Berdasarkan survei Forum Kolaborasi Bentang Alam Wehea-Kelay, ada sekitar 1.200 orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur. Tak hanya jadi bagian dari keanekaragaman satwa di wilayah ini, Orangutan di sini pun telah jadi sumber ilmu bagi manusia.

By Nofiyatul Chalimah – Samarinda, Kalimantan Timur

Hal ini telah dipaparkan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Irawan Wijaya Kusuma. Dia menjelaskan soal riset gabungan antara fakultasnya dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Mereka mengkaji 59 jenis tumbuhan pakan orangutan di Wehea-Kelay. Hasilnya, lebih dari 50 persen tumbuhan tersebut memiliki khasiat etnofarmakologi, seperti antinyeri, antiperadangan, suplemen, dan manfaat kesehatan lainnya, yang juga bisa bermanfaat bagi manusia.

“Salah satu jenisnya adalah Macaranga conifera, yang berpotensi sebagai antikanker, antidiabetes, dan antioksidan, serta dapat dikembangkan menjadi produk perawatan kulit,” ungkap Irawan dalam Ekspos Hasil Kolaborasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Skala Bentang Alam Wehea-Kelay di Samarinda, Selasa, 10 Desember 2024.

Tanaman Macaranga conifera tumbuh cepat dan mencapai ukuran besar dalam waktu singkat. Ekstrak daunnya kaya akan senyawa fenolik, termasuk flavonoid, yang memiliki potensi farmakologi tinggi.

“Kami telah mengembangkan perawatan wajah berbahan dasar Macaranga conifera dengan manfaat antipenuaan dini, antijerawat, dan pencerah wajah. Produk ini dipilih untuk memenuhi kebutuhan pasar skincare saat ini,” jelasnya.

Selain itu, masih banyak potensi tumbuhan lain yang belum dimanfaatkan secara optimal. “Misalnya, ketika orangutan terluka, mereka mengunyah tumbuhan tertentu lalu menempelkannya pada luka. Kami juga meneliti hal tersebut,” tambahnya.

Irawan menyebut bahwa pengembangan produk berbasis bahan alami ini sejalan dengan konservasi hutan oleh masyarakat di kawasan Wehea-Kelay.

Bentang alam ini memiliki peran penting bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Sebagai kawasan penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS) Kelay dan Wahau, wilayah ini menyediakan sumber air bagi puluhan ribu jiwa di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau serta Kecamatan Kombeng, Wahau, dan Telen di Kutai Timur.

Selain itu, Ketua Forum Kolaborasi Bentang Alam Wehea-Kelay, Anwar Sanusi, menyebutkan bahwa kawasan ini menyumbang sekitar 35 persen dari pencapaian Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) berdasarkan data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan (2023).

“Indeks ini mencerminkan kualitas tutupan lahan, yang dinilai dari kondisi hutan dan vegetasi nonhutan,” ujar Anwar, yang juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur.

Anwar menambahkan bahwa perlindungan habitat orangutan dapat membuka peluang kolaborasi. “Banyak pelajaran dan kebijaksanaan dari orangutan yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia,” ujarnya.

Anggota Dewan Pengawas YKAN, Wiratno, memaparkan bahwa orangutan tidak hanya menjadi objek pembelajaran tetapi juga berkontribusi pada regenerasi hutan. “Orangutan menyebarkan biji-bijian ketika mereka menjelajahi hutan. Ini adalah salah satu peran mereka dalam menjaga ekosistem,” jelasnya.

Untuk menjaga keberlanjutan bentang alam ini, Wiratno menekankan pentingnya etika industri dalam pengembangan ekonomi serta kolaborasi lintas pihak untuk melindungi kawasan dari ancaman kerusakan.

Kolaborasi ini didukung oleh Yuliana Wetuq, perwakilan Lembaga Adat Dayak Wehea. Selama ini, masyarakat Dayak Wehea berjuang melindungi hutan terakhir mereka dari deforestasi melalui kelompok Petkuq Mehuey—penjaga hutan dalam bahasa Dayak Wehea.

Kelompok ini terdiri dari pemuda-pemudi yang ditugaskan untuk mencegah penebangan liar, memantau satwa, dan mendampingi wisatawan yang berkunjung ke Hutan Lindung Wehea.

“Adanya forum kolaborasi sangat membantu kami dalam patroli dan survei,” ujar Yuliana.

Maka dari itu, diharapkan dari kearifan orangutan dan kekayaan hayati Bentang Alam Wehea-Kelay ini dapat membuka mata banyak pihak. Sehingga, bisa turut menjaga kelestarian hutan di Wehea-Kelay, serta keberlangsungan ekosistemnya.

About the writer

Nofiyatul Chalimah

Nofiyatul Chalimah is a freelance journalist who often writes features and in-depth news. Interested in environmental issues, and currently resides in East Kalimantan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.