Sampah elektronik di Indonesia diprediksi akan melonjak. Pada 2023 angka timbulan 2,1 juta ton, maka tahun 2030, jadi 4,4 juta ton.
Di sudut-sudut gelap laci meja atau di tumpukan gudang rumah kita, sebuah ancaman senyap sedang mengintai. Ia berbentuk ponsel pintar yang layarnya telah retak, kabel-kabel pengisi daya yang mengelupas, hingga mesin cuci tua yang tak lagi berputar. Bagi kebanyakan orang, itu hanyalah rongsokan. Namun bagi bumi, itu adalah “bom waktu” kimia yang siap meledak.
Laporan Global E-Waste Monitor 2024 baru saja membunyikan alarm keras yang seharusnya membuat kita terjaga: produksi sampah elektronik (e-waste) dunia kini tumbuh lima kali lebih cepat daripada kapasitas kita untuk mendaur ulangnya. Di Indonesia, narasi ini menjadi kian genting.
Timbunan sampah elektronik di tanah air diprediksi akan melonjak drastis. Jika pada 2023 angka timbulan mencapai 2,1 juta ton, maka pada tahun 2030, jumlahnya diperkirakan berlipat ganda menjadi 4,4 juta ton. Tanpa penanganan yang sistematis, jutaan ton logam berat dan racun seperti merkuri, timbal, dan kadmium akan merembes ke tanah dan sumber air kita, mengancam kesehatan masyarakat lintas generasi.
Di tengah derasnya arus gaya hidup digital yang menuntut pembaruan gawai secara cepat, muncul sebuah gerakan untuk mengerem dampak buruknya. Krisis ini mendorong sektor swasta mulai mengadopsi prinsip Extended Producer Responsibility (EPR)—sebuah konsep di mana produsen bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup produk mereka, termasuk saat produk tersebut menjadi sampah.
Erajaya Group, melalui kampanye “Jaga Bumi”, mencoba menjembatani celah antara konsumsi dan konservasi. Dalam tahun pertama pelaksanaannya, inisiatif ini berhasil mengumpulkan 2.255 unit sampah elektronik dari tangan konsumen.
Meski angka ribuan unit terdengar kecil dibandingkan jutaan ton timbulan nasional, dampak lingkungannya sangat nyata. Dari sekumpulan perangkat tak terpakai itu, emisi karbon sebesar 161.700 kg CO2 berhasil dikurangi. Angka ini setara dengan penghematan energi sekitar 301.261 kWh—sebuah nafas lega bagi atmosfer kita yang kian sesak.
“Angka-angka ini membuktikan bahwa langkah kecil dari konsumen, jika difasilitasi dengan benar, dapat memberikan dampak lingkungan yang signifikan dan terukur,” ujar Jimmy Perangin Angin, Group Chief of HC, GA, Litigation & CSR Erajaya Group.
Ekosistem yang inklusif
Solusi atas sampah elektronik tidak bisa hanya mengandalkan kampanye musiman. Tantangan utamanya adalah aksesibilitas. Selama ini, masyarakat seringkali bingung harus membuang baterai bekas atau ponsel rusak ke mana, sehingga berakhir di tempat sampah domestik yang kemudian tercampur di TPA.
Menjawab tantangan tersebut, penempatan dropbox e-waste di gerai-gerai retail seperti Erafone menjadi langkah strategis. Strategi ini mengubah perilaku konsumen: dari sekadar “membeli yang baru” menjadi “menitipkan yang lama untuk diolah”.
Stephen Warouw, Head of Corporate and Marketing Communication Erajaya Group, mencatat adanya respon positif dari publik. Antusiasme ini menjadi bahan bakar bagi perusahaan untuk memperluas jangkauan kampanye. “Tentunya kampanye ini akan terus kami lanjutkan, tidak hanya di Jakarta atau Bali, tapi juga ke kota-kota lain,” ungkapnya.
Pengurangan kebutuhan lahan TPA seluas 10 meter persegi dari aksi ini memang baru setitik keberhasilan di tengah hamparan masalah. Namun, ia menjadi bukti bahwa ekosistem pengelolaan e-waste yang inklusif dan terstruktur bukanlah hal mustahil di Indonesia.
Transformasi menuju ekonomi sirkular menuntut kolaborasi yang lebih luas—melibatkan pemerintah dalam regulasi yang lebih ketat, produsen dalam desain produk yang lebih ramah lingkungan, serta kesadaran kita sebagai konsumen untuk tidak membiarkan “bom waktu” itu terus tertumpuk di laci rumah.
Sebab, setiap perangkat elektronik yang kita gunakan hari ini memiliki dua sisi mata uang: ia adalah alat kemajuan peradaban, namun tanpa pengelolaan yang benar, ia akan menjadi warisan beracun bagi masa depan bumi. Alarm telah berbunyi, dan sekarang adalah waktu bagi kita untuk bertindak.
- Mangrove lebih dari sekadar benteng hijau pesisir
- Menjinakkan ledakan sampah elektronik Indonesia
- Napas terakhir Tesso Nilo, bertahan di sela kepungan sawit
- Panggilan pulang Hamzah dan aroma kopi di ketinggian Kahayya
- Benarkah nikel kita hijau? Menggugat keadilan di balik baterai kendaraan Listrik
- Jebolnya benteng terakhir Gede Pangrango
