Penghancuran kawasan resapan air di hulu hutan Kalimantan demi akumulasi modal telah mengirimkan bencana ke wilayah pesisir.
Di bawah temaram fajar yang belum sempurna menyapu langit Sanggau, Kalimantan Barat, Patmawati (41) sudah harus bergelut dengan maut yang tak kasat mata. Bukan harimau atau ular berbisa hutan Kalimantan yang jadi hamparan pohon sawit PT Sinar Inutwa Alami (SIA)—anak perusahaan Lyman Group— yang ia takuti. Melainkan paru-parunya sendiri.
Napasnya memburu, pendek, dan berbunyi lirih. Serangan asma itu datang tepat saat ia diperintahkan turun ke lapangan. Dengan tubuh gemetar, ia mencoba memohon sedikit belas kasihan agar diizinkan beristirahat. Namun, bagi raksasa industri ekstraktif, buruh hanyalah sekrup kecil dalam mesin produksi yang tak boleh berhenti berputar.
“Saya sudah tidak sanggup lagi, napas saya sesak sekali. Tapi perusahaan tetap memaksa saya bekerja. Mereka bilang kalau saya tidak masuk, upah dipotong, dan status kerja saya akan diturunkan,” kenang Patmawati dengan suara yang pecah oleh kepedihan.
Pernyataan itu bukan sekadar keluhan; itu adalah potret nyata bagaimana gurita industri kelapa sawit di Kalimantan Barat meremas martabat manusia hingga ke titik nadir.
Apa yang dialami Patmawati adalah muara dari sebuah sistem besar yang rakus. Selama dekade terakhir, Kalimantan Barat telah berubah menjadi ladang bagi “Gurita Raksasa” industri ekstraktif. Hutan tropis yang menjadi jantung dunia dipacu untuk mati demi deretan monokultur sawit dan lubang tambang.
Namun, janji kemakmuran bagi warga lokal hanyalah fatamorgana. Laporan Yayasan Teraju Indonesia mengungkapkan fenomena “Janji Manis yang Pahit” dalam sistem petani mitra plasma. Warga yang dahulu berdaulat atas tanahnya, kini terjerat kemiskinan sistemik.
“Masyarakat menyerahkan tanah mereka dengan harapan mendapatkan bagian hasil (plasma), namun yang didapat justru beban utang pembangunan kebun yang tidak transparan,” kata Agus Sutomo, Direktur Eksekutif Yayasan Teraju Indonesia.
Alih-alih menjadi pemilik saham, petani justru menjadi buruh di tanah mereka sendiri, terhimpit oleh skema bagi hasil yang jauh dari rasa adil, sementara pembeli global (global buyers) terus menikmati aliran minyak sawit tanpa mau tahu darah dan keringat yang tertumpah di baliknya.
Kerusakan ini tidak berhenti di batas pagar perkebunan. Gurita ekstraktif ini telah merobek keseimbangan ekologi Kalimantan Barat. Penggundulan hutan Kalimantan di wilayah hulu demi ekspansi sawit dan tambang telah menciptakan krisis ekologi yang kini mengepung Kota Pontianak.
Bencana banjir yang kian rutin dan penurunan kualitas air sungai adalah dampak langsung dari kerusakan di hutan Kalimantan. Penghancuran kawasan resapan air di hulu hutan Kalimantan demi akumulasi modal telah mengirimkan bencana ke wilayah pesisir.
“Pontianak kini berada dalam ancaman krisis ekologi yang serius. Apa yang terjadi di hulu—deforestasi dan konversi lahan—adalah hulu dari penderitaan warga di hilir,” kata Agus.

Pelanggaran HAM
Eksploitasi terhadap Patmawati hanyalah pucuk gunung es dari pelanggaran HAM yang sistematis. Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit (FSBKS) Kalimantan Barat mencatat bahwa pelanggaran hak normatif telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Status kerja yang digantung tanpa kepastian, upah murah yang berkisar antara Rp75.000 hingga Rp150.000 per hari, hingga ketiadaan jaminan kesehatan (BPJS) adalah bentuk nyata dari pengabaian hak asasi. Tragisnya, ketiadaan jaminan kesehatan ini pernah merenggut nyawa seorang anak buruh sawit yang tidak mampu mendapatkan perawatan medis karena keterbatasan biaya dan ketiadaan perlindungan dari perusahaan.
Selain itu permasalahan keselamatan kerja, seperti infrastruktur jalan yang rusak, buruknya sanitasi dasar, serta tidak adanya klinik kesehatan dan tempat penitipan anak. Dengan semua kendala tersebut, buruh masih saja dilimpahkan dengan beban kerja yang berlebih dan waktu kerja yang tidak menentu.
Praktik-praktik ini membuat tanda tanya besar, apakah perlindungan HAM benar-benar dilaksanakan? Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit (FSBKS) Kalbar mengharapkan adanya undang-undang khusus guna melindungi hak-hak buruh sawit.
Ketua FSBKS Kalbar Yublina berharap kepada pemerintah, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan kesadaran dalam pemenuhan hak-hak buruh kelapa sawit.
“Kami berharap perusahaan memberikan kontrak kerja yang jelas dan memenuhi semua kewajiban ketenagakerjaan, serta memberikan akses jaminan sosial kepada buruh. Selain itu, memberikan fasilitas kesehatan, keselamatan kerja, dan memperbaiki infrastruktur serta menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap buruh yang ingin berserikat,” pungkasnya.
Memutus tentakel gurita
Melihat situasi yang kian karut-marut, Agus Sutomo menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang untuk kompromi yang mengorbankan rakyat. Baginya, pemulihan Kalimantan Barat harus dimulai dengan keberanian pemerintah untuk memutus rantai impunitas korporasi.
“Pemerintah harus segera turun tangan melakukan audit ketat terhadap seluruh konsesi sawit dan tambang di Kalimantan Barat. Kita tidak bisa lagi membiarkan hak buruh diabaikan dan lingkungan terus dirusak tanpa ada konsekuensi hukum yang nyata,” tegas Agus dengan nada bicara yang dalam.
Ia juga menyoroti jeratan utang yang selama ini menyandera petani lokal. Menurutnya, perusahaan harus dipaksa untuk membuka seluruh data utang pembangunan kebun plasma secara transparan agar petani mitra mendapatkan pembagian hasil yang adil. Terkait nasib buruh seperti Patmawati, Agus menuntut jaminan perlindungan yang mutlak.
“Tidak ada tawar-menawar, seluruh buruh, termasuk pekerja harian lepas, wajib didaftarkan ke dalam program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Nyawa manusia tidak boleh kalah oleh target produksi,” tambahnya.
Di sisi lain, untuk menghentikan krisis ekologi yang kian mengepung, Agus mendesak adanya penghentian total atau moratorium terhadap izin-izin baru di sisa hutan Kalimantan. Pemulihan kawasan resapan air di hulu menjadi harga mati agar bencana tidak terus mengalir ke hilir. Namun, ia menyadari bahwa tekanan juga harus datang dari luar negeri.
“Kita juga mendesak para buyer global untuk berhenti membeli produk dari perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran HAM dan pengrusakan hutan. Dunia harus tahu bahwa setiap tetes minyak sawit yang mereka konsumsi tidak boleh berasal dari darah dan air mata rakyat Kalimantan,” tutup Agus dengan tegas.
Di penghujung harinya, Patmawati hanya bisa menatap barisan pohon sawit yang kaku dengan pandangan nanar. Baginya, setiap jengkal tanah yang ia pijak adalah saksi bisu atas keadilan yang terampas.
“Kami bukan mesin. Kami manusia yang punya rasa sakit dan punya keluarga. Sampai kapan kami harus dipaksa melawan waktu dan penyakit demi kekayaan yang tidak pernah kami rasakan?” jerit Patmawati dalam keputusasaan yang mendalam.
Jeritan Patmawati adalah jeritan Kalimantan Barat. Jika gurita ekstraktif ini terus dibiarkan menghisap habis sisa-sisa kehidupan di tanah Borneo, maka yang tersisa hanyalah tanah yang gersang, air yang beracun, dan rakyat yang perlahan mati di bawah bayang-bayang kemegahan industri dunia.
Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan Kolase.ID. Terbit pertama kali dengan judul Potret Suram di Balik Dominasi Industri Ekstraktif di Kalbar
- Hutan Kalimantan di bawah kuasa raksasa ekstraktif
- Prahara di hulu Batang Toru, bencananya mengalir hingga hilir
- Suara masyarakat adat terbungkam di rimba Mayawana
- Menjaga “taman” Sriwijaya, narasi ekologi dari Rumah Sri Ksetra
- Deru mesin di surga karang dan pertaruhan status Geopark Ciletuh
- Ingin perluas kebun sawit dan tebu di Papua, presiden dinilai tak punya empati
