hanya manusia, satwa juga menjadi korban dari kebrutalan pembabatan hutan, sebagai penyebab utama munculnya bencana. Di wilayah Batang Toru sebagai rumah bagi Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), relawan menemukan satu individu orangutan yang sudah mati di antara tumpukan lumpur dan pohon besar. Kematian satwa langka ini kemudian diumumkan oleh tim relawan yang ikut dalam operasi SAR di wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, pada awal Desember 2025.

Meski hanya satu individu orangutan tapanuli yang telah ditemukan, tetapi penemuan bangkai ini menjadi gambaran tragis dari rangkaian tekanan terhadap spesies yang sangat rapuh. Temuan ini diperkuat melalui laporan foto yang dikonfirmasi oleh BBC Indonesia. Foto tersebut menunjukkan kondisi bangkai orangutan di wilayah hutan Batang Toru yang rusak oleh banjir dan longsor.

Penyusutan dan ancaman habitat orangutan

Habitat Orangutan Tapanuli yang secara ilmiah baru diidentifikasi sebagai spesies terpisah pada 2017, sudah lama menghadapi tekanan berat. Spesies ini dikenal sebagai yang paling terancam dari semua kera besar di dunia, dengan perkiraan populasi liar kurang dari 800 individu yang tersisa di alam terbatas di Batang Toru, Sumatera Utara.

Sebelum bencana terjadi, para peneliti sudah memperingatkan tentang ancaman serius bagi orangutan di wilayah itu. Ancaman yang dimaksud antara lain deforestasi, perburuan, dan perdagangan bayi orangutan, terutama di kawasan Batang Toru yang terbagi antara hutan primer dan area yang terfragmentasi oleh aktivitas manusia.

Para ahli konservasi memperingatkan bahwa bencana alam kali ini merupakan komplikasi dari kerusakan hutan yang berlangsung lama. Deforestasi di daerah Batang Toru secara nyata memperlemah kemampuan hutan untuk menahan curah hujan dan mengatur aliran air. Kebijakan ruang yang kurang memperhatikan integritas habitat juga memperlambat pemulihan kawasan hutan yang sudah terfragmentasi.

Sebelum musibah terjadi, Orangutan Tapanuli hidup di hutan tropis lembab di sepanjang Batang Toru, dengan wilayah jelajah yang sangat sempit dan populasi yang kecil sehingga rentan terhadap tekanan besar. Karena hanya hidup di ekosistem sekecil itu, setiap gangguan lingkungan memiliki dampak besar pada peluang mereka bertahan hidup.

Populasi orangutan tapanuli hingga kini terus menyusut secara drastis. Bahkan, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah memasukkan orangutan tapanuli ke dalam daftar satwa berstatus terancam punah (Critically Endangered).

Pelestarian hutan tidak bisa hanya sekadar pidato semata. Harus ada tindakan konkret agar ekosistem di dalamnya hidup dan terjaga. Bukan hanya bagi satwa, menjaga hutan agar tetap rimbun tanpa pembabatan membabi-buta juga menjaga kehidupan manusia.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses