Tebet Eco Park memiliki potensi menjadi habitat berbagai jenis fauna burung serta amfibi dan reptil.
Pagi itu, Sabtu (20/12/2025), kabut tipis sisa hujan semalam masih enggan beranjak dari rimbun pepohonan di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan. Namun, keriuhan sudah pecah di salah satu sudut taman seluas 7,3 hektar tersebut. Sebanyak 70 siswa SMA dari penjuru Jabodetabek berkumpul, bukan untuk sekadar berswafoto, melainkan untuk sebuah misi yang lebih krusial: memotret denyut nadi biodiversitas di tengah kepungan beton ibu kota.
Dengan teropong binokular melingkar di leher dan buku catatan di tangan, para peserta “Belantara Biodiversity Class” ini bersiap menyisir kawasan yang telah menjadi oase hijau sejak diresmikan kembali pada April 2022. Kegiatan yang diinisiasi oleh Belantara Foundation berkolaborasi dengan Gaia Indonesia serta Himpunan Mahasiswa Biologi Helianthus dan Wapalapa Universitas Pakuan ini, bertujuan membekali generasi muda dengan kemampuan identifikasi fauna perkotaan.
Tebet Eco Park bukan sekadar ruang terbuka hijau biasa. Setelah revitalisasi yang menyatukan Taman Tebet Utara dan Selatan, kawasan ini menjelma menjadi harmoni antara fungsi ekologi dan edukasi. Bagi Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, lokasi ini adalah pilihan strategis untuk menyemai kesadaran lingkungan.
“Tebet Eco Park memiliki potensi menjadi habitat berbagai jenis fauna burung serta amfibi dan reptil. Lokasinya sangat strategis serta memiliki fasilitas yang cocok untuk kegiatan edukasi dan penyadartahuan,” ujar Dolly di sela-sela pembukaan kegiatan.
Dolly, yang juga mengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, menekankan bahwa taman kota yang mengusung konsep integrasi ini harus terus dipantau secara ilmiah. Pendataan bukan sekadar angka, melainkan instrumen penting untuk memastikan pembangunan tetap selaras dengan alam.
“Amat penting dilakukan pendataan potensi biodiversitas seperti jenis-jenis burung, amfibi dan reptil sebagai bahan monitoring dan evaluasi untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan di taman tersebut,” tegas Dolly, yang juga merupakan anggota Commission on Ecosystem Management IUCN.
Menurutnya, ruang terbuka hijau di tengah kota layaknya laboratorium hidup yang tak ternilai harganya bagi para pelajar biologi. Di sana, keseimbangan ekosistem terjaga berkat kehadiran satwa liar yang sering kali luput dari pandangan mata warga kota.
Berdasarkan Dokumen Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Provinsi DKI Jakarta 2025-2029, Tebet Eco Park setidaknya menjadi rumah bagi 25 jenis burung, 2 jenis amfibi, dan 3 jenis reptil. Namun, alam selalu dinamis, dan data perlu terus diperbarui.
Selama tiga jam pengamatan, dari pukul 07.00 hingga 10.00 WIB, para peserta berhasil mengidentifikasi 20 jenis burung, 1 jenis amfibi, dan 8 jenis reptil. Temuan ini memberikan gambaran segar tentang kondisi terkini kesehatan ekosistem taman.
Salah satu temuan yang mencuri perhatian adalah kehadiran Betet Biasa (Psittacula alexandri). Burung dengan warna bulu yang mencolok ini bukan sekadar penghias langit Jakarta; ia masuk dalam kategori satwa dilindungi menurut Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018. Secara global, daftar merah IUCN bahkan menempatkan Betet Biasa dalam status Near Threatened (Hampir Terancam Punah).
Tak hanya itu, pengamatan juga mencatat keberadaan Kerak Kerbau (Acridotheres javanicus) yang berstatus Vulnerable (Rentan). Kehadiran mereka di Tebet Eco Park menegaskan betapa vitalnya peran taman kota sebagai benteng terakhir bagi spesies-spesies yang kian terhimpit oleh hilangnya habitat dan polusi.
Penjaga ekosistem yang tak terlihat
Mengapa pendataan burung, amfibi, dan reptil begitu penting? Jawabannya terletak pada fungsi ekologis yang mereka emban. Burung berperan sebagai agen penyebar biji (seed dispersal) yang menjamin regenerasi vegetasi. Sementara itu, amfibi dan reptil bertindak sebagai pengendali hama alami, mulai dari serangga hingga tikus. Lebih jauh lagi, mereka adalah bioindikator; jika keberadaan mereka menyusut, itu adalah sinyal bahwa kualitas lingkungan kita sedang tidak baik-baik saja.
Namun, tantangan tak pernah sederhana. Di balik keceriaan para siswa pagi itu, ada bayang-bayang ancaman nyata: perubahan iklim, perburuan liar, hingga pencemaran lingkungan yang terus mengintai produktivitas habitat satwa-satwa ini.
Melalui Belantara Biodiversity Class, harapan itu dititipkan kepada 70 pasang mata muda yang hadir. Mereka diajak untuk tidak hanya melihat taman sebagai tempat rekreasi, tetapi sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga.
Saat mentari mulai meninggi dan kegiatan berakhir, data-data yang terkumpul hari itu menjadi lebih dari sekadar catatan di atas kertas. Ia adalah bukti bahwa di tengah riuh rendah Jakarta, kehidupan liar masih berjuang untuk bertahan—dan kini, mereka memiliki generasi muda yang siap pasang badan untuk melestarikannya.
- Kala generasi muda mendata nafas liar Tebet Eco Park
- Membela ruang hidup, berhadapan dengan pidana
- Hutan Kalimantan di bawah kuasa raksasa ekstraktif
- Prahara di hulu Batang Toru, bencananya mengalir hingga hilir
- Suara masyarakat adat terbungkam di rimba Mayawana
- Menjaga “taman” Sriwijaya, narasi ekologi dari Rumah Sri Ksetra
