Keberadaan sawit di kawasan Geopark Ciletuh bukan sekadar soal perubahan visual, melainkan ancaman ekologis yang serius.

Geopark Ciletuh Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dikenal dunia akan bentang alamnya yang memukau—perpaduan air terjun, tebing purba, dan pesisir yang eksotis. Sebagai kawasan konservasi yang diakui UNESCO, wilayah ini seharusnya menjadi benteng perlindungan ekosistem. Namun, di balik rimbunnya kawasan dataran tinggi Ciemas, tersimpan sebuah ironi: ratusan hektare perkebunan kelapa sawit yang diam-diam telah mengakar di zona penyangga, membawa ancaman nyata bagi kelestarian “taman bumi” ini.

Hamparan sawit ini bukanlah fenomena baru, namun keberadaannya kian menjadi sorotan karena lokasinya yang strategis di hulu sungai. Tersebar di desa-desa dataran tinggi Kecamatan Ciemas—seperti Desa Sidamulya, Cibenda, Tamanjaya, dan Mekarjaya—perkebunan ini menggantikan tanaman kelapa yang dulunya menjadi identitas program Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

Jejak alih fungsi lahan ini bermula sekitar satu dekade lalu. Data yang dihimpun Sukabumiupdate.com mencatat bahwa pembebasan lahan dari warga terjadi pada rentang tahun 2007 hingga 2008. Tanaman kelapa sawit kemudian mulai ditanam pada tahun 2009, menggantikan pohon-pohon kelapa yang sebelumnya dikelola warga setempat.

Seorang warga Desa Tamanjaya berinisial SD (45) menuturkan bahwa desakan ekonomi menjadi pemicu utama peralihan kepemilikan ini. “Dulu itu lahan PIR yang digarap warga. Karena kebutuhan ekonomi, akhirnya banyak warga yang menjual lahannya ke pengusaha perkebunan. Kebun kelapa ditebang, lalu diganti dengan pohon sawit,” ujarnya kepada Sukabumiupdate.com, Senin (15/12/2025).

Kini, lanskap hijau itu telah berubah wajah. Di Desa Mekarjaya, perkebunan sawit mendominasi dengan luas mencapai sekitar 200 hektare, tersebar di Kampung Pasirangin dan Cicukang. Di Desa Tamanjaya, sekitar 70 hektare lahan sawit membentang dari Dusun Tamanjaya hingga Cek Dam Kampung Cigaok. Sementara itu, Desa Sidamulya memiliki sekitar 50 hektare dan Desa Cibenda sekitar 34 hektare lahan serupa.

Menurut informasi warga, perkebunan-perkebunan ini kini dikelola oleh seorang pengusaha yang berasal dari Lampung. Ironisnya, meski lahannya luas, kewajiban administratif seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kerap terabaikan. Kepala Desa Mekarjaya, Wida, mengungkapkan bahwa pajak PBB senilai Rp 11 juta untuk tahun ini belum dibayarkan, sebuah pola yang juga terjadi di desa-desa lainnya.

Mencekik hulu, mengancam hilir

Keberadaan sawit di kawasan ini bukan sekadar soal perubahan visual, melainkan ancaman ekologis yang serius. Lokasi perkebunan berada tepat di daerah tangkapan air (catchment area) hulu Sungai Ciletuh dan Sungai Cikanteh. Sungai-sungai ini adalah nadi kehidupan bagi masyarakat di zona inti Geopark, seperti Desa Mekarsakti, Ciwaru, dan Mandrajaya.

Pemerhati lingkungan, Denda Wijaya, menyoroti risiko besar yang mengintai. Kombinasi antara perkebunan sawit, aktivitas pertambangan, dan berkurangnya tutupan hutan di hulu menciptakan ketidakseimbangan ekosistem. “Perkebunan sawit tentu sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air. Saat ini baru musim kemarau dua sampai tiga bulan, warga sudah kesulitan mendapatkan air,” jelas Denda.

Dampak ini bukan sekadar prediksi. Herdi, warga Desa Cibenda, mengaku kesulitan air bersih kini menjadi tamu langganan setiap musim kemarau datang, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar perkebunan. Aliran air yang seharusnya melimpah menuju air terjun ikonik seperti Curug Cikanteh dan Curug Sodong kini harus berebut dengan rakusnya akar sawit.

Selain krisis air, bayang-bayang banjir di wilayah hilir kian nyata karena hilangnya kemampuan tanah menyerap air di hulu.

Kondisi ini menempatkan Geopark Ciletuh dalam persimpangan dilematis. Di satu sisi, ia adalah destinasi wisata global yang “menjual” kelestarian alam; di sisi lain, hulunya justru tergerus oleh ekspansi monokultur yang tidak ramah lingkungan. Tanpa intervensi serius untuk mengembalikan fungsi konservasi hulu sungai, keindahan Ciletuh mungkin hanya akan menjadi cerita tentang surga yang perlahan mengering.

Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan SukabumiUpdate.Com.

Jurnalisme lingkungan Indonesia butuh dukungan Anda. Bantu Ekuatorial.com terus menyajikan laporan krusial tentang alam dan isu iklim.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses