Angka kehilangan biodiversitas di Sumatera diproyeksikan mencapai sekitar 15 persen pada tahun 2050.
Pulau Sumatera mengalami tekanan serius pada keanekaragaman hayatinya. Data terbaru menunjukkan, dibandingkan wilayah lain di Indonesia, Sumatera mencatat tingkat kehilangan biodiversitas tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Temuan ini diungkapkan oleh Profesor Syartinilia, Guru Besar Manajemen Lanskap dari IPB University, dalam forum LRI TALK #3 yang digelar akhir Desember 2025.
“Analisis pada skala meso di Pulau Sumatera menggunakan Biodiversity Intactness Index (BII) menunjukkan bahwa, berdasarkan data global periode 2017–2020, Sumatera mencatat tingkat kehilangan biodiversitas tertinggi di Indonesia,” ungkapnya, dikutip dari laman resmi IPB University.
Jika pola pengelolaan lanskap di Sumatera terus berjalan dalam skenario business-as-usual atau tanpa perubahan strategi lingkungan yang signifikan, angka kehilangan biodiversitas di pulau ini diproyeksikan mencapai sekitar 15 persen pada tahun 2050. Namun, jika pendekatan berkelanjutan diterapkan, angka ini bisa ditekan hingga sekitar 11 persen.
“Pendekatan berkelanjutan terbukti mampu menekan kehilangan habitat secara signifikan,” imbuhnya.
Lebih jauh, Syartinilia menjelaskan, dampak penyusutan juga dialami oleh spesies kunci dan karismatik di Sumatera, termasuk gajah, orangutan, dan harimau. Dalam skenario yang sama, habitat gajah diproyeksikan menyusut hingga 66 persen pada 2050. Sebaliknya, skenario keberlanjutan membuka peluang peningkatan habitat sekitar 5 persen.
Proyeksi penurunan habitat ini mencerminkan tekanan berat terhadap spesies-spesies yang sudah terancam keberadaannya. Misalnya, gajah Sumatera saat ini berstatus terancam punah akibat hilangnya tutupan hutan dan fragmentasi habitat yang disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan infrastruktur.
Ekosistem hayati di masa depan
Kajian IPB University ini juga menggabungkan data historis dengan proyeksi masa depan. Tim peneliti melakukan analisis tingkat kerentanan lanskap nasional dengan melakukan overlay data keterpaparan iklim dan kualitas ekosistem terestrial. Hasilnya menunjukkan bahwa secara nasional Indonesia masih didominasi oleh kerentanan rendah hingga sedang, tetapi terdapat daerah-daerah tertentu dengan kerentanan tinggi.
Tak hanya itu, analisis yang dilakukan berdasarkan tipe ekosistem, diketahui bahwa ekosistem lahan basah dan pegunungan merupakan yang paling rentan secara nasional. Secara spasial, Pulau Sumatera menempati posisi tertinggi dalam tingkat kerentanan lanskap Indonesia, diikuti oleh Papua, Kalimantan, dan Maluku.
“Secara spasial, Pulau Sumatra tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kerentanan tertinggi,” jelasnya.
Faktor pemicu menyusutnya hayati
Menyusutnya keanekaragaman hayati di Sumatera bukan semata soal jumlah spesies yang berkurang, tetapi juga tentang bagaimana fungsi ekologis yang tergerus akibat perubahan pola penggunaan lahan dan tekanan dari perubahan iklim. Syartinilia menekankan, faktor antropogenik (aktivitas manusia) memiliki kontribusi signifikan dalam memperkuat dampak perubahan iklim terhadap ekosistem Indonesia secara keseluruhan.
“Faktor antropogenik memiliki kontribusi signifikan dalam memperkuat dampak perubahan iklim terhadap ekosistem Indonesia,” katanya.
Sumatera memang menjadi wilayah dengan keragaman hayati yang sangat tinggi dan memegang peran penting dalam keanekaragaman alam Indonesia. Ekoregion ini menyimpan puluhan ribu spesies tumbuhan, ratusan spesies mamalia, dan ratusan jenis burung, termasuk sejumlah spesies endemik langka seperti harimau, badak, gajah, dan orangutan.
Namun, sejak awal abad ke-21, lebih dari 50 persen tutupan hutan asli di Sumatera telah hilang, sehingga berdampak langsung pada menyempitnya habitat dan meningkatnya konflik manusia-satwa liar.
Tekanan terhadap hutan di Sumatera juga telah memunculkan konsekuensi nyata dalam beberapa peristiwa bencana alam baru-baru ini. Dampak perubahan tutupan lahan dan tekanan iklim diperkirakan turut memperparah kejadian bencana seperti banjir dan tanah longsor besar pada akhir November 2025, yang menyebabkan kerusakan habitat luas dan korban baik manusia maupun satwa liar di beberapa provinsi.
- Sumatera di ujung krisis biodiversitas tertinggi di Indonesia
- Marak bencana hidrometeorologi, momentum mendesak percepatan reforestasi
- Bencana Sumatera ulah aktivitas ilegal, sains iklim harus dimanfaatkan maksimal
- Spesies elang-kuak baru ditemukan berkat petunjuk suara
- Anggrek larat hijau, endemik Bojonegoro meniti jalan kepunahan
- Pengadilan Tinggi Bandung tegaskan perlindungan Anti-SLAPP untuk pejuang lingkungan
