Konflik di Mayawana Persada telah berevolusi dari sekadar sengketa lahan menjadi ancaman serius terhadap kebebasan sipil.

Hujan baru saja reda di Kubu Raya, Kalimantan Barat, meninggalkan aroma tanah basah yang berat. Di dalam kantor Link-AR Borneo, jarum jam menunjuk pukul tiga sore pada 9 Desember 2025. Tarsisius Fendy Sesupi, seorang pria berusia 38 tahun dengan sorot mata tegas, baru saja menghela napas panjang.

Sebagai tokoh adat Dayak Kualan sekaligus Kepala Adat Dusun Lelayang, Fendy baru saja menutup bundel kertas tebal. Isinya bukan sekadar angka, melainkan catatan duka tentang hutan yang hilang dan ruang hidup yang kian menyempit di bawah cengkeraman PT Mayawana Persada. Namun, ketenangan di ruangan itu tak bertahan lama. Ketukan pintu yang keras memecah suasana. Beberapa mobil putih terparkir di depan; aparat kepolisian datang mencari Fendy.

Upaya penjemputan paksa itu terjadi hanya sehari menjelang Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Bagi Fendy dan jaringan masyarakat sipil, ini adalah pesan yang jelas: di konsesi Mayawana, kebenaran adalah barang mahal yang harus dibayar dengan ketakutan.

Mencoba menembus dinding konsesi

Beberapa jam sebelum aparat datang, Fendy berdiri dengan tegap dalam sebuah media briefing bersama WALHI Kalimantan Barat. Di hadapan wartawan dan perwakilan DPRD, ia memaparkan kenyataan pahit yang dihadapi warga di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.

“Kami ini seperti orang asing di tanah kami sendiri. Saat kami mencoba menjaga hutan yang tersisa, kami justru berhadapan dengan senjata dan tuduhan melanggar hukum,” ujar salah seorang warga yang turut mendampingi Fendy.

Bagi masyarakat adat Dayak Krio, Dayak Simpang, dan Dayak Jalai, wilayah konsesi itu bukan sekadar peta administratif di atas kertas SK Menteri Kehutanan Nomor 724/Menhut-II/2010. Bagi mereka, lahan seluas 136.710 hektare itu adalah rumah bagi 38.500 jiwa. Di sana ada ladang karet, padi ladang yang menghidupi keluarga, hingga kuburan leluhur yang dikeramatkan.

“Hutan ini adalah napas kami. Kalau hutan ini habis, maka hilang jugalah identitas kami sebagai orang Dayak,” keluh warga lainnya dengan nada getir. Di lapangan, suara mereka seringkali kalah oleh deru mesin ekskavator yang bekerja siang dan malam.

Luka dari jejak deforestasi

Ketegangan di Mayawana bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan data pemantauan Link-AR Borneo dan Satya Bumi, jejak kerusakan lingkungan di wilayah ini sangatlah nyata dan mengerikan.

Sejak tahun 2016 hingga 2024, tercatat sekitar 42.500 hektare tutupan hutan telah hilang—setara dengan ribuan kali lapangan bola. Lonjakan tajam terjadi pada tahun 2023 dengan 17.839 hektare hutan alam yang dibabat, diikuti oleh 4.633 hektare pada tahun 2024. Sebagian besar dari lahan yang digunduli ini berada di kawasan lindung gambut yang kaya karbon, yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan krisis iklim.

“Angka-angka deforestasi ini bukan sekadar statistik. Ini adalah bukti nyata hilangnya hutan alam yang berfungsi sebagai penyimpan karbon dan pelindung keanekaragaman hayati,” tulis laporan latar belakang tersebut.

Bagi warga desa, angka itu bermakna hilangnya sumber obat-obatan tradisional, madu hutan, dan tempat ritual adat. Garis-garis konsesi itu seolah membelah tanah leluhur mereka, mengaburkan batas kampung, dan memaksa mereka mundur dari ruang hidup mereka sendiri.

Janji sejahtera di balik kanal gambut

Pihak korporasi seringkali mengklaim telah menjalankan prosedur Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Tanpa Paksaan. Namun, kesaksian di lapangan bercerita sebaliknya. Masyarakat merasa ditekan dan tidak diberikan pilihan yang jujur.

“Mereka datang membawa kertas-kertas yang kami tidak mengerti sepenuhnya. Katanya untuk kesejahteraan, tapi yang kami lihat hanyalah hutan yang hilang dan air sungai yang mulai keruh,” ujar seorang ibu dari komunitas Dayak Jalai.

Ia menambahkan dengan tegas, “Kami tidak butuh uang yang habis dalam sehari. Kami butuh hutan yang bisa menghidupi anak cucu kami selamanya.”

Kini, kanal-kanal besar membelah gambut, mengalirkan air dan kehidupan keluar dari hutan alam yang tersisa. Konflik di Mayawana Persada telah berevolusi dari sekadar sengketa lahan menjadi ancaman serius terhadap kebebasan sipil. Upaya penjemputan paksa terhadap Fendy adalah bukti nyata betapa berisikonya menjadi suara bagi mereka yang terbungkam.

Di bawah bayang-bayang alat berat PT Mayawana Persada, perjuangan masyarakat adat Kalimantan Barat terus berlanjut meski dibayangi ancaman kriminalisasi. Deforestasi masif ini bukan hanya soal hilangnya pepohonan, melainkan soal tercerabutnya akar budaya dan sejarah manusia yang telah mendiaminya selama berabad-abad.

Selama hak ulayat diabaikan dan aparat keamanan lebih condong menjaga kepentingan korporasi, maka ketegangan di konsesi Mayawana akan terus menjadi api dalam sekam.

“Jangan tunggu sampai pohon terakhir tumbang baru kalian sadar bahwa uang tidak bisa dimakan,” pesan singkat namun menohok dari seorang tetua adat, menjadi penutup yang menggema di tengah desau angin yang kini tak lagi membawa harum hutan rimba.


Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan Kolase.id. Terbit pertama kali dengan judul, Ketegangan Antiklimaks di Konsesi Mayawana Persada, Suara Masyarakat Adat yang Terbungkam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses