Rusaknya Batang Toru bukan hanya merugikan warga korban banjir, hutan ini satu-satunya rumah bagi orangutan Tapanuli.

Di jantung Tapanuli, Sumatera Utara, hutan Batang Toru bukan sekadar rimbun hijau yang menyelimuti perbukitan curam. Ia adalah benteng terakhir bagi spesies paling terancam di dunia, orangutan Tapanuli, sekaligus spons raksasa yang menjaga ribuan nyawa di hilirnya. Namun, belakangan ini, harmoni itu pecah. Gemuruh air yang dulu menenangkan kini berubah menjadi raungan banjir bandang yang mencekam.

Laporan terbaru dari organisasi lingkungan Satya Bumi mengungkapkan realitas pahit di balik bencana yang kian sering menyapa warga Tapanuli Selatan. Banjir ini bukan sekadar amuk alam, melainkan dampak nyata dari luka-luka yang menganga di hulu akibat aktivitas industri skala besar: proyek PLTA Batang Toru dan tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources (AR).

Bukaan lahan di sebelah atas (utara) dari bukaan tambang PT Agincourt Resources yang diduga kuat milik PT Sago Nauli, perusahaan perkebunan sawit

Satya Bumi membedah bagaimana perubahan lanskap di kawasan ekosistem Batang Toru menjadi pemantik utama bencana. Pembukaan lahan masif untuk pembangunan infrastruktur PLTA—mulai dari jalan akses, terowongan bawah tanah, hingga tapak tower—telah merobek tutupan hutan primer yang seharusnya berfungsi menahan laju air hujan.

Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidattihayaa Afra, menegaskan bahwa ada korelasi yang tak terbantahkan antara aktivitas korporasi tersebut dengan kerentanan hidrologis kawasan.

“Pembangunan PLTA Batang Toru dan aktivitas eksplorasi PT Agincourt Resources telah mengubah bentang alam secara drastis. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung alami kini telah terfragmentasi oleh infrastruktur industri. Akibatnya, daya serap tanah menurun drastis, sehingga saat hujan ekstrem tiba, air tidak lagi meresap melainkan meluncur menjadi banjir bandang yang merusak,” ujar Sayyidattihayaa Afra.

Menurutnya, wilayah hulu yang kini didominasi oleh permukaan tanah terbuka dan pengerasan jalan akses mempercepat aliran permukaan (run-off). “Kawasan yang semula merupakan penyangga bagi ekosistem kini berubah menjadi pemicu bencana bagi warga di hilir,” tambahnya.

Tambang di lereng curam

Bukan hanya proyek energi, ekspansi tambang emas Martabe juga berada di bawah sorotan tajam. Satya Bumi menemukan bukti bahwa pembukaan lahan untuk area tambang dan fasilitas penampungan limbah (tailing storage facility) dilakukan di area dengan kemiringan yang curam. Hal ini menciptakan risiko ganda: degradasi hutan dan potensi longsoran yang membawa material lumpur ke sungai-sungai utama.

Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi, menyoroti bagaimana kepentingan ekonomi skala besar seringkali mengabaikan keselamatan ekologis jangka panjang.

“Banjir bandang ini adalah sinyal darurat yang nyata. Kerusakan di hulu akibat pembukaan lahan untuk tambang dan infrastruktur energi ini berdampak langsung pada hilir, menghancurkan ruang hidup masyarakat dan habitat satwa langka yang tersisa di Batang Toru,” ujar Riezcy Cecilia Dewi.

Riezcy menekankan bahwa klaim mengenai pembangunan yang berkelanjutan harus diuji dengan realitas di lapangan. “Kita tidak bisa terus menyebut ini sebagai bencana alam murni sementara di saat yang sama kita membiarkan jantung hutan ini dikeruk dan dibelah untuk kepentingan korporasi tanpa mitigasi yang memadai,” tegasnya.

Dampak dari rusaknya ekosistem Batang Toru bukan hanya soal kerugian material bagi warga yang rumahnya tersapu banjir. Ini adalah ancaman eksistensial bagi keanekaragaman hayati global. Hutan ini adalah satu-satunya rumah bagi orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Fragmentasi hutan akibat jalan dan kabel transmisi PLTA serta area tambang telah memutus jalur migrasi satwa kritis ini, sekaligus melemahkan struktur tanah yang menopang kehidupan di bawahnya.

Satya Bumi mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dokumen lingkungan kedua entitas tersebut. Audit lingkungan independen dianggap mendesak untuk melihat sejauh mana kepatuhan perusahaan terhadap perlindungan ekosistem sensitif.

Tapanuli kini berada di persimpangan jalan. Antara janji pertumbuhan energi dan emas, atau keselamatan ribuan warga dan spesies langka yang bergantung pada keutuhan hutan Batang Toru. Tanpa tindakan tegas dan koreksi atas model pembangunan di hulu, banjir bandang bukan lagi sekadar tamu tak diundang, melainkan ancaman permanen yang siap menerjang kapan saja.

Bagi warga di hilir, air yang turun dari gunung kini bukan lagi membawa berkah, melainkan membawa kecemasan akan hari esok yang mungkin hilang disapu bah.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses